Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

3 Alasan Buku dan Tokonya Kehilangan Popularitas, Kenapa ya?

ilustrasi toko buku (Pexels.com/Sevra Karakuş)

Suka sedih kalau melihat sepinya toko buku, kontras dengan ramainya bioskop, kafe, dan tempat nongkrong lain. Padahal, buku, komik, dan majalah pernah jadi sumber hiburan utama manusia beberapa dekade lalu.

Digitalisasi konten hiburan sering jadi alasan utama dari turunnya minat baca dan ketertarikan pada produk cetak. Namun, sebenarnya apa alasan buku dan tokonya kehilangan penggemarnya? Apa yang bikin orang beralih ke hiburan yang berbasis digital? 

1. Buku harus bersaing dengan berbagai tipe hiburan lain

ilustrasi dua orang menonton film di bioskop (Pexels.com/Pavel Danilyuk)

Tidak hanya bersaing dengan rilisan cetak lainnya, buku harus bersaing dengan berbagai tipe hiburan lain, seperti film, konser, hingga traveling. Buku memang bisa dibaca di mana dan kapan saja, tetapi sensasinya jelas berbeda dan tidak seperti tipe-tipe hiburan lain yang bisa menstimulasi indera pendengaran, penglihatan, motorik, dan sensorik manusia sekaligus. 

Beda dengan buku yang membuat orang hanya duduk berdiam diri di satu tempat dan dituntut untuk fokus sepanjang waktu. Alhasil, buku mungkin tidak menarik bagi sebagian orang dengan karakter, preferensi, bahkan kondisi psikis tertentu.

Beberapa toko buku terutama yang bersifat indipenden pun mencoba berbagai cara untuk tetap mendatangkan pengunjung, misalnya, dengan menggabungkannya dengan kafe, co-working space, hingga mengadakan berbagai acara tatap muka. 

2. Butuh investasi waktu dan dana yang tak sedikit untuk mengakses buku

jajaran buku di rak (Pexels.com/Polina Zimmerman)

Alasan lain yang bikin buku kehilangan peminatnya adalah inflasi harganya yang lumayan. Entah dari ongkos cetak atau biaya distribusi, apalagi bila kamu menyasar rilisan fisik impor. Ini beda dengan tarif nonton bioskop dan langganan OTT yang relatif stabil, masih disertai berbagai promo. 

Kini, harga satu buku, baik cetak maupun elektronik, setara dengan nonton bioskop 2-5 kali, bahkan seharga langganan layanan OTT selama sebulan atau beberapa bulan untuk ratusan judul sesuai seleramu. Untuk masalah dana, sistem peminjaman lewat perpustakaan baik yang luring maupun daring memang bisa jadi solusi. 

Namun, ada waktu yang harus kamu alokasikan untuk melahap satu buku, yakni bisa beberapa hari bahkan bulan tergantung kecepatan baca masing-masing orang. Bandingkan dengan satu film yang rata-rata hanya 1,5 sampai 2 jam saja per judul.

Intinya, ada investasi dana dan waktu yang tidak sedikit untuk mengakses sebuah buku. Tak heran bila buku lebih banyak dinikmati kelas menengah atas yang punya waktu dan penghasilan surplus. Sementara, masyarakat kelas pekerja kerah biru (dengan jam kerja panjang) dan kelas menengah bawah harus puas mengakses hiburan-hiburan yang cenderung gratis dan praktis seperti video di YouTube dan tayangan di televisi. 

3. Manusia dituntut serbacepat, buku tidak punya karakter itu

ilustrasi seseorang membaca buku (Pexels.com/Hatice Baran)

Alasan lain berkurangnya minat terhadap buku adalah sifatnya yang butuh waktu relatif lebih lama untuk diselesaikan. Ini kontras dengan tuntutan era digital yang serba cepat dan praktis. Dahsyatnya kecepatan pertukaran dan persebaran informasi lewat temuan-temuan teknologi secara tidak langsung menuntut orang untuk bergerak cepat. Bahkan melakukan beberapa hal dalam satu waktu alias multitasking

Buku dalam hal ini tidak bisa memfasilitasi kecenderungan itu. Sebaliknya, ia memintamu untuk melambat, diam, dan fokus pada satu hal dalam satu waktu. Kamu misalnya tidak bisa membaca buku sambil nonton, membersihkan rumah, ataupun bekerja. Beda dengan film, musik, dan siniar yang bisa kamu nikmati sambil melakukan berbagai kegiatan lain, bahkan seberat belajar dan bekerja. 

Meski terus tergerus hiburan lain, buku masih jadi hiburan niche untuk sebagian orang. Informasinya yang komprehensif dan kemasannya yang klasik terbukti masih dicari orang. Bahkan, banyak film dan series favoritmu yang lahir dari sebuah buku.

Kalau kamu salah satu yang masih dan mampu menikmati buku dalam format apa pun, jangan lupa untuk tetap dukung para penulisnya. Boleh juga kunjungi dan hidupkan toko buku lokal di kotamu, ya. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwi Ayu Silawati
EditorDwi Ayu Silawati
Follow Us