Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Buku Fiksi yang Ditulis dari Sudut Pandang Antagonis

ilustrasi memilih buku
ilustrasi memilih buku (unsplash.com/matt__feeney)
Intinya sih...
  • Perfume: The Story of a Murderer karya Patrick Suskind
  • Lolita karya Vladimir Nabokov
  • The Collector karya John Fowels
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Novel fiksi selalu didominasi dengan sudut pandang atau POV protagonis sebagai tokoh utama. Hal ini dikarenakan tokoh protagonis dianggap benar dan layak dibela. Sementara tokoh antagonis dianggap penghalang dan selalu dimaknai sebagai penjahat.

Namun, terdapat sejumlah penulis yang justru menghadirkan tokoh antagonis sebagai pusat cerita. Melalui sudut pandang antagonis, pembaca diajak untuk masuk ke dalam pikiran tokoh yang selama ini dianggap jauh dari moralitas dan sering melakukan kejahatan. Berikut beberapa buku fiksi yang ditulis dari sudut pandang antagonis dan menarik untuk kamu baca.

1. Perfume: The Story of a Murderer karya Patrick Suskind

sampul Perfume: The Story of Murderer
sampul Perfume: The Story of Murderer (amazon.co.uk)

Perfume: The Story of a Murderer merupakan salah satu novel klasik yang terbit di tahun 1985. Novel ini berlatar di Prancis pada abad ke-18 dengan Jean-Baptiste Grenouille sebagai tokoh utama. Ia adalah seorang anak yang sejak bayi ditelantarkan dan tumbuh tanpa kasih sayang. Namun Grenouille memiliki keistimewaan yaitu dapat mengenali dan mengingat ribuan bau dengan akurat.

Hal tersebut membuat Grenouille menjadi pembuat parfum yang jenius. Ia terobsesi menjadi pembuat parfum yang sempurna. Demi mencapai tujuan tersebut, Grenouille membunuh Perempuan-perempuan muda yang dianggap memiliki aroma murni.

Patrick Suskind sebagai penulis ingin menghadirkan Grenouille sebagai tokoh antagonis yang memperlihatkan cermin gelap di mana betapa rapuhnya konsep kemanusiaan, Ketika empati digantikan oleh hasrat. Perfume: The Story of a Murderer adalah kritik tajam terhadap Masyarakat, tubuh, dan moralitas. Novel ini sering dibaca sebagai alegori tentang dehumanisasi.

2. Lolita karya Vladimir Nabokov

sampul Lolita
sampul Lolita (amazon.ca)

Lolita merupakan salah satu karya sastra yang paling kontroversial. Novel yang terbit di tahun 1955 ini dikisahkan dari sudut pandang Humbert, seorang pria dewasa yang secara seksual tertarik pada remaja yang Bernama Dolores Haze, yang dijuluki Lolita.

Alih-alih mengisahkan Lolita sebagai subyek dengan suara utuh, novel ini justru memperlihatkan bagaimana Humbert membangun narasi untuk membenarkan dan meromantisasi tindakannya. Vladimir Nabokov sengaja menciptakan narator yang gak dapat dipercaya, sehingga pembaca dipaksa menjadi kritis. Karena apa saja yang dilakukan Humbert sering kali bertentangan dengan moral.

Lolita adalah novel tentang objektifikasi dan ilusi moralitas. Penulis mengajak pembaca untuk mempertanyakan siapa yang memiliki kendali atas cerita. Dalam sudut pandang feminis dan etis, Lolita dipahami sebagai kritik tajam terhadap cara Masyarakat dan sastra yang kadang gagal melindungi korban, ketika narasi gagal melindungi korban.

3. American Psycho karya Bret Easton Ellis

sampul American Psycho
sampul American Psycho (amazon.com)

American Psycho berlatar di Manhattan dengan Patrick Bateman sebagai tokoh utama. Ia digambarkan sebagai seorang eksekutif muda yang kaya, berpendidikan, dan sempurna secara sosial. Namun, di balik itu, Bateman adalah sosok yang sangat terobsesi oleh status, penampilan fisik, dan gaya hidup elit. Ia sering kali melakukan kekerasan ekstrem brutal dan berulang.

Novel American Psycho dipenuhi dengan rutinitas mahal dan mewah dari Bateman, serta konsumsi yang berlebihan. Hal ini mencerminkan kekosongan batin Bateman, sekaligus mengaburkan batas antara kehidupan sosial dan tindakan kriminal.

Novel ini dianggap satir gelap terhadap kapitalisme, maskulinitas yang toksik, dan budaya konsumtif di Amerika. Kekerasan yang dilakukan Bateman gak berdiri sendiri, melainkan parelel dengan kekerasan simbolik sistem sosial yang menilai manusia berdasarkan kekayaan, penampilan, dan prestise.

4. The Collector karya John Fowles

sampul The Collector
sampul The Collector (amazon.com)

Fredrick Clegg adalah seorang pemuda dari kelas pekerja yang terobsesi dengan Miranda Grey, seorang mahasiswa seni dari kalangan atas. Setelah memenangkan lotre, Clegg berencana menggunakan kekayaannya untuk menculik Grey dan menahannya di ruang bawah tanah di rumah yang terpencil.

Novel ini diceritakan dari sudut pandang Clegg yang menilai bahwa tindakannya sebagai sesuatu yang masuk akal. Clegg adalah contoh dari unreliable narrator, dengan bahasa yang kaku, minim empati, dan justru menyingkap keterbatasan emosional.

The Collector membahas tentang relasi kuasa, kelas sosial, dan objektifikasi terhadap perempuan. Penulis gak menempatkan antagonis sebagai tokoh yang karismatik. Melainkan sebagai figur yang brutal dan menakutkan.

5. Wide Sargasso Sea karya Jean Rhys

sampul Wide Sargasso Sea
sampul Wide Sargasso Sea (amazon.com)

Wide Sargasso Sea merupakan prekuel dari novel Jane Eyre yang ditulis oleh Charlotte Bronte. Dalam novel Jane Eyre terdapat tokoh bernama Bertha Mason, istri pertama dari Edward Rochester yang disembunyikan dalam loteng karena dianggap gila dan berbahaya. Bertha Mason sering dianggap antagonis dalam novel ini.

Namun, dalam novel Wide Sargasso Sea, Bertha Mason yang diubah namanya menjadi Antoinette Cosway diceritakan dengan sangat berbeda. Ia merupakan perempuan kreol yang bukan sepenuhnya Eropa, ditolak kelompok kulit putih dan kulit hitam. Hal ini membuatnya terjebak dalam keterasingan rasial dan kultural.

Pernikahannya dengan Edward Rochester bukan relasi cinta, melainkan transaksi kolonial yang sarat akan kuasa dan penaklukan. Secara tematis, Wide Sargasso Sea mengkritik patriarki dan kolonialisme. Jean Rhys menentang bahwa kegilaan Antoinette bukan bawaan, melainkan hasil kekerasan struktural. Novel ini menjadi salah satu karya sastra penting dalam feminis dan pasca-kolonial.

Buku fiksi yang ditulis dari sudut pandang antagonis bukan untuk menormalisasi tindak kejahatan, namun mengajak pembaca untuk lebih kritis. Sastra membuka ruang untuk memahami bagaimana kekerasan, kegilaan, dan penyimpangan sering kali lahir dari trauma, struktur sosial yang timpang, dan relasi kuasa. Sudut pandang ini menyingkap bagaimana seseorang dibentuk dan kemudian distigmatisasi melalui cerita.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us

Latest in Life

See More

8 Gaya OOTD Motif ala Lily Collins, Pemeran series Emily in Paris

23 Des 2025, 18:07 WIBLife