Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kenapa Orang yang Fanatik Lebih Mudah Dihasut?

Pawai Feeder tiba di Million MAGA March Gathering Rally di Freedom Plaza Washington DC 14 November 2020  (Elvert Barnes, CC BY-SA 2.0, via Wikimedia Commons)
Pawai Feeder tiba di Million MAGA March Gathering Rally di Freedom Plaza Washington DC 14 November 2020 (Elvert Barnes, CC BY-SA 2.0, via Wikimedia Commons)
Intinya sih...
  • Individu fanatik cenderung melihat ajaran tertentu sebagai kebenaran yang tak tergugat
  • Keyakinan tinggi pada otoritas agama atau spiritual mengurangi kritis dan rentan terhadap hasutan
  • Identifikasi dengan kelompok tertentu dapat memperkuat loyalitas dan meningkatkan konflik antar kelompok

Fanatisme, terutama dalam konteks agama atau ideologi, sering dikaitkan dengan kecenderungan untuk mudah menerima hasutan. Beberapa faktor seperti kepatuhan terhadap otoritas, pola pikir hitam-putih, dan tekanan sosial dalam kelompok bisa membuat seseorang lebih rentan terhadap propaganda. Lantas apa saja alasan psikologis dan sosial di balik fenomena ini?

Disclaimer: Artikel ini tidak bermaksud menyinggung agama atau keyakinan tertentu. Tujuannya adalah untuk memberikan pemahaman ilmiah mengenai faktor-faktor yang dapat membuat individu lebih rentan terhadap hasutan, sehingga kita dapat lebih waspada terhadap manipulasi informasi.

1. Keyakinan absolut dan otoritas

Pericles memberikan Pidato Pemakaman (Perikles hält die Leichenrede), oleh pelukis Philipp von Foltz (1852) (Philipp Foltz , Public domain, via Wikimedia Commons)
Pericles memberikan Pidato Pemakaman (Perikles hält die Leichenrede), oleh pelukis Philipp von Foltz (1852) (Philipp Foltz , Public domain, via Wikimedia Commons)

Menurut penelitian The Authoritarian Personality"oleh Adorno et al. (1950) individu yang memiliki keyakinan absolut seringkali melihat ajaran atau doktrin tertentu sebagai kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat. Pandangan ini membuat mereka cenderung menerima informasi yang sejalan dengan keyakinan mereka tanpa mempertanyakan atau menganalisis lebih lanjut.

Selain itu, mereka sering mengandalkan figur otoritas, seperti pemimpin agama atau tokoh spiritual, sebagai sumber kebenaran utama. Kepercayaan yang tinggi terhadap otoritas ini dapat mengurangi kecenderungan untuk berpikir kritis, sehingga mereka lebih rentan terhadap hasutan yang datang dari sumber-sumber tersebut.

2. In-group vs out-group

Upacara pembakaran salib Ku Klux Klan di London, Ontario, Kanada pada akhir tahun 1925. (The Toronto Star. Unknown author., Public domain, via Wikimedia Commons)
Upacara pembakaran salib Ku Klux Klan di London, Ontario, Kanada pada akhir tahun 1925. (The Toronto Star. Unknown author., Public domain, via Wikimedia Commons)

Berdasarkan kajian Social Identity Theory oleh Henri Tajfel dan John Turner, konsep in-group dan out-group menjelaskan bagaimana individu mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari kelompok tertentu (in-group) dan membedakan diri dari kelompok lain (out-group). Identifikasi ini dapat memperkuat loyalitas terhadap kelompok sendiri dan menimbulkan prasangka atau diskriminasi terhadap kelompok lain. Ketika seseorang sangat terikat pada kelompoknya, mereka mungkin lebih mudah terpengaruh oleh hasutan yang menggambarkan out-group sebagai ancaman atau musuh. Hal ini dapat memperkuat solidaritas internal, tetapi juga meningkatkan konflik antar kelompok.

3. Kebutuhan akan makna dan kepastian

KA Suresh di protes Karuvanoor ( Sreejith3747, CC0, via Wikimedia Commons)
KA Suresh di protes Karuvanoor ( Sreejith3747, CC0, via Wikimedia Commons)

Masih mengacu pada The Authoritarian Personality, manusia memiliki dorongan alami untuk mencari makna dan kepastian dalam hidup mereka. Bagi beberapa individu, keyakinan religius atau ideologis menawarkan jawaban yang jelas dan tegas terhadap pertanyaan-pertanyaan eksistensial. Kebutuhan ini dapat membuat mereka lebih rentan terhadap hasutan yang menawarkan penjelasan sederhana atau solusi definitif terhadap masalah kompleks. Dalam upaya memenuhi kebutuhan akan kepastian, mereka mungkin mengabaikan informasi yang bertentangan atau tidak sejalan dengan keyakinan mereka.

4. Dinamika kelompok

Perayaan penyambutan "Make America Great Again" pada 2017 (James McNellis from Washington, DC, United States, CC BY 2.0, via Wikimedia Commons)
Perayaan penyambutan "Make America Great Again" pada 2017 (James McNellis from Washington, DC, United States, CC BY 2.0, via Wikimedia Commons)

Dinamika kelompok merujuk pada cara individu berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain dalam konteks kelompok. Tekanan untuk mematuhi norma kelompok dan keinginan untuk diterima dapat mendorong individu untuk menyesuaikan pandangan dan perilaku mereka dengan mayoritas. Dalam kelompok yang sangat kohesif, dissent atau perbedaan pendapat seringkali tidak disukai, sehingga anggota mungkin merasa tertekan untuk mengikuti pandangan dominan, bahkan jika itu berarti menerima hasutan atau informasi yang menyesatkan.

5. Dominasi emosi atas logika

Pawai Feeder tiba di Million MAGA March Gathering Rally di Freedom Plaza Washington DC 14 November 2020  (Elvert Barnes, CC BY-SA 2.0, via Wikimedia Commons)
Pawai Feeder tiba di Million MAGA March Gathering Rally di Freedom Plaza Washington DC 14 November 2020 (Elvert Barnes, CC BY-SA 2.0, via Wikimedia Commons)

Isu-isu yang berkaitan dengan keyakinan seringkali memicu respons emosional yang kuat. Emosi seperti ketakutan, kemarahan, atau rasa bersalah dapat mengaburkan penilaian rasional dan membuat individu lebih rentan terhadap hasutan. Propaganda atau pesan yang dirancang untuk memanipulasi emosi dapat mempengaruhi perilaku dan keyakinan seseorang lebih efektif daripada argumen logis. Akibatnya, individu mungkin mengambil tindakan atau mengadopsi pandangan tertentu berdasarkan respons emosional daripada analisis kritis.

Memahami mengapa seseorang lebih mudah dihasut tidak berarti menyamaratakan semua orang yang religius atau fanatik. Faktor sosial, psikologis, dan lingkungan turut berperan dalam membentuk pola pikir seseorang. Artikel ini tidak bermaksud menyinggung agama atau keyakinan tertentu, tetapi bertujuan untuk memahami fenomena ini secara ilmiah agar kita lebih waspada terhadap manipulasi informasi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us