Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Cara Menerapkan Pola Asuh yang Seimbang antara Tegas dan Empati

ilustrasi seorang ayah sedang menasehati anak-anaknya (pexels.com/timamiroshnichenko)

Mengasuh anak tidak harus selalu tegas atau serba memanjakan. Justru, keseimbangan antara aturan dan empati adalah kunci untuk membentuk anak yang kuat secara emosional namun tetap hangat. Jika kamu ingin mendukung tumbuh kembang anak secara menyeluruh, pola asuh seimbang bisa jadi pilihan terbaik.

Dengan menggabungkan batasan yang jelas dan pendekatan penuh pengertian, anak akan belajar disiplin tanpa merasa tertekan. Yuk, cari tahu cara menerapkannya lewat artikel berikut!

1. Evaluasi dulu cara kamu bersikap sehari-hari

ilustrasi anak yang menutup telinga (pexels.com/kindelmedia)

Anak belajar paling cepat dari apa yang mereka lihat, bukan dari apa yang hanya mereka dengar. Maka, jika kamu ingin anak lebih sopan atau terbuka menyampaikan perasaannya, pastikan kamu juga melakukan hal yang sama di hadapan mereka.

“Kalau kamu ingin anakmu terbiasa mengatakan ‘tolong’, ‘terima kasih’, atau ‘maaf’, pastikan kamu juga mengatakannya langsung kepada mereka,” ujar Dr. Dylan Ochal, dokter anak di Ocean Pediatrics, dilansir Parents.

Perilaku sehari-hari orangtua akan membentuk pola pikir anak dalam jangka panjang. Ketika anak melihat kamu bisa mengelola emosi atau meminta maaf tanpa gengsi, mereka pun akan merasa aman mengekspresikan hal yang sama. Ini adalah fondasi penting untuk menciptakan hubungan yang sehat dan saling menghargai.

2. Validasi emosi anak, bukan sekadar menegur perilakunya

ilustrasi seorang anak perempuan bersedih (pexels.com/liza-summer)

Tantrum, teriakan, atau rengekan sering kali merupakan cara anak mengungkapkan rasa tidak nyaman yang belum bisa mereka jelaskan. Daripada langsung memarahi, lebih baik bantu mereka memahami dan memberi nama untuk perasaan yang muncul. Cobalah katakan, “Kamu kesal karena tidak bisa beli mainan itu, dan itu bikin frustrasi, ya?

Dengan membiasakan validasi emosi, kamu sedang mengajarkan anak untuk mengenal dan menerima dirinya sendiri. Hal ini membantu membentuk anak yang lebih sadar emosi dan mampu berkomunikasi secara sehat di masa depan. Momen sulit justru bisa jadi peluang berharga untuk memperkuat koneksi emosional dengan anak.

“Saat orangtua hadir sepenuhnya dan memperhatikan anak dengan penuh kesadaran, itu bisa menciptakan ruang yang aman bagi anak untuk merasakan dan mengelola emosinya,” jelas Sarah Harmon, terapis kesehatan mental, dikutip dari Psych Central.

3. Tetapkan batasan yang jelas dan bantu anak untuk mematuhinya

ilustrasi seorang ayah sedang menasehati anak-anaknya (pexels.com/timamiroshnichenko)

Menjadi orangtua yang tegas bukan berarti harus galak, melainkan mampu menetapkan aturan yang konsisten. Jika anak belum bisa mematuhi batasan itu, bantu mereka tanpa menghakimi. Misalnya dengan mengatakan, “Kita tidak memukul. Kalau kamu belum bisa berhenti, Ibu akan bantu pegang tanganmu agar tetap aman.”

Batasan yang sehat justru membuat anak merasa lebih aman dan tahu apa yang diharapkan dari mereka. Dengan cara ini, anak belajar bahwa ada konsekuensi dari tindakan mereka tanpa merasa ditolak atau dimusuhi. Kamu tidak hanya mengajari aturan, tapi juga menanamkan nilai-nilai kontrol diri dan tanggung jawab.

4. Jelaskan alasan di balik aturan dengan bahasa yang mudah dipahami

ilustrasi ibu dan anak sedang makan bersama (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi ibu dan anak sedang makan bersama (pexels.com/cottonbro)

Daripada menggunakan kalimat seperti, “Karena Mama bilang begitu!”, lebih baik jelaskan dengan alasan yang masuk akal dan sesuai usia. Misalnya, “Tugas Mama adalah menjaga tubuhmu tetap aman,” bisa lebih diterima anak dan membangun kepercayaan mereka. Anak jadi paham bahwa aturan dibuat demi kebaikannya, bukan semata-mata bentuk otoritas.

Dengan memberikan konteks, anak belajar berpikir kritis dan memahami konsekuensi dari tindakan mereka. Ini juga membantu mereka merasa dilibatkan dalam proses, bukan hanya jadi objek yang harus patuh. Komunikasi dua arah semacam ini memperkuat ikatan emosional antara anak dan orangtua.

5. Hindari hukuman keras, fokus pada koneksi dan pemahaman

ilustrasi memarahi anak (pexels.com/gabbyk)
ilustrasi memarahi anak (pexels.com/gabbyk)

Meski terlihat efektif dalam jangka pendek, memberi hukuman seperti mengurung anak di kamar setelah tantrum bisa merusak rasa aman emosional mereka. Hukuman semacam ini bisa mengirimkan pesan bahwa emosi mereka tidak bisa diterima, dan orangtuanya tidak mampu menanganinya. Padahal, yang anak butuhkan saat itu justru pelukan atau kehadiran penuh empati.

“Hukuman tidak efektif untuk menciptakan perubahan jangka panjang dan bisa menimbulkan dampak negatif yang tidak diinginkan,” ujar Dr. Ochal.

Dibandingkan menghukum, lebih baik berikan waktu jeda (time-in) bersama anak sambil membantu mereka menenangkan diri. Dengan begitu, anak belajar mengenali emosinya dan menyadari bahwa kamu ada untuk mendukung mereka, bukan melawan. Pendekatan ini jauh lebih efektif dalam membentuk anak yang peka dan bertanggung jawab secara emosional.

Itulah lima cara menerapkan pola asuh seimbang antara ketegasan dan empati. Pola asuh ini bukan soal galak atau lembek, tapi tentang kehadiran penuh perhatian yang tetap tegas saat dibutuhkan. Dengan menerapkan pendekatan ini, anak akan tumbuh percaya diri dan memiliki hubungan emosional yang kuat dengan orangtuanya.

 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima
EditorPinka Wima
Follow Us