Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Apakah Membuat Resolusi Tahun Baru Masih Relevan di Era Modern?

ilustrasi seorang pria menyalakan kembang api (pexels.com/Artem Podrez)

Tahun baru disambut dengan penuh sukacita. Perayaan tertangkap meriah di setiap sudut kota. Mulai dari letupan kembang api, dentuman musik konser dan pesta, pestival, hingga aroma lezat dari acara bakar-bakar tercium di halaman rumah-rumah warga.

Setelah pesta usai, tahun baru beralih menjadi waktu untuk menggantungkan harapan. Konon, kita bisa meninggalkan kegagalan dan membuat mimpi-mimpi baru untuk diwujudkan. Tradisi membuat resolusi seakan menjadi tren tahunan yang selalu dinantikan banyak orang.

Namun, era modern membawa perubahan serbacepat. Informasi yang melimpah dan media sosial sangat memengaruhi pola pikir dan cara kita dalam menjalani hidup. Lantas, apakah membuat resolusi tahun baru masih relevan hingga sekarang, atau justru dianggap sudah usang?

Di tengah dunia yang semakin dinamis, pola pikir kita sewaktu-waktu bisa berubah akibat derasnya arus informasi. Tradisi membuat resolusi pun pada akhirnya dipertanyakan. Mari mengulas relevansinya lebih dalam lewat penjelasan berikut ini!

1. Tradisi membuat resolusi tahun baru telah ada sejak lama

ilustrasi menulis di kertas (pexels.com/Arina Krasnikova)

Tradisi membuat resolusi tahun baru telah ada sejak lama di tengah-tengah masyarakat. Idenya terlanjur mengakar kuat dari zaman kuno hingga zaman modern seperti sekarang. Meskipun banyak orang mulai pesimis, tradisi ini tidak akan mudah dilunturkan.

Bagaimana tidak, dilansir History, ide membuat resolusi tahun baru sudah muncul sejak zaman Babilonia Kuno, sekitar 4.000 tahun lalu. Babilonia tercatat sebagai bangsa pertama yang mengadakan perayaan keagamaan untuk menghormati tahun baru. Tidak main-main, perayaan besar-besaran dihelat selama 12 hari berturut-turut.

Dahulu, rakyat Babilonia membuat janji kepada dewa untuk membayar hutang dan menjalani tahun yang lebih baik. Begitu pula dengan bangsa Romawi kuno yang melakukan praktik serupa pada tahun 46 SM. Di era modern, tradisi tersebut mengalami pergeseran menjadi janji pribadi untuk diri sendiri.

2. Apakah membuat resolusi masih relevan di era modern saat ini?

ilustrasi seorang wanita di ruang belajar (freepik.com/wayhomestudio)

Bukan rahasia umum lagi, kebanyakan resolusi tahun baru berujung gagal, bahkan sebelum masuk bulan Februari. Beberapa penelitian dan survei pun telah membuktikan bahwa hanya sekitar 9 persen resolusi yang benar-benar berhasil. Sisanya tidak lagi diteruskan karena berbagai alasan.

Melansir dari The Ohio State University, sebanyak 23 persen orang berhenti lebih cepat pada akhir minggu pertama. Sekitar 43 persen lainnya hanya bertahan hingga akhir Januari. Melihat realita tersebut, sangat mungkin jika orang-orang tak lagi bersemangat membuat resolusi di tahun baru.

Namun, fenomena the fresh start effect selalu membangkitkan harapan baru. Menurut informasi dari jurnal Management Science, penanda waktu, seperti awal yang baru, secara psikologis dapat memengaruhi seseorang untuk memulai hal-hal baru. Tahun baru dianggap waktu yang tepat untuk mengejar goals mulai dari awal lagi.

Pertanyaan ini muncul akibat memudarnya kepercayaan pada resolusi. Optimistisme hanya berkobar di awal tahun, lalu padam tanpa sempat diwujudkan. Akan tetapi, tren membuat resolusi sejauh ini bisa dibilang masih relevan. Pengaruh motivasi dari media juga masih diterima dengan baik dan tak bisa diabaikan.

Jangan lupa, media sosial punya peranan besar sebagai wadah untuk berbagi. Para pembuat konten berlomba-lomba membagikan tips dan trik mereka dalam membuat resolusi. Jadi, semangat itu masih ada dan relevan di era modern, tetapi lebih disesuaikan dengan daftar resolusi yang lebih realistis.

3. Resolusi masih relevan karena pengaruh tren self-improvement

ilustrasi berpikir untuk menulis (pexels.com/Michael Burrows)

Masyarakat modern bergantung pada internet, media sosial, hingga AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan. Informasi apa pun mudah ditemukan, sehingga pola pikir menjadi luas sekaligus semakin kritis. Salah satunya mengenai kesadaran kita terhadap self-improvement yang dibicarakan para motivator.

Dengan alasan itu, resolusi masih relevan, karena pengaruh tren untuk menjadi versi terbaik dari diri sendiri. Setiap tahun, orang-orang tetap tergiur membuat resolusi baru sebagai langkah untuk memperbaiki hidup. Di sisi lain, resolusi bisa jadi angin segar bagi mereka yang merasa gagal untuk mendapatkan kesempatan kedua.

Sebenarnya sederhana, resolusi tahun baru akan efektif jika dimulai dengan tujuan yang realistis. Jalani sistemnya dengan konsisten. Misalnya, alih-alih menetapkan target tabungan Rp100 juta, coba mulai biasakan diri untuk menyisihkan 10—20 persen dari pendapatan setiap bulan.

Wajar apabila efektivitas resolusi mulai diragukan, karena kehidupan makin dinamis dan pola pikir makin realistis. Masyarakat modern cenderung enggan terikat pada harapan semu. Namun, resolusi tahun baru tidak akan kehilangan relevansinya selama kita fokus pada proses, bukan hasil akhir.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Akromah Zonic
EditorAkromah Zonic
Follow Us