Rural Renaissance: Tren Tinggal di Desa untuk Nikmati Hidup

Apakah kamu juga tertarik mengikuti tren ini?

Normalnya orang menyasar kota besar untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Namun, beberapa tahun belakangan muncul tren kembali ke desa. Tren yang kemudian dikenal dengan istilah counterurbanisation atau rural renaissance ini berkembang pesat di beberapa negara seperti Jepang, Swedia, Australia, Inggris dan Italia. 

Rural renaissance kebanyakan dilakoni oleh orang-orang yang bekerja di industri kreatif atau yang bisa melakukan pekerjaannya secara remote atau jarak jauh. Tak sedikit pula yang justru mengembangkan eco-tourism.

Seberapa menjanjikannya tren ini untuk diikuti? Yuk, simak ulasannya di sini. 

 

1. Counterurbanisation sudah ada sejak tahun 1970an

Rural Renaissance: Tren Tinggal di Desa untuk Nikmati Hiduppotret seorang peternak Alpaca di Toronto yang melakukan counterurbanisation (instagram.com/bayofquinte)

Counterurbanisation atau perpindahan orang dari kota ke desa ternyata sudah ada sejak tahun 1960-1990an di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa menurut Boyle dalam International Encyclopedia of Human Geography. Ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, yaitu relokasi pabrik ke pinggiran kota, restrukturasi ekonomi, hingga keputusan pribadi seperti memperbaiki kualitas hidup. 

Fenomena tersebut sempat melambat di tahun 1980an ketika kota metropolitan tumbuh dengan kesempatan sosial yang lebih luas dan spot hiburan yang lebih banyak. Ini membuat lapangan pekerjaan baru pun bermunculan di wilayah kota dan menarik anak-anak muda untuk melakukan urbanisasi. 

Menurut Mitchell dalam jurnal Habitat International yang ditulis Dilley, Gkartzios, dan Odagiri ada tiga tipe counterurbanisation. Pertama, ex-urbanisation atau perpindahan komunitas kelas menengah ke pinggiran kota karena kesukaan mereka pada kehidupan yang lebih sederhana, tetapi tetap ada akses mudah ke kota besar.

Kedua, displaced-urbanisation yaitu perpindahan manusia ke pinggiran kota untuk pekerjaan dan properti yang lebih murah. Terakhir, anti-urbanisation yaitu tipe perpindahan yang didasari oleh motivasi radikal untuk menolak gaya hidup urban yang serba kompetitif dan cepat.  

2. Tren pindah ke desa naik di awal pandemi COVID-19

Rural Renaissance: Tren Tinggal di Desa untuk Nikmati Hiduprumah-rumah di desa di Gangi, Sisilia yang sempat dihargai 1 euro (instagram.com/smithsonianmagazine)

Dalam tulisannya yang berjudul 'Escape to the Country: A Reaction-Driven Rural Renaissance on a Swedish Island Post COVID-19', Aberg dan Tondelli melihat bahwa terjadi kenaikan tren perpindahan ke desa di Swedia saat pandemi melanda di 2020. Ini didorong oleh kesadaran bahwa populasi kota yang padat akan mempercepat penularan penyakit. 

Dengan berpindah ke desa, seseorang akan merasakan lebih banyak kebebasan dan energi positif dari bentang alam yang lebih luas. Hal serupa ternyata juga terjadi di Inggris di mana terjadi kenaikan penjualan properti di wilayah pedesaan. Begitu pula di wilayah-wilayah desa yang telah lama kosong di Italia. 

Di Italia, seperti diliput dalam Majalah Smithsonian Edisi April-Mei 2022, desa-desa yang penuh dengan rumah lawas terbengkalai kini mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan.

Melansir situs Condé Nast Traveler, pemerintah Italia bahkan memberikan bantuan dana pada warga lokal Italia yang berminat pindah ke desa yang berada di 20 wilayah, kebanyakan di kaki-kaki gunung. 

Baca Juga: 10 Potret Arborek Island, Desa Wisata Terbersih di Papua Barat

dm-player

3. Peminatnya kebanyakan pebisnis, pengusaha kuliner artisan, dan seniman

Rural Renaissance: Tren Tinggal di Desa untuk Nikmati Hiduppermaculture (instagram.com/smithsonianmagazine)

Masih merujuk liputan Majalah Smithsonian, kebanyakan peminat rural renaissance di Italia adalah pebisnis, pengusaha kuliner artisan yang juga bercocok tanam, serta seniman. Pebisnis mulai membangun co-working space untuk para seniman, digital nomad dan para pekerja remote

Beberapa membangun semacam penginapan dan restoran sembari mendapatkan bahan-bahan makanan alami dari petani dan peternak lokal. Sejumlah seniman merestorasi bangunan-bangunan klasik yang ditinggalkan penghuninya pasca Perang Dunia II dan masih banyak ide kreatif lain yang bisa ditemukan. 

Sedikit berbeda dengan di Swedia, motivasi orang pindah ke desa lebih condong ke Green Wave, yaitu keinginan untuk meningkatkan kualitas hidup lewat udara yang lebih segar dan makanan yang organik. Namun, ini membuat counterurbanisation di Swedia dan beberapa negara Skandinavia lainnya lebih bersifat sementara. Bukan untuk tujuan menetap. 

Kasus Jepang juga tak kalah unik. Melansir tulisan Dilley, Gkartzios, dan Odagiri; selama 5 dekade ke belakang fenomena urbanisasi mendominasi negara itu sampai akhirnya terjadi pergeseran yang pesat di masa pandemi. Mulai banyak yang melirik desa sebagai tempat tinggal, kebanyakan sebagai petani atau pekerja yang bisa melakukan kewajibannya mencari nafkah dari mana saja.

Sama dengan Italia, pemerintah Jepang juga turut aktif mendorong counterurbanisation lewat berbagai skema kebijakan. 

4. Berpotensi mengembalikan keseimbangan alam 

Rural Renaissance: Tren Tinggal di Desa untuk Nikmati Hiduppotret petani ex-urbanisation di Nova Scotia, Kanada (instagram.com/thechronicleherald)

Tidak hanya membantu distribusi persebaran populasi sebuah negara, Jimenez, dkk. dalam tulisannya yang berjudul 'Counterurbanization: A Neglected Pathway of Forest Transition' percaya bahwa perpindahan orang ke desa akan berdampak baik pada lingkungan. 

Untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, orang mulai sadar akan pentingnya ruang hijau. Ketimbang membeli produk pertanian masif, orang mulai melakukan permaculture atau bertani untuk kebutuhan sendiri yang jauh lebih ramah lingkungan dan ethical. Ada pula potensi peningkatan biodiversitas karena keberadaan pendatang yang membawa varietas tanaman baru. 

Selain itu, pendatang juga berpotensi membangun atau melakukan kegiatan produktif dari sumber daya yang terbengkalai atau terabaikan di pedesaan. Jimenez, dkk. tidak memungkiri bahwa tren ini berpotensi menciptakan ekosistem dan budaya yang baru di masa depan. 

5. Akankah bertahan lama atau hanya tren sementara?

Rural Renaissance: Tren Tinggal di Desa untuk Nikmati Hidupsuasana tinggal di pedesaan (instagram.com/hyo_kadota)

Meski ada pandangan yang optimis, tidak sedikit yang ragu dengan keberlangsungan rural renaissance. Penelitian di Swedia yang dilakukan Aberg dan Tondelli serta di Finlandia dari Adamiak, dkk. misalnya menemukan bahwa sebagian besar pelaku counterurbanisation hanya tertarik melakukan perpindahan sementara waktu. Mereka belum tertarik untuk menetap dalam waktu lama karena berbagai pertimbangan. 

Ketika tidak ada itikad dari penduduk untuk menetap, maka sebenarnya pembangunan di desa pun tidak akan bergerak. Tidak akan ada kontraktor atau pebisnis yang tertarik membangun infrastruktur permanen di pedesaan. Namun, selama ada koneksi dan jaringan internet, sebenarnya potensi untuk menarik penduduk untuk menetap tetap tinggi. Ini karena makin banyak pekerjaan yang bisa dilakukan dari jarak jauh. 

Meski terlihat menjanjikan, hidup di desa tetap punya plus minusnya sendiri dibandingkan dengan di perkotaan. Untuk kamu sendiri, apakah juga tertarik melakukan perpindahan dari kota ke desa? 

Baca Juga: 5 Fakta Desa Sayan, Lokasi Liburan Dian Sastro di Ubud

Dwi Ayu Silawati Photo Verified Writer Dwi Ayu Silawati

Pembaca, netizen, penulis

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Dwi Rohmatusyarifah

Berita Terkini Lainnya