Parenting ala Millenial dan Gen Z: Pendekatan yang Hangat

- Soal parenting, generasi Millenial mengombinasikan cara tradisional dengan nilai-nilai modern; memilih pendekatan yang emosional dan menekankan rasa hormat serta komunikasi. Sementara itu, Gen Z cenderung mendidik anak dengan lebih terencana; fokus pada co-regulation, literasi emosional, dan keamanan digital.
- Istilah "strawberry parenting" yang dulu sering dipakai untuk mengejek pola asuh yang dianggap “terlalu lembek” kini justru dilihat sebagai sudut pandang baru.
- Orang tua di bawah usia 40 tahun empat kali lebih mungkin mencari konsultan kesehatan mental bagi anak-anak mereka dibandingkan dengan orang tua berusia di atas 50 tahun.
Cara orang tua mengasuh anak telah mengalami perubahan besar. Jika dulu anak yang selalu nurut kepada orang tua menjadi tujuan utama di dalam rumah tangga, kini perlahan digantikan dengan pendekatan yang lebih hangat dan selaras secara emosional. Empati, rasa hormat, dan kemampuan mengatur emosi bersama mulai dipandang sebagai fondasi dalam membangun hubungan di dalam keluarga.
Soal parenting, generasi Millenial mengombinasikan cara tradisional dengan nilai-nilai modern. Mereka memilih pendekatan yang emosional dan menekankan rasa hormat serta komunikasi. Sementara itu, Gen Z—termasuk orang tua muda—cenderung mendidik anak dengan lebih terencana. Mereka fokus pada co-regulation, literasi emosional, dan keamanan digital. Mereka ingin mendidik anak dengan empati dan rasa ingin tahu.
Berikut paparan dari temuan riset Indonesia Millennial and Gen Z Report 2026 terkait pendefinisian ulang pola asuh dari kalangan Milenial dan Gen Z.
Strawberry parenting
Istilah "strawberry parenting" yang dulu sering dipakai untuk mengejek pola asuh yang dianggap “terlalu lembek” kini justru dilihat sebagai sudut pandang baru. Pola ini bukan lagi tentang melindungi anak secara berlebihan, melainkan tentang mendampingi mereka untuk mengenali perasaan, mengatur respons, dan memahami dunia di sekitar mereka. Tujuannya bukan sekadar membuat anak bertahan, tetapi benar-benar tumbuh dengan pemahaman yang lebih dalam.
Meski ada kritik yang menyebut parenting ini bisa membuat anak manja, tetapi penelitian justru menunjukkan hal sebaliknya. Anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang responsif secara emosional cenderung lebih tangguh, memiliki keterampilan sosial-emosional yang baik, serta motivasi dari dalam diri yang lebih kuat.
Di kota-kota besar seperti Jakarta dan Bandung, bahkan mulai merambah ke kota sekunder, pola ini makin banyak diadopsi oleh orang tua Millenial dan Gen Z. Bukan sekadar mengikuti tren, tetapi karena mereka sadar bahwa dunia yang akan dihadapi anak-anak kelak menuntut mereka tumbuh dengan bekal emosional yang jauh lebih matang.
Neurosains dan perkembangan awal

Di balik setiap perubahan dalam pola asuh dan cara anak bermain, ada sesuatu yang lebih mendasar, yakni otak yang sedang berkembang. Pada tahun-tahun pertama kehidupan, otak anak sangat peka terhadap berbagai masukan dari lingkungan, baik itu emosional, sensorik, maupun digital. Bagi Gen Alpha, arsitektur pikiran mereka sedang dibangun dalam konteks yang sama sekali berbeda dari generasi-generasi sebelumnya.
Penelitian neurosains modern menunjukkan bahwa kepekaan emosional sejak dini, khususnya melalui co-regulation bersama orang tua atau pengasuh, memegang peran penting dalam memperkuat jalur saraf yang bertanggung jawab atas empati, pengendalian emosi, dan pengambilan keputusan.
Saat seorang anak merasa kesal lalu orang tuanya membantu memberi nama pada perasaan itu dan menuntunnya melewati emosi tersebut, momen itu bukan sekadar menenangkan, tetapi juga secara biologis membangun otak. Proses bersama dalam mengelola emosi inilah yang menjadi fondasi bagi keluwesan berpikir dan kemampuan mengatur diri di masa depan.
Namun, di sisi lain, respons emosional ini kini harus bersaing dengan stimulasi digital yang terus-menerus hadir. Layar yang terang, konten yang serba cepat, dan umpan balik algoritmik menghadirkan jenis masukan berbeda—sering kali melewati proses refleksi dan terlalu mengaktifkan sistem penghargaan di otak. Akibatnya, ada risiko overstimulasi, terutama pada korteks prefrontal yang masih berkembang, yaitu bagian otak yang mengatur perhatian, kontrol impuls, dan memori kerja.
Pada saat yang sama, interaksi di dunia nyata, yang mana ini penting untuk membangun kecerdasan sosial, makin sering tergantikan oleh substitusi digital. Bahayanya bukan terletak pada teknologi itu sendiri, melainkan pada ketidakseimbangan; ketika pembelajaran berbasis layar menggantikan permainan tradisional atau distraksi digital menggantikan dialog emosional.
Dalam konteks ini, mengasuh anak bukan lagi soal mengatur waktu layar, tetapi juga bagaimana orang tua merancang pengalaman yang menyeimbangkan antara stimulasi dan regulasi, antara kecakapan digital dan pijakan emosional.
Utamakan kesehatan mental
Data menunjukkan bahwa orang tua di bawah usia 40 tahun di Indonesia empat kali lebih mungkin mencari konsultan kesehatan mental bagi anak-anak mereka dibandingkan dengan orang tua berusia di atas 50 tahun. Pergeseran ini paling terlihat di kalangan keluarga perkotaan dengan pendapatan menengah atas, di mana kesehatan mental kini menjadi nilai penting dalam rumah tangga. Mencari bantuan tidak lagi dianggap tabu, melainkan menjadi tanda pola asuh yang proaktif dan berlandaskan nilai-nilai.
"Kita sering berbicara tentang mempersiapkan anak untuk masa depan, tetapi sesungguhnya pekerjaan dimulai dari bagaimana kita merespons mereka hari ini. Ketika seorang anak merasa kesal, lalu orang tua hadir bukan hanya secara fisik tetapi juga secara emosional, saat itu otak sedang dibangun," kata psikiater dr. Elvine Gunawan, SpKJ.
Momen itu, menurutnya, mengajarkan kepercayaan, kemampuan mengatur diri, dan ketangguhan. Bagi Gen Alpha yang tumbuh di dunia yang terus berubah, keamanan emosional bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan dasar. Praktis, mengasuh anak pada era ini tidak lagi soal kontrol, melainkan soal koneksi.
IDN menggelar Indonesia Summit (IS) 2025, sebuah konferensi independen yang khusus diselenggarakan untuk dan melibatkan generasi Milenial dan Gen Z di Tanah Air. Dengan tema "Theme: Thriving Beyond Turbulence Celebrating Indonesia's 80 years of purpose, progress, and possibility". IS 2025 bertujuan membentuk dan membangun masa depan Indonesia dengan menyatukan para pemimpin dan tokoh nasional dari seluruh nusantara.
IS 2025 diadakan pada 27 - 28 Agustus 2025 di Tribrata Dharmawansa, Jakarta. Dalam IS 2025, IDN juga meluncurkan Indonesia Millennial and Gen-Z Report 2026.
Survei ini dikerjakan oleh IDN Research Institute. Melalui survei ini, IDN menggali aspirasi dan DNA Milenial dan Gen Z, apa nilai-nilai yang mendasari tindakan mereka. Survei dilakukan pada Februari sampai April 2025 dengan studi metode campuran yang melibatkan 1.500 responden, dibagi rata antara Milenial dan Gen Z.
Survei ini menjangkau responden di 12 kota besar di Indonesia, antara lain Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Solo, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar.