Kenapa Anak Sulit Punya Boundaries? Pola Asuh Jadi Akar Masalah!

- Anak sulit punya boundaries karena pola asuh yang mengontrol terlalu ketat sejak kecil, membuat mereka kesulitan mengambil keputusan sendiri.
- Anak diajarkan untuk selalu nurut demi dianggap baik, sehingga sulit mengekspresikan diri dan merasa bersalah saat menolak.
- Emosi anak dianggap berlebihan atau salah, sehingga mereka terbiasa mengabaikan rasa tidak nyaman dan sulit menolak hal yang melanggar batas pribadinya.
Sering banget kita nemu anak-anak, atau bahkan orang dewasa, yang kesulitan bikin batasan. Susah bilang “enggak”, gak enakan, takut dibilang jahat, atau malah gak sadar kalau dirinya sedang diperlakukan semena-mena. Padahal, punya boundaries itu penting banget. Buat jaga kesehatan mental, buat punya kendali atas hidup sendiri, bahkan buat hindari relasi yang toksik.
Sayangnya, banyak dari kita gak pernah diajari soal ini waktu kecil. Dan ternyata, akar dari kesulitan bikin boundaries itu bisa ditelusuri ke cara kita dibesarkan. Yuk, kenali beberapa pola asuh yang ternyata bikin anak tumbuh tanpa batasan yang sehat.
1. Terlalu dikontrol sejak kecil

Anak yang sejak kecil selalu diatur dalam segala hal, mulai dari pakaian, makanan, sampai teman main, bisa tumbuh jadi pribadi yang bingung ambil keputusan sendiri. Apalagi kalau setiap keinginan anak selalu ditolak atau dianggap “enggak sopan” kalau gak nurut.
Tanpa disadari, kontrol yang terlalu ketat bikin anak belajar bahwa pendapat mereka gak penting. Alhasil, saat dewasa, mereka kesulitan bilang “enggak” karena terbiasa merasa harus menyenangkan orang lain. Mereka lebih milih mengalah, meski gak nyaman, daripada harus berdebat atau merasa bersalah. Padahal, punya pilihan dan batasan itu hak setiap orang, termasuk anak-anak.
2. Diajarkan untuk selalu nurut demi dianggap baik

“Anak baik itu yang nurut sama orang tua.” Kalimat ini familiar banget, kan? Banyak dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa jadi anak baik artinya selalu patuh, gak protes, dan gak membantah.
Masalahnya, definisi “baik” yang terlalu sempit ini bikin anak takut mengekspresikan diri. Mereka merasa bersalah saat ingin menolak, atau merasa egois kalau mau mendahulukan diri sendiri. Akhirnya, mereka tumbuh jadi orang dewasa yang gak tahu caranya membela diri, apalagi pas berada dalam situasi yang gak sehat. Padahal, bisa bilang “tidak” tanpa rasa bersalah adalah salah satu bentuk self-respect.
3. Emosi anak dianggap berlebihan atau salah

Setiap kali anak marah, sedih, atau takut, banyak orang tua yang buru-buru bilang, “Udah, gak usah lebay!” atau “Gitu aja nangis, malu ah.” Ujung-ujungnya? Anak belajar bahwa emosinya itu salah dan gak layak ditunjukkan.
Padahal, validasi emosi adalah pondasi dari kemampuan anak mengenali dan menjaga diri. Kalau dari kecil aja udah diminta menahan perasaan, bagaimana mereka bisa tahu batas mana yang harus dijaga? Anak jadi terbiasa mengabaikan rasa gak nyaman, yang ujungnya bikin mereka gampang dimanfaatkan atau sulit menolak hal yang melanggar batas pribadinya.
4. Gak dikasih ruang untuk mandiri dan belajar dari kesalahan

Beberapa orang tua terlalu protektif sampai-sampai anak gak pernah dikasih kesempatan buat ambil keputusan sendiri. Semua hal dipilihkan, semua risiko dihindari. Tujuannya sih biar anak aman, tapi efek jangka panjangnya bisa bikin anak gak percaya sama intuisi atau kemampuannya sendiri.
Saat dewasa, mereka jadi takut ambil sikap karena takut salah. Mereka juga lebih gampang ikut arus, gak tahu mana yang benar-benar mereka inginkan, dan mana yang cuma dorongan orang lain. Padahal, belajar bikin boundaries itu butuh keberanian dan barus diajarkan sejak dini. Kalau dari kecil gak dikasih ruang untuk itu, ya gak heran kalau mereka tumbuh tanpa batasan yang jelas.
Punya boundaries bukan berarti jadi egois atau melawan orang tua. Justru dengan tahu batas diri, seseorang bisa membangun hubungan yang lebih sehat, baik sama orang lain maupun sama diri sendiri. Sayangnya, banyak dari kita yang harus belajar itu dari nol karena pola asuh yang menekan atau terlalu menuntut.
Tapi gak ada kata terlambat kok. Kalau kamu ngerasa susah bilang “enggak” atau sering ngerasa bersalah saat jaga jarak, mungkin ini saatnya menengok ke belakang dan pelan-pelan merapikan luka yang ada. Karena setiap orang berhak punya batas, dan itu bukan sesuatu yang perlu dimintain maaf.