5 Penyebab Rasa Iri terhadap Anak Sendiri, Pahami!

- Anak mendapatkan hal yang dulu tak pernah orangtua miliki, seperti validasi emosional dan dukungan sosial.
- Membandingkan masa kecil sendiri dengan kehidupan anak bisa memicu rasa iri yang normal, tapi harus dikelola dengan baik.
- Kesedihan karena tidak bisa mewujudkan mimpi sendiri dan pola pikir kompetitif juga dapat menjadi penyebab rasa iri terhadap anak sendiri.
Merasa iri terhadap anak sendiri mungkin terdengar tabu, tapi sebenarnya hal ini jauh lebih umum dari yang dibayangkan. Emosi ini bisa muncul diam-diam dan membuat orangtua merasa bingung atau bersalah.
Namun, memahami akar dari perasaan tersebut adalah langkah penting untuk menjaga hubungan yang sehat dengan anak. Sebelum menyalahkan diri sendiri, ada baiknya menyadari bahwa setiap emosi memiliki cerita dan alasan di baliknya. Yuk, simak pernyebab rasa iri terhadap anak sendiri lewat artikel berikut!
1. Anak mendapatkan hal yang dulu tak pernah orangtua miliki

Anak mungkin merasakan validasi emosional, dukungan sosial, atau kasih sayang yang dulu bagimu terasa langka. Melihat mereka bebas mengeksplorasi diri atau tertawa tanpa khawatir, hati bisa merasa teriris. Inilah jejak masa lalu yang belum sembuh, muncul lewat rasa iri yang tak terduga .
Rasa tersebut bukan kelemahan atau penyakit, melainkan sinyal dari kebutuhan emosional yang belum terpenuhi. Saat anak menikmati apa yang dulu menjadi kemewahan, perasaan campur aduk menguar di balik rasa bangga. Menyadari ini berarti memberi ruang untuk menyembuhkan dan hadir penuh bagi anak.
"Merasa iri kepada anakmu tidak berarti kamu kurang mencintai mereka, itu berarti ada kebutuhan yang belum terpenuhi atau luka lama yang muncul kembali," ujar Alyssa Campbell, pakar perkembangan emosi dan pendiri Seed & Sew, dilansir Verywell Mind.
2. Membandingkan masa kecil sendiri dengan kehidupan anak

Anak tumbuh di lingkungan dengan akses lebih baik dengan pendidikan, nutrisi, dan kesempatan yang dulu hanya menjadi impian. Kondisi ini bisa memancing rasa bahwa hidup mereka “lebih sempurna” dibanding masa kecil orangtuanya yang keras. Perbandingan seperti ini sering muncul tanpa sengaja, dan menimbulkan ketidaknyamanan tersendiri .
"Merasa iri adalah hal yang normal. Kalau anakmu mengalami hal-hal yang tidak kamu alami dulu, wajar jika kamu merespons secara emosional. Rasa iri hanya menjadi masalah bila tidak dikelola dengan baik," kata Eli Harwood, konselor profesional berlisensi dan pakar teori keterikatan, dilansir Verywell Mind.
Kesejahteraan anak bisa jadi refleksi atas kekurangan yang dulu diderita dan perasaan iri muncul sebagai respons alami terhadap ketidakseimbangan itu. Perasaan ini bukanlah gambaran tidak bersyukur, tetapi panggilan untuk merangkul luka lama. Kesadaran seperti ini membantu menumbuhkan empati, bukan hanya untuk anak, tetapi juga untuk bagian diri sendiri.
3. Kesedihan karena tidak bisa mewujudkan mimpi sendiri

Jika ada mimpi lama yang tak pernah terlaksana, mulai dari menekuni seni, olahraga, hingga kuliah di luar negeri, melihat anak mewujudkannya bisa menyentuh titik sensitivitas. Bangga dan suka hadir berdampingan dengan rasa sedih, sebagaimana anak terlihat meraih potensi yang dulu sempat tertunda .
Perasaan ini bukan persaingan, melainkan isyarat bahwa bagian diri masih merindukan kesempatan yang pernah hilang. Anak menjadi cerminan potensi yang tak sempat diwujudkan penuh dan rasa itu bisa menjadi pemicu pertumbuhan. Menjadi penting untuk menafsirkannya sebagai peluang, bukan hambatan dalam parenting.
4. Pola pikir kompetitif atau emosional yang belum matang

Melihat anak tampil lebih cerdas, populer, atau berprestasi bisa menimbulkan rasa kurang nyaman. Emosi ini sering tersembunyi di balik senyum bangga, tapi sejatinya mencerminkan kebutuhan pengakuan yang belum terpenuhi sejak lama.
Rasa ini tidak selalu sublimasi dari kasih sayang, kadang justru menciptakan jarak dalam hubungan. Menyadari pola kompetitif ini memberi ruang untuk refleksi, apakah respons tersebut berasal dari kekhawatiran atau rasa tidak aman dari masa lalu? Kesadaran itulah yang membuka peluang untuk memperbaiki hubungan dengan anak.
"Orangtua yang belum dewasa secara emosional bisa bersaing dengan anaknya demi mendapatkan perhatian atau demi merasa lebih unggul," ujar Harwood.
5. Memiliki pengalaman masa kecil yang buruk atau trauma

Pengalaman masa kecil yang keras seperti pengabaian emosional atau ketidakstabilan, menimbulkan luka yang kadang muncul kembali saat melihat anak hidup dalam kenyamanan. Saat anak menikmati hidup stabil penuh kasih, muncul rasa getir yang tak tentu asalnya .
Rasa itu bukan dinamis negatif, tetapi cerminan bahwa bagian diri masih menyimpan duka yang belum dipecahkan. Perasaan iri di momen-momen ini memberi tahu diri untuk tidak mengabaikan suara terdalam. Menangkap sinyal ini menjadi langkah penting dalam membangun hubungan yang utuh dan penuh kesadaran.
Merasa iri pada anak sendiri bukan berarti kurang sayang, tapi bisa jadi sinyal ada luka lama yang belum pulih. Saat perasaan ini disadari dan diterima dengan penuh kasih, hubungan justru bisa tumbuh lebih hangat dan jujur. Menyembuhkan masa lalu memberi ruang bagi kedekatan yang lebih sehat untuk anak, juga diri sendiri.