7 Fakta Psikologis FOMO dan Cara Mengatasinya Biar Hidup Tenang

- FOMO adalah rasa takut melewatkan momen seru dan takut tidak diterima oleh lingkungan sekitar.
- Manusia memiliki kebutuhan untuk diterima dan merasa menjadi bagian dari suatu kelompok, sehingga FOMO sudah ada sejak lama.
- Tanda-tanda FOMO antara lain sering ngecek media sosial, merasa hidup membosankan dibanding orang lain, dan kesulitan fokus serta gelisah.
Coba ingat-ingat, berapa lama kamu habiskan waktu di media sosial setiap harinya? Rata-rata orang bisa menghabiskan lebih dari dua jam sehari hanya untuk scroll Instagram atau TikTok. Gak heran sih—dari pesta ulang tahun sampai ngopi cantik, semua serasa wajib dibagikan ke dunia maya.
Tapi di balik semua itu, ada satu hal yang sering bikin kita ngerasa gak nyaman: FOMO alias Fear of Missing Out. Rasa cemas karena melihat orang lain bersenang-senang sementara kita merasa “gak ikut bagian”. Meskipun bukan gangguan mental yang bisa didiagnosis secara resmi, FOMO ternyata bisa berdampak serius terhadap kesehatan mental dan emosional.
Dan yang menarik, FOMO sebenarnya bukan sekadar soal takut melewatkan momen seru. Sering kali, ini berkaitan dengan rasa takut gak diterima oleh lingkungan sekitar. Yuk, kita bahas lebih dalam.
1. Apa sih sebenarnya FOMO itu?

FOMO pertama kali jadi istilah umum sekitar tahun 2004—berbarengan dengan lahirnya Facebook. Saat itu, untuk pertama kalinya, orang bisa “pamer” kehidupan sosial mereka secara real time lewat status dan foto.
Menurut Natalie Christine Dattilo, Ph.D., seorang psikolog klinis dan pengajar di Harvard, FOMO terdiri dari dua hal: perasaan sedang melewatkan sesuatu yang penting, dan dorongan untuk terus terhubung agar tetap merasa jadi bagian dari lingkungan. Hal ini sering kali memicu kecemasan dan perilaku kompulsif, seperti gak bisa lepas dari notifikasi.
Uniknya, meski sekarang dipicu media sosial, rasa takut tersisih ini sebenarnya sudah ada jauh sebelum dunia maya muncul. Manusia memang pada dasarnya punya kebutuhan untuk diterima dan merasa menjadi bagian dari suatu kelompok.
2. Sejak kapan kita mulai merasa FOMO?

Erin Vogel, Ph.D., seorang psikolog sosial, bilang bahwa kebutuhan untuk "masuk ke lingkaran sosial" sudah jadi bagian dari psikologi manusia sejak lama. Bahkan, banyak studi menunjukkan bahwa saat seseorang merasa dihargai dan diterima dalam komunitas, harga dirinya pun meningkat. Sebaliknya, saat gak merasa dianggap, muncul rasa tidak cukup, rendah diri, bahkan sedih.
Istilah FOMO sendiri mulai populer pada 2004, istilah ini untuk menjelaskan kenapa orang cenderung padat jadwal karena takut melewatkan kesempatan.
3. Tanda-tanda kamu lagi FOMO

Walaupun gak termasuk gangguan mental resmi, FOMO tetap punya ciri-ciri yang mudah dideteksi.
Berikut gejala yang umum dirasakan:
Terlalu sering ngecek media sosial, takut ketinggalan update
Ngerasa hidup sendiri membosankan dibanding postingan orang lain
Capek secara emosional karena konsumsi konten terus-menerus
Selalu pengen ikut semua acara atau kegiatan, takut dibilang “gak gaul”
Ngerasa kesepian atau gak berharga saat gak diajak
Susah fokus, gampang gelisah, bahkan sampai susah tidur
Kalau kamu merasa sering begini, bisa jadi kamu lagi mengalami FOMO yang diam-diam memengaruhi keseharianmu.
4. Apa yang jadi pemicu FOMO?

Media sosial memang jadi katalis utama, tapi penyebab FOMO sebenarnya lebih kompleks. Contohnya: kamu gak terlalu ingin datang ke pesta, tapi tetap memaksa hadir karena takut nanti jadi outsider saat teman-teman ngobrol soal itu.
Penyebab umum FOMO antara lain:
Gak ngerti lelucon yang dibagikan dalam grup
Gak diajak ke suatu acara atau pertemuan
Ngerasa kehilangan kesempatan besar, misalnya diskon spesial atau lowongan kerja impian
Intinya, apa pun yang membuat kita merasa “gak dilibatkan” atau “gak cukup” bisa memicu FOMO.
5. Kenapa FOMO bisa berdampak begitu dalam?

Karena rasa diterima itu penting banget. Bahkan ada studi yang menyebutkan bahwa kebutuhan ini mirip “kelaparan sosial”—sebuah kondisi di mana seseorang merasa haus akan koneksi dengan orang lain.
Saat kita merasa diterima, tubuh kita merespons dengan menurunkan kadar stres, memperkuat sistem kekebalan, dan menjaga keseimbangan sistem saraf. Tapi ketika merasa ditinggalkan atau terasing, otak kita langsung siaga seperti menghadapi ancaman. Inilah yang disebut reaksi "fight or flight", dan ini bisa memicu kecemasan, jantung berdebar, bahkan kelelahan emosional.
Parahnya, banyak orang mencari pelarian justru dengan kembali ke media sosial. Padahal itu hanya memperkuat siklus kecemasan. Akibatnya? Kita makin merasa gak cukup, makin stres, dan makin sulit merasa puas dengan hidup sendiri.
6. Siapa yang paling rentan mengalami FOMO?

FOMO bisa dialami siapa saja, tapi memang anak muda cenderung lebih rentan. Mereka lebih sering online dan lebih sensitif terhadap validasi sosial.
Tapi bukan berarti orang dewasa aman dari FOMO. Siapa pun yang aktif di media sosial—terutama yang sering membandingkan hidupnya dengan orang lain—bisa terjebak dalam pusaran ini. Bahkan, studi tahun 2017 menunjukkan bahwa orang ekstrovert cenderung lebih sering mengalami FOMO karena dorongan kuat untuk selalu terhubung.
Orang yang mengalami kecemasan sosial juga termasuk kelompok berisiko. Karena mereka cenderung menghindari pertemuan langsung dan mengandalkan media sosial sebagai cara utama untuk merasa “terhubung”.
7. Hubungan erat antara media sosial dan FOMO

Aplikasi seperti Instagram dan TikTok dirancang untuk memanjakan otak. Setiap kali kita dapat like, komentar, atau views, otak akan mengeluarkan dopamin, hormon yang bikin kita merasa senang. Efek ini mirip dengan reward system di otak, yang bisa memicu kecanduan secara psikologis.
Gak heran kalau kita jadi susah lepas dari layar. Kita terus mengejar validasi, tanpa sadar sedang memperkuat perasaan gak aman yang kita coba hindari sejak awal.
Cara jitu mengatasi FOMO

Kalau kamu merasa FOMO mulai mengganggu hidupmu, ada strategi yang bisa dicoba:
Ingat: media sosial cuma menampilkan sisi “glamour”
Kebanyakan orang gak akan posting saat mereka rebahan atau kerja lembur. Jadi jangan langsung mengira hidup mereka se-wow itu.
Fokus pada kegiatan yang bikin kamu merasa utuh
Isi waktu dengan hal-hal yang kamu suka. Makin kamu menikmati hidupmu sendiri, makin kecil kemungkinan kamu iri dengan hidup orang lain.
Kenali pemicunya
Cari tahu apa atau siapa yang bikin kamu merasa ketinggalan. Kalau perlu, mute atau unfollow akun-akun yang justru bikin kamu gak nyaman.
Pertimbangkan untuk ngobrol dengan profesional
Terapi kognitif perilaku (CBT) bisa bantu kamu memahami pola pikir dan kebiasaan yang bikin kamu rentan FOMO, lalu perlahan mengubahnya jadi lebih sehat.
FOMO itu nyata dan bisa mengganggu. Tapi bukan berarti kamu harus sepenuhnya lepas dari media sosial. Kuncinya adalah belajar menggunakannya dengan sadar.
Seperti yang dikatakan Dr. Dattilo, "Tujuan utamanya bukan menghindari media sosial sepenuhnya, tapi punya kontrol atas penggunaannya." Kalau ada akun yang bikin kamu merasa buruk tentang diri sendiri, jangan ragu untuk berhenti mengikutinya.
Ingat, hidup itu bukan kompetisi konten. Yang kamu lihat di layar hanyalah sebagian kecil dari kehidupan seseorang dan belum tentu mencerminkan kenyataan kehidupan mereka.