Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Sebab Kamu Tak Selalu Bisa Menolong Orang yang Putus Asa

ilustrasi seorang pria (pexels.com/Ron Lach)

Kepedulianmu berupa dorongan kuat untuk membantu membangkitkan semangat, harapan, dan optimisme orang yang sedang putus asa harus diapresiasi. Tidak semua orang mau meluangkan waktu dan energinya buat melakukan hal tersebut, apalagi secara cuma-cuma.

Namun, apabila kamu sampai gagal menolong orang dari keputusasaan, jangan jadikan ini beban untuk dirimu, ya! Hindari perasaan bersalah yang berlebihan seakan-akan kamu belum maksimal dalam membantunya. 

Ada sejumlah penyebab dari kegagalan dan hal ini sama sekali bukan salahmu. Kamu tidak perlu mengambil tanggung jawab terlalu besar terkait apa yang terjadi dalam kehidupan orang lain. Ayo, simak sampai selesai, ya, agar kamu gak makin resah. 

1. Kamu terlambat mengetahui masalahnya

ilustrasi seorang perempuan (pexels.com/Danielle Reese)

Apakah keterlambatan kamu dalam mengetahui masalah yang tengah dihadapi seseorang merupakan kesalahanmu? Ya, apabila kalian dekat secara fisik tetapi kamu memang tidak pernah cukup peduli saat ia mencoba menceritakannya.

Akan tetapi, itu bukan salahmu jika seseorang memang berkepribadian tertutup, sengaja selalu menyembunyikan masalahnya darimu, atau kalian tinggal berjauhan. Bila kamu tahu masalahnya sejak awal, pastinya akan lebih mudah menyelesaikannya.

Namun, ketika persoalannya sudah sangat rumit bahkan tidak cuma satu, untuk kamu dapat memahaminya secara menyeluruh saja sudah butuh waktu. Sementara itu, asanya telah hampir tak bersisa dan mungkin tidak cukup buat menunggu kamu mengerti benar apa yang harus dilakukan.

2. Lebih penting dari bantuan orang lain adalah tekadnya sendiri

ilustrasi seorang pria (pexels.com/Dima Valkov)

Kamu hanya bisa berusaha mendorongnya supaya bangkit dari keputusasaan. Dirimu membantunya melihat kemungkinan-kemungkinan baik yang ada untuk membangun kembali harapannya. Di sini, diperlukan kerja sama di antara kalian.

Kalau usaha hanya datang darimu sedangkan dia menolak, ia tak akan beranjak dari kondisinya saat ini. Seberat apa pun masalah yang dihadapi seseorang, dirinya tetap menjadi penentu hendak larut dalam keputusasaan atau memercayai harapan selalu ada.

3. Masalahnya jauh lebih berat daripada yang pernah kamu alami

ilustrasi seorang perempuan (pexels.com/Pham Khoai)

Walaupun niatmu baik, kamu terkendala dengan keterbatasan pengalaman. Dirimu ternyata tidak punya pengalaman berhadapan dengan masalah serupa. Ini bikin semua saran atau upayamu yang lain buat membantunya kurang mengenai sasaran.

Seandainya dirimu pernah mengalami hal yang sama dan berhasil mengatasi atau keluar dari situasi tersebut, kamu dapat memberikan bantuan yang tepat. Secara psikis, ia juga lebih percaya padamu sehingga mau menurut.

4. Kadang keputusasaannya justru harapan untuk hal lain

ilustrasi seorang perempuan (pexels.com/Nmkrva)

Umumnya, keputusasaan dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Manusia dilarang berputus asa. Akan tetapi, sesungguhnya rasa putus asa terkadang tidak seburuk itu. Perasaan tersebut justru dapat membelokkan arah perjalanan seseorang ke jalur yang lebih tepat untuknya.

Contoh, ia putus asa setelah berkali-kali gagal dalam ujian masuk suatu jurusan kuliah. Dia menolak ikut ujian lagi untuk jurusan tersebut dan beralih ke jurusan lain. Ternyata dia diterima dengan mudah di jurusan itu, menemukan ketertarikan yang lebih besar dengan jurusan tersebut, bisa lulus cepat, dan mendapatkan pekerjaan yang bagus.

5. Beberapa orang menolak percaya selain pada yang mereka rasakan sendiri

ilustrasi seorang perempuan (pexels.com/Tomaz Barcellos)

Bagi orang-orang yang seperti ini, pengalamanmu dalam menghadapi masalah serupa pun menjadi tidak berarti. Mereka amat berfokus pada perasaan sendiri dan benci masalahnya disamakan dengan masalah orang lain.

Tidak peduli masalahnya memang persis, mereka berkeras itu berbeda. Tentu saja, mereka juga yakin problem yang dihadapi lebih berat dari problem orang lain. Dengan subjektivitas setinggi ini, sulit bagi kamu atau siapa pun buat mencoba mengubah pandangannya. 

Meski niatmu untuk membantu amat baik, soal berhasil atau gagalnya janganlah menjadi beban tersendiri bagimu. Jika kamu merasa bertanggung jawab penuh atas keputusan yang akhirnya diambil orang yang tengah putus asa, nanti malah berakibat buruk pada kesehatan mentalmu.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Marliana Kuswanti
EditorMarliana Kuswanti
Follow Us