Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Mitos tentang Kepemimpinan di Dunia Kerja yang Sering Disalahpahami

ilustrasi kerja sama tim
ilustrasi kerja sama tim (pexels.com/Yan Krukau)
Intinya sih...
  • Pemimpin sukses tetap bekerja keras, bukan hanya cerdas.
  • Pemimpin sejati mendengarkan dan mengakui keterbatasan diri.
  • Kepemimpinan bukan tentang tampil di depan, tapi dampak yang bisa ditinggalkan.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kalau ngomongin soal kepemimpinan, gak ada rumus yang berlaku buat semua orang. Setiap pemimpin punya gaya sendiri, cara komunikasi yang berbeda, sampai strategi memimpin tim yang unik. Ada yang tipe visioner, ada yang detail banget, ada juga yang lebih suka jadi pendengar. Hal-hal tersebut kerap melahirkan mitos kepemimpinan yang sering disalahartikan, meskipun faktanya gak selalu sesuai realita.

Menariknya, mitos ini kadang dipercaya mentah-mentah, padahal bisa bikin orang salah paham tentang bagaimana sebenarnya menjadi seorang pemimpin. Yuk, kita bahas 5 mitos kepemimpinan yang paling sering muncul dan apa fakta di baliknya.

Mitos 1: Pemimpin hanya perlu bekerja cerdas, bukan bekerja keras

ilustrasi kerja sama tim
ilustrasi kerja sama tim (pexels.com/fauxels)

Pernah dengar pepatah “work smarter, not harder”? Kedengarannya keren, ya. Tapi kenyataannya, hampir semua pemimpin sukses itu tetap kerja keras habis-habisan. Bekerja cerdas memang penting—misalnya pintar mengatur prioritas, tahu kapan harus delegasi, atau bikin rencana harian yang efisien. Tapi itu semua gak berarti bisa menghindari kerja keras.

Faktanya, pemimpin yang hebat justru jadi role model bagi timnya. Biasanya, merekalah yang paling awal hadir di kantor dan jadi orang terakhir yang meninggalkan ruangan. Mereka juga terlibat penuh dalam visi besar perusahaan. Dari situlah tim bisa lihat keseriusan mereka, lalu ikut termotivasi untuk menunjukkan komitmen yang sama.

Gary Vaynerchuk, pengusaha serial sukses, pernah bilang: “Kamu boleh punya analisis paling canggih dan strategi bisnis terbaik, tapi ujung-ujungnya, pekerjaan tetap harus dilakukan.” Jadi, intinya bukan hanya pintar cari jalan pintas, tapi juga siap untuk keringetan.

Mitos 2: Pemimpin harus tahu semua jawaban

ilustrasi kerja dalam tim
ilustrasi kerja dalam tim (pexels.com/Yan Krukau)

Banyak orang mikir kalau pemimpin itu semacam “Google berjalan” yang harus bisa jawab semua hal. Padahal, justru sebaliknya. Pemimpin yang hebat biasanya sadar betul sama keterbatasannya. Mereka tahu kalau sukses itu hasil kerja tim, bukan hasil kerja individu semata.

Daripada sok tahu, pemimpin sejati lebih sering mendengarkan. Mereka mendengar bukan buat cepat-cepat kasih solusi, tapi untuk benar-benar memahami masalah. Mereka juga gak ragu mengakui kesalahan, terbuka sama ide tim, dan memberi ruang untuk orang lain berinisiatif.

Menariknya, pemimpin sejati gak takut kalau timnya jadi lebih pintar atau lebih hebat dari dirinya. Malah, mereka bangga kalau bisa melahirkan pemimpin-pemimpin baru. Tujuan akhirnya jelas: organisasi tetap jalan meskipun sang pemimpin sedang gak ada di tempat.

Mitos 3: Pemimpin hebat selalu tampil di depan panggung

ilustrasi bersama rekan kerja
ilustrasi bersama rekan kerja (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Memang benar, kalau jadi CEO biasanya juga jadi wajah perusahaan. Tapi, gak semua pemimpin haus sorotan. Banyak pemimpin besar yang justru rendah hati, gak suka tampil di media, tapi diam-diam berhasil membawa perusahaannya terbang tinggi.

Jim Collins dalam bukunya Good to Great menjelaskan, pemimpin luar biasa biasanya bukan orang yang penuh ego. Mereka ambisius, iya, tapi ambisinya ditujukan untuk kepentingan organisasi, bukan untuk kepentingan pribadi.

Contohnya Darwin E. Smith, CEO Kimberly-Clark, yang berhasil mengubah perusahaan kertas itu jadi raksasa produk konsumen dunia. Atau Colman Mockler, CEO Gillette, yang rela menolak tawaran akuisisi besar demi masa depan perusahaan. Keduanya bukan tipe orang yang sering tampil di majalah atau wawancara TV, tapi kepemimpinannya terbukti membawa hasil nyata.

Jadi, kepemimpinan itu bukan soal seberapa sering kamu muncul di depan kamera, tapi seberapa besar dampak yang bisa kamu tinggalkan.

Mitos 4: Pemimpin harus selalu “on” dan siaga 24 jam

ilustrasi kerja sama tim di kantor
ilustrasi kerja sama tim di kantor (pexels.com/Antoni Shkraba Studio)

Banyak orang mikir pemimpin itu harus selalu aktif, selalu ada, dan siap kapan pun dibutuhkan. Padahal, pemimpin yang cerdas justru paham pentingnya mengambil jeda.

Arianna Huffington pernah bilang: “Reconnect itu bukan cuma buat gadget, tapi juga buat manusia.” Kalau pemimpin gak pernah berhenti, gak pernah istirahat, maka lama-lama mereka kehilangan energi dan kejernihan berpikir.

Lihat saja Steve Jobs atau Bill Gates. Mereka sering mengambil waktu liburan panjang untuk refleksi dan mencari ide baru. Dari momen jeda itulah lahir inovasi besar. Jadi, istirahat bukan berarti malas, justru itu bagian dari strategi kepemimpinan agar tetap bisa melihat gambaran besar.

Pemimpin yang benar-benar bijak biasanya juga menularkan kebiasaan baik ini ke timnya. Mereka berusaha menciptakan lingkungan kerja yang seimbang, bukan mendorong budaya kerja lembur tanpa henti. Sebab, pada akhirnya kelelahan hanya akan menggerus ide-ide segar sekaligus menurunkan performa tim secara keseluruhan.

Mitos 5: Pemimpin besar itu terlahir, bukan dibentuk

Ilustrasi bekerja bersama tim di kantor
Ilustrasi bekerja bersama tim di kantor (pexels.com/Mikhail Nilov)

Ini salah satu mitos paling populer dan juga paling menyesatkan. Banyak yang percaya pemimpin sukses itu memang punya “bakat alami” sejak lahir. Padahal, kepemimpinan bukanlah warisan genetik, tapi keterampilan yang bisa dilatih.

Vince Lombardi, pelatih legendaris, pernah bilang: “Pemimpin dibuat, bukan dilahirkan. Dan mereka terbentuk melalui kerja keras.” Senada dengan itu, Warren G. Bennis menegaskan kalau percaya pemimpin lahir begitu saja adalah mitos paling berbahaya.

Artinya, siapa pun punya peluang jadi pemimpin kalau memang mau belajar, berkomitmen, dan bekerja keras. Kepemimpinan bukan hadiah, tapi hasil dari proses panjang.

Kalau ditarik garis besarnya, kepemimpinan sejati itu bukan tentang selalu pintar, selalu ada, atau lahir dengan karisma tertentu. Pemimpin yang hebat terbentuk lewat proses panjang—dari kerja keras, kerendahan hati, kemampuan mendengar, hingga dedikasi untuk sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Jadi, kalau selama ini kamu merasa gak pantas atau kurang cocok jadi pemimpin hanya karena gak memenuhi gambaran klise soal kepemimpinan, jangan khawatir. Faktanya, kepemimpinan punya banyak wajah dan bisa dipelajari siapa pun yang serius menekuninya.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Nabila Inaya
EditorNabila Inaya
Follow Us

Latest in Life

See More

Jobdesk Data Security, Tameng Keamanan Siber Perusahaan

18 Sep 2025, 12:49 WIBLife