9 Dampak Helicopter Parenting yang Merusak Percintaan Anak saat Dewasa

- Terlalu ingin mengontrol hubungan.
- Sulit ambil keputusan sendiri.
- Tertarik pada pasangan yang dominan.
Orang tua yang terlalu protektif sering merasa sedang melakukan hal yang paling benar untuk anaknya. Semua keputusan dibantu, semua risiko dijaga, semua masalah dicegah sebelum terjadi. Dari luar terlihat seperti bentuk kasih sayang, padahal ada harga yang ikut terbentuk tanpa disadari.
Anak tumbuh dengan rasa aman, tetapi bukan dari dirinya sendiri melainkan dari kendali orang tuanya. Pada akhirnya, dampaknya terlihat jelas ketika mereka masuk ke hubungan romantis. Yuk, lihat bagaimana pola asuh helicopter parenting bisa memengaruhi kehidupan cinta seorang anak di masa dewasa.
1. Terlalu ingin mengontrol hubungan

Anak yang dibesarkan dengan pola helicopter parenting terbiasa melihat kontrol sebagai bentuk perhatian. Dalam hubungan, mereka bisa merasa perlu tahu semua hal tentang pasangannya agar merasa aman.
Sikap ini sering membuat pasangan merasa diawasi tanpa alasan yang jelas. Perasaan khawatir yang awalnya muncul dari rasa sayang berubah menjadi keinginan untuk mengatur hubungan. Jika tidak diimbangi dengan komunikasi yang sehat, hubungan bisa terasa menyesakkan bagi keduanya.
2. Sulit ambil keputusan sendiri

Karena helicopter parenting membuat anak terbiasa diarahkan sejak kecil, mereka sering kesulitan menentukan pilihan sendiri. Dalam hubungan, hal sederhana seperti memilih tempat makan atau mengambil keputusan penting bisa terasa berat.
Mereka terbiasa menunggu persetujuan dari sosok otoritatif agar merasa aman. Akibatnya, keputusan sering ditunda atau diserahkan kepada pasangan. Lama-lama, hubungan terasa tidak seimbang dan membuat pasangan bingung menghadapi sikap pasif ini.
3. Tertarik pada pasangan yang dominan

Pola helicopter parenting membuat seseorang merasa nyaman dalam situasi yang penuh kendali. Tanpa sadar, mereka tertarik pada pasangan yang tegas atau dominan karena terasa familiar.
Hubungan seperti ini membuat mereka merasa aman, walau sebenarnya membatasi ruang pribadi. Ketergantungan emosional terbentuk karena pola kendali dianggap sebagai bentuk kasih sayang. Akhirnya, hubungan bisa berjalan tidak setara dan sulit berkembang secara sehat.
4. Tidak paham batas personal dalam hubungan

Anak yang tumbuh dengan helicopter parenting sering tidak terbiasa memiliki ruang pribadi. Dalam hubungan, mereka kesulitan membedakan mana perhatian yang wajar dan mana pelanggaran batas.
Saat butuh waktu sendiri, mereka merasa bersalah karena takut dianggap menjauh. Sebaliknya, mereka juga bisa terlalu masuk ke ruang pribadi pasangan tanpa sadar itu berlebihan. Akibatnya, batas dalam hubungan menjadi kabur dan bisa memicu ketegangan.
5. Mudah merasa bersalah saat ingin mandiri

Efek helicopter parenting membuat anak sulit merasa nyaman saat ingin mandiri. Mereka takut membuat orang lain kecewa hanya karena mengambil keputusan sendiri. Dalam hubungan, mereka lebih sering mengalah demi menjaga keharmonisan.
Sikap ini membuat kebutuhan pribadi jarang disampaikan secara jujur. Seiring waktu, rasa bersalah yang berulang bisa menekan diri sendiri dan melemahkan rasa percaya diri.
6. Overthinking setiap konflik kecil

Karena helicopter parenting melindungi anak dari masalah, mereka tumbuh tanpa pengalaman menghadapi konflik. Saat dewasa, perbedaan pendapat kecil terasa seperti ancaman besar.
Pikiran negatif muncul lebih cepat dibanding keinginan mencari solusi. Mereka cenderung diam, menghindar, atau justru bereaksi berlebihan karena takut ditinggalkan. Padahal, sebagian besar masalah hubungan bisa diselesaikan dengan komunikasi yang terbuka.
7. Menggantungkan rasa aman pada pasangan

Anak hasil helicopter parenting belajar bahwa rasa aman selalu datang dari orang lain. Ketika dewasa, mereka mencari rasa aman itu dari pasangan sebagai pengganti figur orang tua. Jika pasangan tidak selalu tersedia, mereka bisa merasa diabaikan atau tidak dicintai.
Pola ketergantungan ini membuat hubungan jadi berat sebelah dan mudah melelahkan. Hubungan pun berubah menjadi tempat berlindung, bukan ruang untuk bertumbuh bersama.
8. Takut ditolak saat bersikap jujur

Dalam pola helicopter parenting, pendapat anak sering diarahkan atau dikoreksi. Akibatnya, mereka tumbuh takut untuk mengekspresikan perasaan yang berbeda. Dalam hubungan, kejujuran emosional terasa berisiko karena bisa memicu penolakan.
Mereka lebih memilih diam daripada terlihat menyulitkan pasangan. Namun, perasaan yang terus dipendam justru bisa menciptakan jarak emosional di antara keduanya.
9. Sulit percaya bahwa hubungan bisa berjalan tanpa pengawasan

Efek jangka panjang dari helicopter parenting adalah sulitnya mempercayai hubungan yang tidak diawasi. Mereka merasa tenang hanya jika selalu terlibat intens dengan pasangan. Saat pasangan memberi ruang, mereka bisa salah paham dan merasa diabaikan. Ketidakmampuan memberi kepercayaan ini membuat hubungan terasa menekan dan melelahkan. Pada akhirnya, keduanya bisa sama-sama kehilangan kebebasan emosional dalam hubungan.
Efek helicopter parenting tidak selalu terlihat dari luar, tetapi sangat terasa dalam cara seseorang mencintai. Banyak orang baru menyadarinya setelah masuk ke hubungan yang serius. Bukan berarti semua pola ini tidak bisa diperbaiki, hanya saja dibutuhkan kesadaran untuk mengenali akarnya. Dengan memahami diri dan cara tumbuhnya rasa aman, hubungan bisa berubah menjadi ruang saling percaya. Di situlah cinta tumbuh, bukan dari rasa takut, tapi dari rasa bebas dan sadar diri.