5 Tradisi Pernikahan di Indonesia yang Mulai Jarang Dilakukan

Indonesia terkenal akan kekayaan budaya dan tradisi yang unik di setiap daerah, termasuk dalam hal pernikahan. Setiap suku memiliki ritual dan adat istiadat tersendiri yang sarat makna, mulai dari prosesi lamaran hingga resepsi.
Namun, di tengah gempuran modernisasi dan perubahan gaya hidup, banyak tradisi pernikahan yang perlahan mulai terpinggirkan. Beberapa tradisi yang dulunya umum dilakukan, kini semakin jarang terlihat dalam upacara pernikahan modern.
Apa saja tradisi pernikahan yang mulai ditinggalkan ini? Mari kita lihat lebih dalam untuk menemukan cerita di balik tradisi-tradisi yang kian langka tersebut.
1. Mapacci (Bugis—Makassar)

Mapacci adalah salah satu tradisi pernikahan adat Bugis—Makassar yang bertujuan memurnikan calon pengantin. Prosesi ini melibatkan penggunaan daun pacar yang diletakkan di telapak tangan pengantin sebagai simbol harapan untuk hidup yang bersih dan penuh berkah setelah menikah.
Selain itu, upacara ini juga diiringi dengan doa-doa yang dibacakan oleh keluarga terdekat dan tokoh adat. Sayangnya, dengan semakin banyaknya masyarakat Bugis yang tinggal di kota besar dan memilih prosesi pernikahan yang lebih praktis, tradisi ini mulai ditinggalkan atau digantikan dengan acara lain yang lebih sederhana.
2. Pingitan (Jawa)

Pingitan adalah tradisi pernikahan adat Jawa, di mana pengantin perempuan akan "diisolasi" atau tidak keluar rumah selama beberapa hari sebelum acara pernikahan. Biasanya, pengantin perempuan dipingit selama 40 hari. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk menjaga kesucian dan mempersiapkan mental serta fisik pengantin sebelum memulai kehidupan rumah tangga.
Namun, tradisi pingitan mulai jarang dilakukan karena dianggap tidak relevan lagi dalam kehidupan modern. Ini utamanya bagi pengantin yang sibuk bekerja dan memiliki aktivitas di luar rumah. Kalaupun masih dilakukan, biasanya durasinya sering dipersingkat menjadi beberapa hari saja.
3. Ngeuyeuk Seureuh (Sunda)

Ngeuyeuk seureuh adalah tradisi yang dilakukan menjelang pernikahan adat Sunda, di mana calon pengantin bersama keluarganya berkumpul untuk melakukan serangkaian ritual yang sarat akan simbolisme. Seureuh (daun sirih) digunakan dalam ritual ini sebagai simbol doa dan harapan agar pasangan pengantin selalu hidup rukun.
Ritual ini biasanya dipimpin oleh tetua dalam keluarga atau di kampung yang memberikan nasihat pernikahan. Meski memiliki nilai-nilai budaya yang tinggi, tradisi Ngeuyeuk Seureuh mulai ditinggalkan oleh pasangan muda karena dianggap memakan waktu.
4. Langkahan (Jawa)

Langkahan adalah tradisi yang dilakukan apabila seorang adik menikah terlebih dahulu daripada kakaknya. Dalam adat Jawa, diharapkan pernikahan berlangsung secara berurutan mulai dari anak tertua hingga termuda. Ketika seorang adik menikah mendahului kakaknya, maka dilakukan upacara Langkahan sebagai bentuk penghormatan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan pandangan yang lebih terbuka, banyak keluarga Jawa yang tidak lagi melakukan upacara Langkahan ini.
5. Tari Piring (Minangkabau)

Tari Piring merupakan bagian dari perayaan pernikahan adat Minangkabau yang melibatkan tarian dengan piring sebagai atribut utama. Tarian ini biasanya dilakukan oleh sekelompok penari untuk memeriahkan acara pernikahan dan melambangkan kerja keras serta kesejahteraan yang diharapkan dalam kehidupan rumah tangga. Namun, di era modern, banyak pasangan Minangkabau yang lebih memilih hiburan modern sehingga tradisi Tari Piring semakin jarang terlihat dalam acara pernikahan.
Berbagai tradisi pernikahan di Indonesia mencerminkan kekayaan budaya yang mendalam. Tradisi-tradisi tersebut mengandung makna spiritual dan sosial yang bisa memperkuat hubungan antara pengantin dan keluarga besar. Sayangnya, saat ini banyak tradisi ini mulai jarang dilakukan. Semoga, ke depannnya makin banyak pasangan yang mau melangsungkan acara pernikahan secara adat.