Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Hal Menarik dari Buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki

I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki karya Baek Se Hee (dok. pribadi/Milla)
I Want To Die But I Want To Eat Tteokpokki karya Baek Se Hee (dok. pribadi/Milla)
Intinya sih...
  • Judul buku unik dan menarik perhatian, dengan arti yang kontradiktif.
  • Buku ini mengangkat pentingnya kesehatan mental dan berkonsultasi dengan ahlinya saat mengalami depresi.
  • Baek Se Hee menulis berdasarkan pengalamannya melawan distimia, untuk mengajak orang lain berjuang bersama melawan ketakutan dan kecemasan.

“Aku hanya ingin mencintai dan dicintai. Dengan nyaman, tanpa rasa curiga. Hanya itu. Namun …” — Baek Se Hee, I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki, halaman 189

I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki adalah salah satu buku self-improvement terkenal dari Korea Selatan yang ditulis oleh Baek Se Hee. Buku ini berhasil meraih predikat best seller di negara asalnya dan juga sudah diterbitkan dalam versi bahasa Indonesia. Dengan terjemahan yang apik buku ini sangat worth reading!

Kalau kamu masih ragu, berikut lima hal menarik dari buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki yang mungkin bisa memikat hatimu untuk mulai membacanya. Cocok untuk kamu yang sedang membutuhkan "api" semangat dalam kehidupan. 

1. Judulnya unik banget

I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki karya Baek Se-hee (goodreads.com)
I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki karya Baek Se-hee (goodreads.com)

Sama kayak artikel, buku yang punya judul unik pasti lebih berpotensi untuk dilirik. Setuju, kan? Buku yang satu ini punya judul yang unik dan benar-benar menarik perhatian. Kalau diartikan secara dangkal, I Want to Die But I Want to Eat Tteokpokki itu artinya “Aku Ingin Mati Tapi Aku Ingin Makan Tteokpokki”. Tunggu, maksudnya apa, ya? 

Mungkin beberapa dari kalian juga penasaran, apa hubungannya ingin meninggal dunia sama makan tteokpokki? Sama! Bertentangan banget, kan? Dua hal yang tak akan pernah bisa dilakukan secara bersamaan, tapi justru disandingkan. Ternyata ada beberapa orang di luar sana yang merasakan hal semacam itu setiap harinya, dengan kontradiksi yang beragam. 

2. Membahas tentang isu kesehatan mental

ilustrasi orang sedang melakukan konsultasi (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi orang sedang melakukan konsultasi (pexels.com/cottonbro studio)

Istilah kesehatan mental memang sudah tak asing lagi, namun, tingkat kesadaran akan pentingnya itu masih kurang. Banyak yang masih merasa takut bahkan malu untuk berkonsultasi dengan psikiater dan psikolog saat mengalami depresi. Kalau pasien diam, menyembunyikan rasa sakit, bagaimana cara dokter bisa memberikan pengobatan yang tepat? 

Buku ini hadir untuk mematahkan anggapan kalau depresi merupakan sisi gelap seseorang yang harus disembunyikan. Depresi tak boleh disepelekan dan dianggap remeh. Berkonsultasi dengan ahlinya akan sangat membantu untuk keluar dari cengkeraman depresi. Kamu tak sendirian di dunia ini. Ada orang yang bisa membantumu. Ayo, berjuang untuk kehidupan yang lebih sehat! Buku ini ingin menyampaikan pesan seperti itu.

3. Berdasarkan kisah nyata, pengalaman pribadi dari penulisnya

ilustrasi orang sedang melakukan konsultasi (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi orang sedang melakukan konsultasi (pexels.com/cottonbro studio)

Buku ini disusun berdasarkan kisah nyata, loh. Baek Se Hee, penulis buku ini, membagikan catatan pengobatannya sendiri saat berjuang melawan distimia (depresi yang berkepanjangan). Baek Se Hee menuangkan pengalamannya saat melakukan konsultasi bersama psikiater dalam bentuk percakapan yang mendalam dan detail. Kamu bisa menyaksikan gambaran kehidupan orang yang mengalami distimia, bagaimana pemikiran dan perasaannya. Selain itu, Baek Se Hee juga menambahkan esai-esai menarik yang bisa menjadi bahan untuk evaluasi diri.

4. Proses pengembangan karakternya alami dan apa adanya

ilustrasi konsultasi dengan psikolog (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi konsultasi dengan psikolog (pexels.com/cottonbro studio)

Baek Se Hee menulis buku ini secara apa adanya, berdasarkan apa yang ia rasakan dan alami. Ia menulis buku ini bukan untuk menceritakan tentang keberhasilannya mengatasi distimia, melainkan untuk berbagi proses yang dilakukannya dalam melawan distimia. 

Sama seperti orang lain, Baek Se Hee juga awalnya merasa takut saat akan melakukan konsultasi pertama kali dengan psikiaternya. Dalam setiap konsultasi, yang ia ceritakan adalah hal-hal buruk tentang dirinya sendiri. Setelah melakukan banyak konsultasi, ia mulai belajar untuk menerima dirinya sendiri. Meski belum sepenuhnya membaik, Baek Se Hee tetap bertumbuh. Proses yang disampaikan dengan jujur dan apa adanya ini berhasil membuat banyak orang merasa relate dengan kisahnya.

5. Mengajak pembaca untuk self-love

ilustrasi menikmati sunyi (pexels.com/EKATERINA  BOLOVTSOVA)
ilustrasi menikmati sunyi (pexels.com/EKATERINA BOLOVTSOVA)

Baek Se Hee menulis buku ini dengan harapan bisa menggenggam tangan banyak orang yang sedang merasakan depresi. Ia ingin memberitahu mereka bahwa mereka tak sendirian, serta mengajak mereka untuk berjuang bersama melawan ketakutan dan kecemasan yang kerap datang. Ia ingin tumbuh bersama-sama, belajar menerima diri dengan apa adanya, berhenti membenci dan mulai mencintai diri sendiri.

Setiap orang pasti memiliki masalah hidupnya sendiri, namun Baek Se Hee menyadari meski hidupnya penuh kesulitan, ia bertekad untuk sembuh dan tidak menyerah. Ia juga ingin kamu, atau siapa pun yang sedang merasakan kesulitan, melakukan hal yang sama—bangkit dan kembali menjalani hidup dengan sehat. Setelah mengetahui kelima hal menarik dari buku I Want to Die but I Want to Eat Tteokpokki, apakah kamu tertarik untuk membacanya?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us