Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

6 Tekanan dari Orangtua yang Disamarkan sebagai Nasihat

Seorang ibu dan anak berdebat
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Karola G)
Intinya sih...
  • Membandingkan anak dengan orang lain dapat menumbuhkan kecemasan dan rasa tidak aman.
  • Mengarahkan pilihan hidup berdasarkan pengalaman orangtua menghilangkan kesempatan anak untuk mengenal dirinya sendiri.
  • Menjadikan pengorbanan orangtua sebagai beban emosional membuat anak sulit membedakan antara rasa terima kasih dan kewajiban untuk patuh.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Dalam banyak keluarga, nasihat orangtua sering dianggap sebagai bentuk kepedulian tertinggi. Karena datang dari pengalaman dan rasa sayang, nasihat tersebut jarang dipertanyakan bahkan ketika membuat anak merasa tertekan. Anak pun tumbuh dengan keyakinan bahwa mengikuti arahan orangtua adalah satu-satunya cara untuk menjadi "anak yang baik".

Namun, tidak semua nasihat memberi ruang bagi anak untuk bertumbuh sebagai individu. Ada nasihat yang perlahan berubah menjadi tekanan halus—tidak terlihat sebagai paksaan, tetapi cukup kuat untuk membentuk rasa bersalah, ketakutan, dan keraguan dalam mengambil keputusan hidup. Tekanan inilah yang sering tidak disadari, baik oleh orangtua maupun anak, namun dampaknya bisa memengaruhi cara anak memandang diri sendiri hingga dewasa. Berikut ini enam tekanan dari orangtua yang disamarkan sebagai nasihat.

1. Membandingkan anak dengan orang lain atas nama motivasi

Seorang ibu dan anak sedang mengobrol
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/Karola G)

Perbandingan sering digunakan sebagai alat untuk mendorong anak agar lebih baik, tetapi dampaknya jarang sesederhana itu. Saat anak terus dibandingkan dengan pencapaian orang lain, fokus hidupnya bergeser dari proses pribadi ke perlombaan tanpa garis akhir. Anak belajar bahwa nilai dirinya selalu relatif, tergantung siapa yang dijadikan pembanding pada hari itu.

Dalam jangka panjang, pola ini menumbuhkan kecemasan dan rasa tidak aman. Anak sulit merasa puas dengan usahanya sendiri karena selalu ada standar eksternal yang harus dikejar. Bahkan ketika berhasil, pencapaian tersebut terasa hampa karena tidak lahir dari pengakuan diri, melainkan dari keinginan untuk memenuhi ekspektasi orangtua dan lingkungan.

2. Mengarahkan pilihan hidup berdasarkan pengalaman orangtua

Orangtua dan anak duduk bersama
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Julia M Cameron)

Pengalaman hidup orangtua kerap dijadikan fondasi utama dalam memberi nasihat. Namun ketika pengalaman tersebut dipaksakan sebagai jalan paling benar, anak kehilangan kesempatan untuk mengenal dirinya sendiri. Anak diperlakukan seolah harus mengikuti peta hidup yang sama agar dianggap aman dan rasional.

Masalahnya, konteks hidup setiap generasi berbeda. Tantangan, peluang, dan dinamika sosial yang dihadapi anak tidak selalu sejalan dengan masa lalu orangtua. Ketika pengalaman orangtua menjadi standar mutlak, anak bisa merasa bersalah saat tertarik pada jalur yang berbeda, meskipun pilihan itu lebih relevan dengan minat dan realitas hidupnya saat ini.

3. Menjadikan pengorbanan orangtua sebagai beban emosional

Seorang ibu menegur anak
ilustrasi ibu menegur anak (freepik.com/freepik)

Pengorbanan orangtua sering muncul sebagai latar belakang dari berbagai nasihat penting. Tanpa disadari, hal ini menciptakan beban emosional yang besar bagi anak. Anak merasa setiap keputusan hidup harus menjadi bentuk balas jasa, bukan pilihan sadar yang lahir dari keinginan dan nilai pribadinya.

Tekanan ini membuat anak sulit membedakan antara rasa terima kasih dan kewajiban untuk patuh. Anak bisa tumbuh dengan perasaan bersalah kronis ketika keinginannya tidak sejalan dengan harapan orangtua. Dalam jangka panjang, keputusan hidup yang diambil pun lebih didorong oleh rasa takut mengecewakan daripada keinginan untuk berkembang secara autentik.

4. Menyamarkan kontrol sebagai kekhawatiran

Seorang ibu dan anak perempuan
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Kekhawatiran orangtua sering kali muncul dalam bentuk pengawasan yang berlebihan. Segala keputusan anak dipantau, dikomentari, dan diarahkan dengan dalih perlindungan. Namun, ketika kekhawatiran ini tidak diimbangi dengan kepercayaan, anak justru merasa tidak dipercaya untuk mengelola hidupnya sendiri.

Lama-kelamaan, anak belajar bahwa keterbukaan justru berisiko memicu kritik dan tekanan. Akibatnya, anak memilih menyimpan banyak hal sendiri dan hanya menunjukkan sisi hidup yang dianggap aman di mata orangtua. Hubungan pun kehilangan kedalaman emosional karena tidak dibangun di atas rasa aman untuk jujur dan berbeda.

5. Menganggap perbedaan pendapat sebagai sikap membangkang

ilustrasi ayah dan anak
ilustrasi ayah dan anak (pexels.com/August de Richelieu)

Saat anak mulai dewasa dan memiliki pandangan sendiri, perbedaan sering disalahartikan sebagai bentuk penolakan atau pembangkangan. Anak yang mencoba menyampaikan sudut pandangnya justru dianggap tidak patuh atau tidak menghargai orangtua.

Pola ini membuat anak belajar bahwa menyuarakan pendapat adalah hal yang berbahaya. Demi menjaga hubungan tetap damai, anak memilih diam atau mengikuti arus meski tidak sepenuhnya setuju. Dalam jangka panjang, anak bisa kehilangan kemampuan untuk mengekspresikan kebutuhan dan batasannya sendiri, baik dalam keluarga maupun relasi lain di luar rumah.

6. Menentukan "yang terbaik" tanpa melibatkan anak

Seorang ibu dan anak sedang berdebat
ilustrasi ibu dan anak (pexels.com/RDNE Stock project)

Tekanan paling halus muncul ketika orangtua sepenuhnya menentukan apa yang dianggap terbaik bagi anak tanpa melibatkan anak dalam proses pengambilan keputusan. Anak diposisikan sebagai objek perlindungan, bukan individu dengan suara dan preferensi yang layak dipertimbangkan.

Akibatnya, anak mungkin menjalani hidup yang tampak stabil dan sesuai standar sosial, tetapi tidak merasa memiliki kehidupan tersebut. Ia memenuhi ekspektasi, namun kehilangan koneksi dengan keinginan dan identitas pribadinya. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa memicu kebingungan arah hidup, kelelahan emosional, dan penyesalan yang baru disadari ketika waktu sudah berjalan jauh.

Jika tekanan dari orangtua yang disamarkan sebagai nasihat sering kali membuat risih, nasihat yang sehat justru memberi arah tanpa mematikan pilihan. Ketika orangtua mampu hadir sebagai pendamping, bukan pengendali, anak belajar tumbuh dengan rasa percaya diri dan tanggung jawab. Dari relasi yang saling menghargai inilah, anak dan orangtua bisa berjalan berdampingan tanpa harus saling menekan.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us

Latest in Life

See More

50 Quotes Natal 2025, Membawa Pesan Kedamaian

16 Des 2025, 18:45 WIBLife