Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

#MahakaryaAyahIbu: Pelajaran dalam Diam

vemale.com
vemale.com

Artikel ini merupakan karya tulis peserta kompetisi storyline "Mahakarya untuk Ayah dan Ibu" yang diselenggarakan oleh IDNtimes dan Semen Gresik. 


Aku bukan yang paling hebat. Tapi aku bersyukur dikaruniai Allah seorang Ayah yang hebat dan kokoh tak tertandingi seperti ayahku. Aku bukan yang paling baik. Tapi aku bersyukur karena dikaruniai seorang Ibu yang amat baik seperti Ibuku. Mungkin tampak luar, ayah dan ibuku adalah orang yang keras. Namun, kerasnya mereka adalah cara supaya aku, kakak, dan adikku bisa disiplin. Banyak hal yang dulu kubenci, kini kusyukuri setelah aku mengerti.

Tidak semua hal harus dipahami saat ini. Adakalanya kita cukup menerima tanpa bertanya mengapa begini, mengapa begitu. Satu hal yang mesti dimiliki hanyalah keyakinan bahwa segala yang terjadi dalam hidup bukan tanpa arti. Segalanya pasti memberikan hikmah dan pelajaran, yang entah kita akan memahaminya kini atau nanti. Dan mahakarya ini, adalah pelajaran kehidupan yang kudapatkan dari ayahku.

Pagi itu, aku dan ayahku pergi mengurus STNK motor di Assalaam Hypermarket. Awalnya, hanya ayahku saja yang hendak mengurusnya. Tetapi, ibuku menyuruh agar aku ikut, katanya supaya mengerti dan punya pengalaman. Jadilah aku berangkat bersama ayahku. Sesampainya di sana, antrian sudah cukup panjang. Padahal mobil petugas belum juga datang. Selepas mengambil nomor antrian, ayahku menarik salah satu cargo trolley agar bisa didudukinya bersamaku. Ayahku tidak pernah malu untuk melakukan hal-hal yang mungkin kadang di mata orang adalah aneh. Selama itu benar dan tidak merugikan orang lain, kenapa tidak?

Kami menunggu cukup lama sampai mobil petugas akhirnya datang. Karena prosesnya berdasarkan antrian, maka bisa dipastikan ayahku mendapat giliran yang masih cukup lama. Lantas aku berfikir, betapa tidak tahu dirinya aku bila membiarkan ayahku menunggu selama itu sendiri. Padahal yang diurus adalah STNK motor yang kupakai untuk kuliah di Jogja. Alhamdulillah aku ikut sehingga ayahku tidak menunggu lama sendirian. Sambil menunggu, aku bermain handphone. Ayahku juga membuka handphone, entah mengecek apa. Hingga tiba-tiba, aku mendengar ayahku mengaji. Aku terhenyak.

Aku tersenyum sambil menghela nafas. Aku malu. Ayahku bisa memanfaatkan waktu menunggunya dengan membaca Al-Qur’an. Sedangkan aku? Akhirnya, aku mengikuti ayahku membuka mushaf digital, dan mulai membacanya. Dalam hati aku hanya bisa terus merasa terharu. Dan entah kenapa, detik ini tiba-tiba aku rindu.

Ayahku sosok yang tidak pernah marah. Aku tidak tahu batas kesabarannya setinggi apa, tapi yang jelas meski tampaknya keras, ayahku adalah sosok yang begitu lembut. Ayahku tidak pernah memaksa, melainkan mengajak diskusi untuk menemukan solusi terbaik. Ayahku tidak pernah menasihati dengan suara yang keras.

Ayahku lebih banyak memberikan contoh dan teladan, ketimbang menyuruh ini itu. Sekali dua kali memang menasihati, tapi ia tidak pernah monoton mengajarkan anak-anaknya harus begini, harus begitu. Ia membiarkan anak-anaknya menemukan dan memahami sendiri pelajaran-pelajaran kehidupan dengan terus memberikan contoh dan keteladanan.

Salah satu contohnya adalah aktivitasnya membaca Al-Qur’an saat menunggu panggilan antrian untuk mengurus STNK motor pagi itu. Apakah ayahku menyuruhku ikut serta membaca Al-Qur’an? Tidak. Ayahku hanya membaca. Memberikan contoh nyata bahwa salah satu cara yang baik untuk mengisi waktu luang ketika menunggu sesuatu adalah dengan membaca Al-Qur’an.

Ayahku tidak mengatakan sepatah katapun. Tapi itu sungguh merupakan sebuah visualisasi nasihat yang sangat nyata dan konkret. Tak asal sekadar bicara, tapi sungguh-sungguh dilakukan. Tidak peduli bagaimana kemudian pandangan orang-orang di sekitar kami, Ayahku memiliki prinsip bahwa menjadi berbeda dengan orang lain dalam hal kebaikan itu penting.

Ayahku bukan sosok romantis, yang bisa berkata manis pada anak-anaknya. Kepedulian dan kasih sayang ayahku tidak terlihat dari bagaimana caranya memperlakukan kami sehari-hari. Akan tetapi, kasih sayang ayahku tampak ketika beliau memberikan kami (anak-anaknya) nasihat.

Begitu tulus dari hati dan disampaikan dengan penuh kebijaksanaan. Ada satu hal yang sangat mengaharukan dalam hidupku bersama ayahku. Ketika itu, aku sudah lama tidak pulang kampung karena agenda yang cukup padat di Jogja. Kemudian saat pulang, ayahku langsung memelukku dan berkata untuk pertama kalinya, “Kangen, Nduk..” yang membuatku sadar, meski ayahku tak pernah memintaku untuk pulang, namun lewat kalimat rindu itulah ayahku senantiasa menantikan kehadiranku di rumah.

Share
Topics
Editorial Team
rosyda
Editorrosyda
Follow Us