Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Kebiasaan Healing yang Salah, Temukan Akar Masalahnya

Ilustrasi Self Healing (freepik.com/pikisuperstar)

Kata ‘healing ’ saat ini memang sedang populer dan seolah menjadi gaya hidup kaum muda masa kini. Mungkin, ‘healing’ dari kepenatan hidup setahun belakangan juga jadi salah satu resolusimu di awal tahun yang baru ini. Marak terdengar celetukan, “Mau healing!”, saat para Gen Z dan Milenial membahas rencana liburan mereka.

Memang saat ini banyak anak muda tanpa sadar memiliki pola pikir bahwa traveling bisa membuat dirinya healing  dari segala jenis stres dan luka batin yang dialami. Tapi, benarkah demikian? Yuk, kita bahas deretan kebiasaan healing  yang masih salah diartikan selama ini.

1. Traveling bukan berarti healing

Ilustrasi Pusing Berlibur (freepik.com/prostooleh)
Ilustrasi Pusing Berlibur (freepik.com/prostooleh)

Kamu mungkin sudah nge-trip dan having fun ke banyak tempat. Tapi saat kamu kembali pada rutinitas, perasaan hampa malah menyeruak. “Gue ngapain aja ya kemarin, kok masih begini?”

Konsep healing  yang sering dikaitkan dengan liburan atau staycation. Membantu proses healing  merupakan salah satu efek positif dari traveling. Tapi, pergi melancong atau traveling bukan berarti kamu sudah healing . Yang paling penting bagi kita untuk menemukan akar masalahnya terlebih dahulu sebelum menentukan metode healing  apa yang cocok dilakukan, karena tidak semua masalah bisa diatasi dengan liburan.

2. Healing bukan tentang lari dari kehidupan

Ilustrasi Berlari (freepik.com/freepik)
Ilustrasi Berlari (freepik.com/freepik)

Kabur dan menghilang untuk sementara waktu memang dapat menjadi salah satu hal yang dilakukan ketika seseorang dilanda banyak tekanan, stres, dan panik. Traveling bisa saja jadi caramu untuk lari dari kehidupan atau meninggalkan trauma. Namun, seberapa jauh pun kamu berlari, beban itu tidak akan hilang dari pundakmu. Ia akan terus mengikutimu, kecuali kamu berani menghadapi apapun itu yang membebanimu.

Kamu boleh saja lari sejenak untuk menenangkan diri, tapi jangan lupa untuk kembali menghadapi kehidupan. Inilah yang disebut proses berdamai dengan diri sendiri. Kamu pun perlu memahami bahwa setiap tindakan tentu membawa konsekuensi masing-masing. Pelarian yang salah, misalnya menjadi pecandu alkohol ataupun narkotika tentu akan menimbulkan masalah baru yang lebih besar.

3. Bukan tentang seberapa banyak materi yang dikeluarkan

Ilustrasi Banyak Belanja (freepik.com/halayalex)

Selain traveling, online shopping dan kulineran juga jadi cara self-healing  yang populer di kalangan Gen Z. Apalagi istilah wisata kuliner juga kian lumrah sebagai pilihan wisata modern, diikuti dengan kian menjamurnya food influencers. Membelanjakan uang secara spontan dan cenderung berlebihan atau disebut ‘impulsive shopping’ bagi sebagian orang memang membantu untuk rileks dari banyaknya tekanan.

Perasaan tenang dan nyaman setelah berbelanja atau makan merupakan bagian dari run mechanism secara psikologis. Namun sama seperti poin sebelumnya, jika berbelanja merupakan caramu untuk terus lari dari masalah, maka itu bukanlah cara yang tepat dalam upaya healing. Begitu pula makan berlebihan, terutama makan makanan berlemak dan tidak sehat tentulah tidak baik untuk kesehatan jangka panjangmu.

4. Healing adalah suatu proses bukan suatu titik

Ilustrasi Perjalanan (freepik.com/hellodavidpradoperucha)
Ilustrasi Perjalanan (freepik.com/hellodavidpradoperucha)

Faktor eksternal termasuk overstimulasi dan paparan media sosial membuat Gen Z bersama generasi Milenial menjadi generasi yang lebih rentan mengalami masalah kesehatan mental. Menariknya, para generasi muda ini juga adalah generasi yang paling sadar akan kondisi kesehatan mental mereka dibanding generasi yang lebih tua. Satu hal yang mungkin para anak muda ini lupa, kata healing  bukan suatu kondisi saat mentalmu dikatakan sembuh, namun suatu proses berkelanjutan yang tidak bisa instan.

Sebaiknya, kamu tidak menunda waktu untuk memulihkan diri jika merasa kondisi mental tidak sedang baik-baik saja. Tapi tidak perlu terburu-buru untuk segera merasa lebih baik, nikmati saja perjalananmu dalam proses menuju pribadi yang lebih sehat secara mental.

5. Prosesnya tidak dimulai dari luar, tapi dari dalam

Ilustrasi meditasi. (freepik.com/freepik)

Menemukan akar masalah dibalik kondisi mental yang buruk menjadi poin utama dari proses healing. Jadi, penting bagi kamu untuk melihat kedalam dirimu dahulu sebelum melihat keluar. Cobalah untuk mendefinisikan apa saja yang sedang kamu rasakan dan renungkan kenapa kamu merasakan semua perasaan itu. Pada saat mentalmu sedang drop, pertolongan pertama yang bisa dilakukan adalah menyemangati diri sendiri dengan berbicara hal positif. 

Mungkin ada juga di antara kamu yang sampai mengalami gejala psikosomatis dimana kondisi psikologis mempengaruhi kondisi tubuh fisik atau ‘soma’. Sisi psikologis bisa ditangani dengan konseling ke psikolog ataupun mempraktekan relaksasi mandiri dan yoga. Sementara keluhan fisik yang menyertai harus ditangani sesuai gejala yang dirasakan. 

Kini, kita menyadari bahwa healing bukanlah sebatas jalan-jalan atau menghabiskan uang. Kondisi mental yang buruk juga turut mempengaruhi kesehatan fisik bagi sebagian orang. Kesimpulannya, self-healing  mencakup upaya keseluruhan dalam mengelola kesehatan tubuh, jiwa, dan roh. Ketiga unsur tersebut saling mempengaruhi kondisi mental yang prima supaya kamu bisa menjalani hari dengan lebih aktif dan produktif. Jadi, mari kita menjaga pola makan teratur, dan gaya hidup sehat.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Kathrine Theo
EditorKathrine Theo
Follow Us