Orangtua Melek Digital: Cara Sehat Dampingi Anak Jelajahi Dunia Online

- Orangtua harus terus belajar dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi
- Perubahan perilaku anak bisa menjadi tanda konsumsi digital yang mengkhawatirkan
- Kualitas waktu bersama keluarga tetap penting dalam menjaga kedekatan emosional anak
Jakarta, IDN Times - Dunia digital saat ini jadi ruang bermain sekaligus ruang belajar bagi anak-anak. Namun di balik kemudahan dan hiburan yang ditawarkan, ada tantangan besar yang perlu dihadapi oleh para orangtua. Dalam acara bertajuk 'Like, Share, Protect: Anak Kita di Dunia Digital' oleh Komdigi (Kementerian Komunikasi dan Digital) x IDN Times pada Senin (21/4/2025) di The Plaza, IDN HQ, Jakarta Selatan, beberapa pembicara membahas secara mendalam bagaimana dunia maya dapat memengaruhi tumbuh kembang anak.
Para pembicara juga membahas bagaimana orangtua bisa hadir secara aktif dan sehat dalam mendampingi proses tersebut. Ketiganya memberikan wawasan berharga mengenai pentingnya peran orangtua dalam mengawasi anak di dunia digital, tanpa membuat mereka merasa terkekang. Yuk, simak poin-poin pentingnya di bawah ini!
1. Dunia digital bergerak dengan sangat cepat, orangtua harus terus keep up

Di era modern ini, tidak bisa dipungkiri perkembangan digital berlangsung dengan cukup pesat. Hal ini kerap menciptakan gap antara orangtua dengan anak. Itulah mengapa, mau tidak mau, orangtua pun harus terus belajar dan beradaptasi terhadap perkembangan teknologi. Sashkya Aulia, Psikolog Anak dan Keluarga, mengatakan bahwa hal utama yang harus orangtua lakukan adalah keep up dengan semua hal yang ada.
"Sebelum kasih ke anak, orangtua harus yang pertama kali consume. Kadang kalau consume itu bukan hanya durasi, tapi konten di dalamnya. Kita sebagai orangtua harus berjalan beriringan (dengan anak)," lanjutnya.
2. Ciri-ciri bahwa konsumsi anak terhadap dunia digital sudah masuk tanda bahaya

Sebelum dampak negatif dunia digital terasa sepenuhnya, orangtua sebaiknya mulai peka terhadap tanda-tanda awal yang muncul dari perilaku anak. Meski terlihat sepele, beberapa perubahan bisa menjadi sinyal bahwa konsumsi digital anak sudah berada di titik yang mengkhawatirkan. Sashkya menjabarkan beberapa tanda bahwa anak sudah mengonsumsi hal berbahaya di media sosial.
"Pertama, ada perubahan perilaku yang sangat besar ketika ada/tidak adanya akses kepada media digital tersebut. Misalnya, anak jadi mudah marah-marah atau kesal. Kedua, secara sosial, mereka lebih memilih untuk sendiri, terus bisa kelihatan juga secara motorik dan kegiatan fisik (gak mau tidur dan makan)," kata dia.
3. Q-time bersama keluarga tetap menjadi hal yang penting

Di tengah gempuran konten digital yang terus-menerus hadir, kehangatan waktu berkualitas bersama keluarga atau yang sering disebut Q-time (quality time), masih jadi kunci penting dalam menjaga kedekatan emosional anak. Saat anak merasa diperhatikan dan didengar, mereka cenderung lebih terbuka dan tidak mencari pelarian sepenuhnya ke dunia digital.
"Di era digitalisasi yang semakin berkembang, kita harus balik lagi dengan quality time bersama keluarga, balik lagi untuk mengembangkan sensorik dan motorik anak. Misalnya dengan kegiatan liburan dan sebagainya," ucap Vendryana, Momfluencer dan Content Creator.
Vendryana melanjutkan, banyak anak yang memang belum terpapar dunia realita. Itulah yang menyebabkan mereka sering menganggap bahwa hal-hal seru hanya terjadi di dunia digital.
4. Hal yang harus diperhatikan saat membatasi dunia digital untuk anak

Membatasi akses anak terhadap dunia digital bukan berarti langsung melarang atau menjauhkan mereka sepenuhnya dari teknologi. Sebaliknya, pendekatan yang tepat justru melibatkan pengaturan dengan komunikasi terbuka dan penjelasan yang mudah dipahami oleh anak. Tujuannya adalah membantu anak belajar mengatur sendiri pola konsumsi digitalnya dengan kesadaran, bukan karena paksaan.
Sashkya menjabarkan, "Secara umum, kita melihat dari durasi penggunaan dan isi kontennya. Kalau dari segi usia, 2 tahun ke bawah sebaiknya tidak diperbolehkan main gadget karena bagian-bagian otaknya masih belum siap. Kemudian, 2-3 tahun sebaiknya kurang dari 30 menit screen time-nya. Kalau setelah umur 5-8 tahun, mungkin bisa di 2 jam."
Sashkya menjelaskan juga, setelah anak berusia 8 tahun sampai remaja, orangtua bisa memberikan waktu 2 jam untuk screen time. Dengan catatan, itu yang berhubungan dengan entertainment. Jika berhubungan dengan sekolah, mungkin masih diperbolehkan lebih.
5. Pemerintah juga tengah membuat kebijakan untuk permasalahan ini

Permasalahan seputar dampak dunia digital pada anak, tidak hanya jadi tanggung jawab orangtua, tapi juga mendapat perhatian serius dari pemerintah. Kesadaran akan pentingnya perlindungan anak di ranah digital mendorong pemerintah untuk merancang kebijakan yang mendukung keamanan dan kenyamanan anak saat berselancar di internet.
"Orangtua juga perlu dibantu untuk melindungi anak di dunia digital. Ini jadi landasan berpikir pemerintah yang dipimpin Komdigi membentuk satu kebijakan baru, TUNAS (perlindungan anak di dunia digital). Kebijakan ini mengatur bagaimana peran industri, masyarakat, dan orangtua. Jadi, gak hanya di orangtua aja perannya," kata Nisa Felicia, Executive Director Pusat Studi Pendidikan dan Kebijakan.
Itulah beberapa kiat dan tips bagi orangtua untuk mengawasi anak saat bermedia sosial. Semoga bisa menjadi insight baru untukmu, ya!