Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kurang Apresiasi saat Kecil, Dewasa Jadi Butuh Validasi?

ilustrasi mencari validasi
ilustrasi mencari validasi (vecteezy.com/Titiwoot Weerawong)
Intinya sih...
  • Kurangnya apresiasi mengganggu pembentukan rasa aman
  • Cara pola asuh membentuk persepsi tentang diri
  • Tekanan media sosial memperburuk rasa haus validasi
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Rasa haus validasi sering kali muncul tanpa disadari dan memengaruhi cara seseorang memandang diri sendiri maupun lingkungan sekitarnya. Dalam kehidupan sehari-hari, dorongan untuk diakui bisa tampak wajar, namun menjadi masalah saat kebutuhan tersebut berlebihan hingga menimbulkan rasa cemas jika tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Fenomena ini kerap dikaitkan dengan pengalaman masa kecil yang kurang mendapat apresiasi dari orangtua atau lingkungan terdekat. Banyak orang yang pernah mengalami hal itu mulai mempertanyakan apakah pola asuh yang minim pujian bisa menjadi alasan mereka selalu mencari pengakuan di masa dewasa.

Rasa ingin diakui bukan hanya menyangkut ego, tetapi juga menyentuh cara seseorang membentuk identitas diri dan menilai nilai hidupnya. Jika tidak dikelola dengan sehat, dorongan ini dapat memengaruhi hubungan sosial, pekerjaan, bahkan keputusan penting dalam hidup. Hal ini membuat topik tentang haus validasi menjadi relevan untuk dibahas agar kita bisa memahami akarnya dan mencari cara mengatasinya. Berikut lima sudut pandang yang dapat membantu menjelaskan hubungan antara pengalaman kurang apresiasi saat kecil dengan kebutuhan validasi di masa dewasa.

1. Kurangnya apresiasi mengganggu pembentukan rasa aman

ilustrasi memberi apresiasi (pexels.com/RDNE Stock project)
ilustrasi memberi apresiasi (pexels.com/RDNE Stock project)

Anak yang tumbuh tanpa dukungan verbal maupun emosional dari orangtua sering kesulitan membentuk rasa aman dalam dirinya. Mereka terbiasa merasa apa yang dilakukan tidak cukup baik sehingga terbawa hingga dewasa. Akibatnya, penghargaan dari orang lain menjadi sumber utama untuk merasakan diri yang berharga. Pola ini biasanya muncul diam-diam dan sulit disadari karena telah menjadi bagian dari cara berpikir sejak kecil.

Rasa aman yang tidak kokoh membuat seseorang cenderung lebih mudah merasa cemas saat tidak mendapat pengakuan dari orang lain. Setiap pencapaian kecil pun terasa harus divalidasi agar diyakini bernilai. Jika tidak disadari, kebiasaan ini dapat membuat seseorang terus merasa kurang, meskipun sebenarnya sudah cukup berprestasi. Memahami bahwa akar masalahnya berasal dari kurangnya apresiasi di masa kecil menjadi langkah awal untuk memperbaiki pola pikir tersebut.

2. Cara pola asuh membentuk persepsi tentang diri

ilustrasi orangtua dan anak
ilustrasi orangtua dan anak (pexels.com/Pavel Danilyuk)

Pola asuh yang lebih fokus pada kesalahan daripada usaha sering membuat anak merasa tidak pantas dipuji. Mereka jadi terbiasa mengkritik diri sendiri dan sulit percaya bahwa keberhasilan yang diraih adalah hasil kerja keras mereka. Saat dewasa, kepercayaan diri mereka kerap bergantung pada komentar atau penilaian dari orang lain. Hal ini menjadikan validasi eksternal seolah menjadi tolok ukur keberhargaan diri.

Ketika anak tidak pernah merasa dihargai atas usaha yang dilakukan, ia akan tumbuh dengan persepsi bahwa nilai diri selalu ditentukan orang lain. Ini membuat mereka sulit merasa puas meskipun sudah berprestasi. Dengan menyadari pola tersebut, seseorang dapat belajar membangun rasa percaya pada kemampuan sendiri tanpa selalu menunggu pengakuan eksternal.

3. Tekanan media sosial memperburuk rasa haus validasi

ilustrasi media sosial
ilustrasi media sosial (pexels.com/Karolina Grabowska)

Di era digital, media sosial sering menjadi tempat untuk mencari dan memberi pengakuan. Orang yang sejak kecil kurang diapresiasi cenderung merasa lega saat unggahannya disukai atau dikomentari positif oleh banyak orang. Namun, ketergantungan ini bisa menimbulkan tekanan karena ekspektasi untuk selalu mendapat respons baik terus meningkat.

Ketika validasi di media sosial tidak sesuai harapan, perasaan kecewa dan tidak berharga mudah muncul. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan hanya di platformnya, melainkan pada pola pikir yang terbentuk sejak lama. Menyadari dampak media sosial dapat membantu seseorang lebih bijak dalam menggunakannya dan mengurangi beban mental akibat pencarian validasi berlebihan.

4. Pengalaman kurang dihargai memengaruhi hubungan dengan orang lain

ilustrasi tidak dihargai (pexels.com/Keira Burton)
ilustrasi tidak dihargai (pexels.com/Keira Burton)

Individu yang tidak terbiasa menerima apresiasi kerap kesulitan memahami cara memberi atau menerima pujian. Mereka mungkin jadi terlalu sensitif terhadap kritik dan menganggapnya sebagai penolakan, atau sebaliknya merasa rendah diri di hadapan pasangan maupun teman. Akhirnya, hubungan menjadi tidak seimbang karena ada tuntutan emosional yang tidak disadari.

Kebutuhan untuk selalu merasa diterima bisa mendorong seseorang berusaha keras menyenangkan orang lain hingga mengabaikan diri sendiri. Kebiasaan ini membuat mereka rentan merasa lelah secara emosional dan sulit menjaga batas yang sehat dalam interaksi. Mengenali pola ini dapat membantu seseorang memperbaiki kualitas hubungan dengan orang lain.

5. Kesadaran diri membantu mengubah pola pikir yang lama

ilustrasi kurang sadar diri (pexels.com/Cup of Couple)
ilustrasi kurang sadar diri (pexels.com/Cup of Couple)

Menumbuhkan kesadaran bahwa rasa haus validasi bukan kelemahan melainkan akibat pengalaman masa kecil adalah langkah penting. Dengan pemahaman ini, seseorang bisa berhenti menyalahkan diri dan mulai mencari cara membangun penghargaan dari dalam diri. Proses ini memerlukan waktu, dukungan lingkungan yang sehat, dan kemauan untuk melatih cara berpikir baru.

Kesadaran diri juga membuat seseorang belajar menilai keberhasilan berdasarkan usaha, bukan semata-mata pada pujian orang lain. Ini membantu mereka lebih tenang menghadapi kritik atau kegagalan karena tidak lagi menjadikannya sebagai ancaman terhadap harga diri. Perubahan pola pikir ini membuka jalan untuk hidup lebih mandiri secara emosional.

Rasa haus validasi yang muncul di masa dewasa sering kali berakar dari pengalaman kurang apresiasi saat kecil, namun bukan berarti tidak bisa diatasi. Memahami sumber masalah, mengubah pola pikir, dan belajar menghargai diri sendiri menjadi langkah penting agar tidak terus terjebak dalam pencarian pengakuan eksternal. Lalu, apakah kamu sudah mulai menyadari pola tersebut dalam dirimu sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Self Reminder bagi Freelancer yang Merasa Hilang Arah, Bangkit Lagi!

07 Okt 2025, 18:12 WIBLife