5 Tips Mengatasi Emotional Spending karena Inner Child dan FOMO

- Emotional spending dipengaruhi oleh inner child dan FOMO, mengakibatkan pengeluaran uang tak terkontrol.
- Balas dendam atas luka inner child dapat memicu emotional spending yang tidak sehat secara finansial.
- Emotional spending hanya memberikan kebahagiaan sesaat dan bisa berujung pada penyesalan finansial, perlu kontrol emosional dan budgeting yang rasional.
Sesuai dengan namanya, emotional spending merupakan pengeluaran uang dengan berlandaskan emosi. Yang mana bahayanya saat emosional makin memuncak, maka semakin gak terkontrol pengeluaran uangnya.
Nah, emotional spending sendiri dipengaruhi berbagai hal di antaranya karena faktor inner child hingga fear of missing out (FOMO). Saat kamu terlarut dalam emosi akan inner child dan FOMO, gak heran kamu jadi gak punya batasan dalam mengeluarkan uang. Biar finansialmu tetap sehat, berikut sederet tips mengendalikan emotional spending.
1. Atasi emosi inner child yang berlandaskan balas dendam

Siapa sih yang enggak emosional saat dulu kecil gak bisa beli busana merek tertentu lantaran terhalang dana. Rasanya, ketika punya uang auto ingin beli semua model busana dari merek terkait, ya.
Pertanyaannya, apakah saat kamu membeli di masa sekarang ini dilandaskan atas dasar kebutuhan atau setidaknya benar suka model busananya? Coba pikirkan. Besar peluangnya tindakan emotional spendingmu tersebut dipengaruhi oleh rasa balas denam.
Ya, balas dendam karena dulu enggak kesampaian beli. Sekarang, mumpung ada uangnya, langsung muncul emosional akan kalap belanja. Apakah salah? Tentu tidak, tapi juga enggak sepenuhnya benar.
Jika sekadar pelipur lara akan inner child, maka beli sewajarnya untuk mengobati luka masa kecilmu itu. Di sini, luka inner child tetap bisa terobati, tanpa perlu kalap belanja. Kuncinya apa? Ya, latih diri untuk stop balas dendam atas luka inner child, semua ada solusi bijaknya asal memasukkan rasionalitas di dalamnya.
2. Ubah FOMO menjadi satu kesukaan yang spesifik

Di era yang sekarang, fenomena FOMO begitu sering terjadi, tiada ujungnya. Emsional menjadi kunci utama akan rasa FOMO untuk mau beli ini dan itu yang sedang viral, takut ketinggalan tren.
Padahal, jika dikaji dari sisi rasionalitas, sebenarnya kamu gak butuh produknya, hanya dikuasai emosi untuk memiliki atau mencobanya. Bahkan, kamu harus mengorbankan pemenuhan kebutuhan pokok lainnya hanya supaya bisa beli produk incaran sejuta umat yang harganya tengah fantastis.
Tanpa menyudutkan, coba tanya pada dirimu, apa sih yang benar-benar kamu suka? Jawab dengan jujur. Daripada fokus pengeluaran uang karena takut ketinggalan tren, lebih baik untuk apa yang benar-benar kamu bisa nikmati.
Sesederhana mungkin sebenarnya kamu itu terlalu tomboi untuk FOMO beli boneka yang tengah viral. Padahal, kamu sukanya makan enak, lantas kenapa gak kulineran ke seluruh penjuru dunia dengan cira rasanya yang berbeda itu? Coba pikirkan.
3. Sadari pemenuhan emotional spending hanya beri kesenangan sementara

Baik karena luka inner child maupun FOMO takut ketinggalan tren, yakin dan percayalah emotional spending itu hanya berikan kebahagiaan sesaat. Ya, selayaknya nafsu yang tengah memuncak, hal viral yang begitu fenomenal, jelas emotional spending susah dikontrol.
Tapi, kalau kamu mau sebentar saja merenungi secara jangka panjang. Kamu akan menemukan fakta bahwa emotional spending bahkan bisa berujung penyesalan secara finansial hingga nilai produk yang akhirnya gak ada bahagianya.
Saat nafsu emosional sudah terpenuhi, hal sefenomenal itu sudah mulai redup, maka ya sudah gak ada nilainya lagi. Sama-sama mengeluarkan uang, tapi beda dengan beli produk yang punya nilai serta fungsional secara jangka panjang. Sepakat?
4. Tanamkan mindset emotional spending tanpa batas bikin finansialmu gak sehat

Jika dikaji dari segi finansial, mau kamu mampu atau tidak secara keuangan, tetap bikin sikusnya jadi gak sehat. Kalau kamu gak bisa dan gak mau mengontrol emosional, maka emosimu itu yang mengontrol pengeluaran uang dengan tanpa batasan yang sehat.
Kamu akan dibuat simpati dengan diri sendiri, berdalih self love untuk pengeluaran tanpa batas padahal gak punya dana khusus. Apa yang terjadi? Ya, dengan sukarela menukar kebutuhan pokok dengan pemenuhan emotional spending atas inner child dan FOMO.
Kalau pun kamu mampu membelinya, coba diukur dari sisi kesehatan secara finansial. Bukankah lebih produktif jika danamu itu dialihkan menjadi modal investasi? Lebih bernilai secara jangka panjang.
Tarik nafas, coba ajak dirimu diskusi dari hati ke hati sekaligus pakai logika berpikirmu. Mau sampai kapan dikuasai emosional inner child hingga FOMO? Kamu adalah korban sekaligus pelaku yang bikin finansialmu sendiri jadi gak sehat, lho.
5. Budgeting buat self reward secara logis dan bijak

Nah, setelah sadar bahwa emotional spending karena inner child dan FOMO itu gak baik secara jangka panjang. Kamu gak perlu bersedih hati lantaran self reward itu juga perlu, asalkan berlandaskan hitungan dana rasional, bukan emosional, ya.
Dengan begitu, kamu perlu bikin budgeting khusus untuk dana self reward yang berdasarkan logika. Mulai dari logika hal atau produk yang benar-benar kesukaanmu, bernilai secara jangka panjang. Hingga logika dari segi penghitungan dananya, ya.
Jadi, setelah membaca ulasan di atas, apakah sudah cukup menjadi solusi untuk menyadarkan diri stop emotional spending? Pengeluaran uang untuk inner child hingga FOMO itu gak akan ada habisnya, lho. Jadi, lebih baik untuk selalu kontrol emosionalmu, paksa diri untuk berpikir logis, ya!