Ilustrasi debat (pexels.com/Mikhail Nilov)
Whataboutism umumnya dianggap sebagai praktik negatif karena cenderung mengikis rasa saling percaya, memecah belah diskusi, dan meremehkan isu-isu serius. Meskipun demikian, praktik ini dapat memberikan manfaat positif dalam beberapa situasi.
Untuk menunjukkan inkonsistensi atau standar ganda (double standard). Jika digunakan dengan tujuan mendorong keadilan atau konsistensi moral, whataboutism bisa jadi alat kritik yang valid.
Contoh: “Kita menuntut transparansi dari pemerintah, tapi bagaimana dengan perusahaan besar yang juga menyembunyikan data publik?”
Di sini, tujuannya bukan untuk mengalihkan isu, melainkan menyoroti standar ganda yang perlu diperbaiki.
Sebagai bahan refleksi atau perbandingan yang membangun.
Kadang, whataboutism bisa membantu memperluas perspektif, selama konteksnya untuk memahami masalah lebih dalam, bukan untuk menolak tanggung jawab.
Contoh: “Kita fokus pada polusi udara di kota, tapi bagaimana dengan limbah laut? Keduanya saling berkaitan.”
Ini membantu memperkaya diskusi, bukan mematikan argumen.
Untuk mencari solusi yang lebih menyeluruh. Dalam diskusi kebijakan atau sosial, whataboutism bisa jadi pemicu untuk mempertimbangkan dampak lebih luas.
Contoh: “Kita ingin membatasi kendaraan pribadi, tapi bagaimana dengan sistem transportasi publiknya?”
Ini bukan bentuk pembelaan diri, melainkan ajakan mencari solusi berimbang.
Jadi, intinya whataboutism bisa bernilai positif, jika:
Didorong oleh niat untuk keadilan atau konsistensi.
Disampaikan tanpa menghindari tanggung jawab.
Dan digunakan untuk memperluas pemahaman atau mencari solusi.
Nah, itulah pembahasan yang perlu kamu ketahui tentang istilah whataboutism. Semoga menambah wawasanmu sekaligus membuatmu lebih bijaksana dalam mengungkapkan pendapat, ya!