Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Standar Aneh yang Rela Diikuti Sama Orang Indonesia

ilustrasi standar sosial di Indonesia yang baiknya harus segera ditinggalkan (unsplash.com/Onur Binay)
Intinya sih...
  • Standar kecantikan kulit putih menimbulkan diskriminasi dan masalah kesehatan
  • Teori menikah di usia tertentu memicu pernikahan yang gak harmonis
  • Pekerjaan PNS sebagai simbol kesuksesan menghambat profesi lain dan konsumtifitas iPhone

Di Indonesia, banyak standar sosial yang terbentuk dari kebiasaan turun-temurun dan anggapan masyarakat yang terkadang sudah gak relevan dengan kehidupan modern. Standar ini sering kali menciptakan tekanan sosial yang gak perlu, bahkan membuat orang merasa gak cukup baik jika gak mengikuti pola yang dianggap "ideal". Padahal, setiap orang punya perjalanan hidup yang berbeda, dan menyesuaikan diri dengan ekspektasi yang gak sesuai kenyataan bisa membuat kita kehilangan jati diri.

Masalahnya, banyak dari standar sosial ini sudah dianggap biasa dan jarang dipertanyakan. Kalau dibiarkan terus, standar-standar ini malah bisa menghambat kemajuan pola pikir masyarakat. Untuk itu, yuk kita bahas lima standar sosial yang baiknya segera ditinggalkan demi menciptakan masyarakat yang lebih terbuka, fleksibel, dan suportif.

1. Cantik harus putih

ilustrasi cantik harus putih (unsplash.com/Muhammad Ruqi Yaddin)

Standar kecantikan yang menganggap kulit putih sebagai patokan utama sudah sangat melekat di masyarakat Indonesia. Banyak orang dengan warna kulit gelap sering kali menjadi sasaran candaan atau bahkan diskriminasi, seperti disebut "maghrib" atau dianggap kurang menarik. Padahal, kecantikan itu gak ada hubungannya dengan warna kulit. Kecantikan adalah sesuatu yang jauh lebih dalam, seperti bagaimana seseorang membawa dirinya atau menunjukkan kepribadian yang positif.

Pola pikir seperti ini gak hanya merugikan secara emosional, tapi juga berdampak pada industri kecantikan. Banyak produk pemutih yang beredar di pasaran, bahkan beberapa di antaranya menggunakan bahan kimia berbahaya. Akibatnya, orang-orang yang ingin "memutihkan" kulitnya sering kali mengalami kerusakan kulit atau masalah kesehatan serius. Di sisi lain, gerakan global seperti body positivity sudah mulai mengedukasi banyak orang bahwa semua warna kulit itu indah. Jadi, alih-alih mengagungkan kulit putih, kita seharusnya mulai mengajarkan anak-anak kita bahwa kecantikan sejati ada pada keragaman dan kepercayaan diri.

2. Menikah di umur tertentu atau disebut perawan/perjaka tua

ilustrasi menikah (pexels.com/Ahmad Zakaria)

Menikah di usia tertentu sering kali menjadi tolak ukur suksesnya seseorang, terutama perempuan. Masih banyak yang beranggapan bahwa jika kamu belum menikah di usia tertentu, maka kamu akan dianggap gak laku atau mendapat cap "perawan tua". Anggapan ini membuat banyak orang terburu-buru menikah, meskipun sebenarnya mereka belum siap baik secara emosional maupun finansial.

Menikah seharusnya bukan soal memenuhi ekspektasi sosial, tapi keputusan besar yang membutuhkan pertimbangan matang. Menikah karena tekanan usia bisa mengakibatkan hubungan yang gak harmonis atau bahkan perceraian di kemudian hari. Banyak orang yang memilih menikah di usia lebih dewasa justru memiliki pernikahan yang lebih stabil karena mereka sudah mengenal diri sendiri dan pasangan dengan lebih baik. Jadi, daripada terus terjebak dalam stigma ini, mari kita hormati keputusan setiap orang untuk menikah di waktu yang mereka anggap tepat.

3. Pekerjaan idaman harus jadi PNS atau abdi negara

ilustrasi PNS (unsplash.com/Mufid Majnun)

Di Indonesia, pekerjaan sebagai pegawai negeri sipil (PNS) atau abdi negara sering kali dianggap sebagai puncak kesuksesan. Banyak orang tua yang mendambakan anak-anaknya memiliki profesi ini, karena dianggap menjamin masa depan. Padahal, di era digital seperti sekarang, ada banyak pekerjaan lain yang gak kalah menguntungkan dan bahkan lebih relevan dengan perkembangan zaman, seperti freelance, content creator, atau pengusaha.

Stereotip ini sering membuat orang dengan profesi lain merasa kurang dihargai, padahal mereka mungkin menghasilkan lebih banyak dengan waktu kerja yang lebih fleksibel. Seorang freelancer, misalnya, bisa bekerja dari mana saja dan tetap mendapatkan penghasilan yang fantastis. Namun, mereka sering dianggap "gak jelas" atau “belum jadi orang” hanya karena gak masuk dalam kategori pekerjaan formal. Mindset seperti ini perlu diubah, karena kesuksesan gak melulu diukur dari jenis pekerjaan, tapi dari seberapa bahagia dan puas seseorang dengan apa yang mereka lakukan.

4. iPhone harga mati!

ilustrasi iPhone (unsplash.com/Sophia Stark)

iPhone sering kali dianggap sebagai simbol status sosial di Indonesia. Ada anggapan kalau kamu gak punya iPhone, berarti kamu belum sukses atau gak mampu. Hal ini bahkan sering menjadi bahan ejekan di media sosial, seperti ungkapan "hape Android untuk orang miskin". Padahal, banyak ponsel Android flagship yang punya fitur canggih dan bahkan lebih unggul di beberapa aspek dibandingkan iPhone.

Standar ini gak hanya mendorong budaya konsumtif yang gak sehat, tapi juga membangun pola pikir yang salah tentang arti kesuksesan. Banyak orang yang memaksakan diri membeli barang mahal hanya demi terlihat "mampu", meskipun sebenarnya mereka gak benar-benar butuh. Padahal, teknologi seharusnya dilihat dari fungsionalitasnya, bukan mereknya. Lebih baik fokus pada kebutuhan dan kemampuan masing-masing daripada mengikuti standar yang gak relevan.

5. Naik transportasi umum dianggap miskin

ilustrasi KRL (unsplash.com/Faisal Hanafi)

Menggunakan transportasi umum, seperti bus, KRL, atau MRT, sering kali dianggap sebagai pilihan orang yang gak mampu membeli kendaraan pribadi. Padahal, di banyak negara maju, transportasi umum menjadi pilihan utama karena lebih efisien, hemat biaya, dan ramah lingkungan. Stigma ini membuat banyak orang di Indonesia enggan menggunakan transportasi umum, meskipun sebenarnya itu pilihan yang lebih praktis dan bijak.

Di Jakarta, misalnya, kemacetan sering menjadi masalah besar bagi pengguna kendaraan pribadi. Transportasi umum seperti MRT, ojol, angkot, KRL atau Transjakarta bisa menjadi solusi yang jauh lebih efektif untuk menghemat waktu dan energi. Selain itu, keberadaan transportasi umum yang memadai seharusnya menjadi kebanggaan bersama, bukan dianggap sebagai tanda ketidakmampuan. Daripada terus memandang rendah pengguna transportasi umum, mari kita mulai mendukung penggunaannya demi kehidupan kota yang lebih baik.

Standar sosial seperti yang disebutkan di atas sering kali menjadi beban yang gak perlu bagi banyak orang. Kita harus mulai belajar melihat seseorang dari kualitas dan kontribusinya, bukan dari hal-hal di atas. Dengan meninggalkan standar sosial yang sudah gak relevan, kita bisa menciptakan masyarakat yang lebih inklusif, menghargai perbedaan, dan fokus pada hal-hal yang benar-benar penting. Jadi, daripada terus mengikuti ekspektasi sosial yang membatasi, kenapa gak mulai menciptakan standar baru yang lebih relevan dan membebaskan?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Annisa Nur Fitriani
EditorAnnisa Nur Fitriani
Follow Us