Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Hal Negatif dari Tiger Parenting yang Baru Terasa saat Anak Dewasa

ilustrasi bicara dengan anak
ilustrasi bicara dengan anak (freepik.com/peoplecreations)
Intinya sih...
  • Anak belajar sembunyikan perasaan, kesulitan mengenali dan mengelola emosi sendiri.
  • Nilai diri anak terbentuk dari prestasi, rasa percaya diri terlalu bergantung pada pencapaian.
  • Hubungan orangtua dan anak jadi transaksional, anak merasa kasih sayang bersyarat.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Orangtua pastinya pengen memberikan yang terbaik untuk anak, tapi tanpa sadar mereka sering kejebak dengan pola asuh Tiger parenting. Pola asuh ini lebih menekankan disiplin ketat, prestasi tinggi, dan kontrol penuh atas pilihan anak. Meskipun niatnya baik, tapi pola ini punya efek samping yang jarang disadari. Beberapa orangtua menganggap tekanan dan aturan keras bisa membentuk anak menjadi tangguh dan sukses.

Tapi, gak semua anak bisa berkembang dengan pendekatan seperti ini. Bahkan, ada yang justru tertekan, kehilangan arah atau merasa gak cukup baik. Satu hal yang harus disadari adalah anak bukan sebuah proyek yang harus berhasil, tapi seseorang yang butuh ruang untuk tumbuh alami. Berikut lima hal negatif yang bakal dirasakan anak dengan pola asuh Tiger parenting saat dewasa. Yuk, simak!

1. Anak belajar sembunyikan perasaan

ilustrasi anak menyembunyikan perasaan
ilustrasi anak menyembunyikan perasaan (freepik.com/freepik)

Kalau anak dibesarkan di lingkungan yang penuh tekanan dan ekspektasi tinggi, mereka lebih memilih untuk menyembunyikan apa yang sebenarnya dirasakan. Mereka belajar kalau menunjukkan emosi seperti takut, sedih, atau kecewa adalah kelemahan yang gak boleh terlihat. Hal ini yang membuat anak tumbuh menjadi pribadi yang gak terbiasa mengenali dan mengelola emosinya sendiri. Mereka terlihat kuat di luar, tapi sebenarnya di dalam sangat rapuh.

Kejujuran emosional jadi hal yang langka karena takut dihakimi atau dianggap pribadi yang gagal. Orangtua gak menyadari kalau anak mulai menjaga jarak secara emosional. Semakin keras aturan yang diberikan, makin tipis jembatan komunikasi yang terbangun. Akhirnya, anak lebih memilih diam daripada terbuka dengan orangtua nya sendiri.

2. Nilai diri anak terbentuk dari prestasi

ilustrasi ibu menuntut prestasi anak
ilustrasi ibu menuntut prestasi anak (freepik.com/freepik)

Tiger parenting menjadikan prestasi sebagai tolok ukur paling utama dari keberhasilan anak. Anak yang mendapat nilai sempurna atau juara lomba pasti akan mendapatkan pujian, tapi anak yang gagal merasa dihukum secara emosional. Akibatnya, anak belajar kalau dirinya berharga saat berhasil menunjukkan hasil yang memuaskan. Padahal, nilai diri seharusnya gak hanya bergantung pada seberapa tinggi pencapaiannya.

Anak bisa kehilangan rasa percaya diri kalau dia ia gak mencapai target tertentu. Akhirnya, anak menjadi terlalu keras pada dirinya sendiri, bahkan kalau sudah berusaha sebaik mungkin. Sementara menurut orangtua ini adalah parenting yang bisa membentuk mental juara pada anak, padahal yang terbentuk justru rasa takut gagal. Rasa percaya diri yang sehat gak tumbuh dari tekanan, tapi dari penerimaan dan dukungan.

3. Hubungan orangtua dan anak jadi transaksional

ilustrasi anak dan ayahnya
ilustrasi anak dan ayahnya (freepik.com/freepik)

Tanpa disadari, hubungan antara orangtua dan anak menjadi sebuah transaksi, anak membayar cinta dan perhatian dengan prestasi. Kalau anak bisa mencapai sesuatu, dia bakal mendapatkan validasi. Tapi saat gagal, dia merasa ditolak atau gak cukup baik. Anak mulai merasa kalau kasih sayang orangtua itu pasti bersyarat, bukan tanpa syarat.

Ini bisa meninggalkan luka emosional yang nantinya sulit disembuhkan. Anak yang tumbuh di lingkungan seperti ini bisa kesulitan membangun hubungan sehat dengan orang lain. Mereka sudah terbiasa mengorbankan dirinya demi diterima, bukan karena beneran menginginkan nya. Orangtua memang gak punya maksud begitu, tapi cara mereka mengekspresikan cinta justru seperti tuntutan bagi anak.

4. Kesempatan mengenali diri sendiri hilang

ilustrasi tidak memberi kesempatan anak
ilustrasi tidak memberi kesempatan anak (freepik.com/freepik)

Dalam pola asuh tiger parenting, anak gak diberi ruang untuk memilih sendiri apa yang dia suka dan minati. Semua sudah diarahkan bahkan ditentukan oleh orangtua, mulai dari hobi, teman, hingga cita-cita. Sekilas memang terlihat aman, tapi hal ini membuat anak kehilangan kesempatan untuk mengenali dirinya sendiri. Dia tumbuh hanya untuk memenuhi ekspektasi luar, bukan keinginan dari dalam dirinya.

Padahal, mengenali diri sendiri adalah dasar penting yang bisa membentuk kepribadian dan arah hidup yang otentik. Anak yang gak pernah diberi kesempatan mencoba dan gagal pasti bingung kalau harus membuat keputusan sendiri. Orangtua mungkin berpikir mereka sedang melindungi, tapi yang terjadi adalah menghambat proses pembentukan jati diri anak.

5. Kebahagiaan anak sering diabaikan

ilustrasi kebahagiaan anak terabaikan
ilustrasi kebahagiaan anak terabaikan (freepik.com/freepik)

Nah, ini hal yang paling sering dilupakan adalah kebahagiaan anak. Terlalu fokus pada kesuksesan dan kedisiplinan, banyak orangtua yang lupa bertanya tentang kebahagiaan anak, mereka mungkin patuh, rajin belajar, dan berprestasi, tapi belum tentu dia merasa puas dengan hidupnya. Rasa bahagia hanya dianggap sebuah bonus, bukan tujuan utama dalam hidup. Padahal, anak yang bahagia biasanya lebih sehat secara mental, lebih kreatif, dan lebih tahan terhadap tekanan hidup.

Orangtua kadang gak menyadari kalau standar tinggi nya membuat anak merasa hidupnya bukan miliknya sendiri. Kalau sejak kecil anak diajarkan kebahagiaan harus dikorbankan demi pencapaian, dia bakal tumbuh dengan pandangan hidup yang kaku dan penuh beban. Kebahagiaan bukan sebuah kemewahan tapi kebutuhan.

Tiger parenting memang lahir punya niat yang baik, pengen membentuk anak menjadi pribadi yang kuat dan berhasil. Tapi, niat baik saja gak cukup kalau caranya hanya menyakiti atau mengabaikan kebutuhan emosional anak. Saat membesarkan anak, kedisiplinan dan kasih sayang harus seimbang. Setiap anak berbeda, dan gak semua bisa berkembang dengan tekanan tinggi.

Anak juga butuh arahan dan ruang untuk tumbuh sebagai dirinya sendiri. Orangtua yang mau melihat sudut pandang anak bisa menyesuaikan pola asuh yang sesuai kebutuhan. Keberhasilan anak gak hanya diukur dari nilai tapi dari kebahagiaan dan kesehatan mentalnya. Yuk, jadi orangtua yang lebih bijak!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us

Latest in Life

See More

6 Time Management Hack supaya Hidupmu Lebih Produktif, Terapkan!

01 Okt 2025, 11:45 WIBLife