Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Alasan Productivity Shame Sering Muncul Jelang Pergantian Tahun

ilustrasi perempuan bekerja
ilustrasi perempuan bekerja (freepik.com/KamranAydinov)
Intinya sih...
  • Target awal tahun terasa terlalu ideal, bukan realistis dan berkelanjutan.
  • Budaya membandingkan diri semakin kuat di media sosial.
  • Produktivitas sering disamakan dengan nilai diri, membuat istirahat terasa seperti kesalahan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Menjelang akhir tahun, banyak anak muda tiba-tiba merasa gelisah tanpa alasan yang jelas. Target yang disusun di awal tahun kembali muncul di kepala dan mulai dibandingkan dengan realita hari ini. Saat pencapaian terasa belum sesuai harapan, muncullah rasa bersalah karena merasa kurang produktif. Fenomena ini dikenal sebagai productivity shame dan sering dialami menjelang pergantian tahun.

Rasa bersalah tidak produktif ini gak selalu muncul karena malas atau gagal total. Tekanan sosial, ekspektasi pribadi, dan narasi sukses yang beredar di internet ikut memperkuat perasaan tersebut. Apalagi bagi Gen Z yang tumbuh dengan budaya serba cepat dan kompetitif. Yuk, simak lima alasan kenapa productivity shame sering muncul jelang pergantian tahun dan kenapa perasaan ini sebenarnya sangat manusiawi.

1. Target awal tahun terasa terlalu ideal

ilustrasi perempuan
ilustrasi perempuan (freepik.com/cookie-studio)

Banyak orang membuat resolusi dengan standar tinggi tanpa mempertimbangkan kapasitas diri. Target besar sering disusun demi terlihat ambisius, bukan realistis dan berkelanjutan. Ketika akhir tahun tiba, daftar resolusi itu berubah menjadi sumber rasa bersalah. Inilah awal munculnya productivity shame yang menggerogoti kepercayaan diri.

Tekanan resolusi tahun baru juga diperkuat narasi “harus jadi versi terbaik diri” setiap Januari. Kalimat motivasi yang terus diulang justru membuat kegagalan terasa personal. Alih-alih memotivasi, resolusi ini berubah menjadi beban mental. Akibatnya, rasa bersalah tidak produktif makin sulit dihindari.

2. Budaya membandingkan diri semakin kuat

ilustrasi perempuan mengakses media sosial
ilustrasi perempuan mengakses media sosial (freepik.com/freepik)

Akhir tahun identik dengan unggahan pencapaian di media sosial. Timeline dipenuhi cerita sukses, promosi kerja, dan pencapaian finansial orang lain. Tanpa sadar, kamu mulai membandingkan proses hidupmu dengan hasil akhir orang lain. Dari sinilah overthinking dan rasa gagal perlahan tumbuh.

Padahal yang ditampilkan hanyalah potongan terbaik dari hidup seseorang. Kita jarang melihat kelelahan, kegagalan, atau proses panjang di baliknya. Ketika perbandingan ini terus terjadi, nilai diri atau self-worth jadi diukur dari produktivitas. Akhirnya, diri sendiri terasa gak pernah cukup.

3. Produktivitas sering disamakan dengan nilai diri

ilustrasi wanita bekerja
ilustrasi wanita bekerja (freepik.com/freepik)

Banyak anak muda tumbuh dengan keyakinan bahwa sibuk berarti berharga. Saat tidak produktif, muncul perasaan bersalah seolah sedang menyia-nyiakan waktu. Pola pikir ini membuat istirahat terasa seperti kesalahan. Akibatnya, productivity shame jadi sulit dihindari.

Padahal manusia bukan mesin yang bisa bekerja tanpa jeda. Kesehatan mental Gen Z justru rentan terganggu karena tekanan ini. Produktif seharusnya membantu hidup, bukan menjadi sumber kecemasan. Ketika nilai diri dilepaskan dari hasil kerja, rasa bersalah perlahan bisa mereda.

4. Akhir tahun memicu refleksi berlebihan

ilustrasi perempuan merenung
ilustrasi perempuan merenung (freepik.com/jcomp)

Pergantian tahun sering dianggap sebagai momen evaluasi besar-besaran. Kita diminta melihat ke belakang dan menilai apa saja yang sudah atau belum tercapai. Refleksi memang penting, tapi bisa berubah menjadi kritik diri yang berlebihan. Dari sini, rasa gagal terasa semakin nyata.

Refleksi yang sehat seharusnya membantu memahami diri, bukan menghukum diri. Sayangnya, tekanan resolusi tahun baru membuat evaluasi terasa seperti pengadilan. Kesalahan kecil dibesar-besarkan, sementara usaha sering diabaikan. Kondisi ini memperparah productivity shame tanpa disadari.

5. Kurangnya ruang untuk memaknai istirahat

ilustrasi perempuan burnout
ilustrasi perempuan burnout (freepik.com/freepik)

Istirahat masih sering dianggap sebagai kemunduran. Banyak orang merasa bersalah saat tidak melakukan sesuatu yang “berguna”. Padahal tubuh dan pikiran butuh jeda agar tetap seimbang. Tanpa istirahat, risiko burnout justru meningkat.

Ketika istirahat dipahami sebagai bagian dari produktivitas, perspektif bisa berubah. Rasa bersalah tidak produktif perlahan tergantikan oleh kesadaran akan kebutuhan diri. Ini penting untuk menjaga mental health dalam jangka panjang. Akhir tahun seharusnya jadi momen merawat diri, bukan menyiksa diri.

Menghadapi productivity shame jelang pergantian tahun memang gak mudah. Namun menyadari bahwa perasaan ini umum dialami banyak anak muda bisa jadi langkah awal untuk berdamai dengan diri sendiri. Hidup bukan perlombaan tahunan dengan garis finis yang kaku. Yuk, mulai tahun baru dengan versi diri yang lebih berbelas kasih, realistis, dan sehat secara mental.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us

Latest in Life

See More

Bolehkah Hidup Tanpa Target untuk Mengurangi Stres?

23 Des 2025, 23:24 WIBLife