5 Alasan Seseorang Kurang Nyaman Melakukan Video Call

- Komunikasi tatap muka memberikan ekspresi tubuh dan intonasi suara yang terbatas di video call, memicu rasa tidak alami dan canggung.
- Tekanan untuk terlihat rapi dan segar saat melihat wajah sendiri di layar menambah beban dan meningkatkan rasa gugup.
- Masalah teknis seperti koneksi internet tidak stabil dan suara putus-putus membuat video call tidak efektif dan menurunkan kualitas interaksi.
Kegiatan komunikasi melalui video call semakin meningkat seiring berkembangnya teknologi dan kebutuhan untuk tetap terhubung tanpa harus bertemu langsung. Meskipun dianggap praktis dan efisien, banyak orang justru merasa kurang nyaman melakukan video call, baik untuk keperluan kerja maupun sekadar bersilaturahmi.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai apa sebenarnya yang membuat video call terasa tidak menyenangkan bagi sebagian orang. Agar lebih jelas, mari kupas satu per satu alasan tersebut dalam penjelasan berikut.
1. Interaksi terasa tidak alami dan membuat ekspresi menjadi kaku

Komunikasi tatap muka secara langsung memberikan ruang lebih bagi ekspresi tubuh, intonasi suara, dan gerakan spontan yang membuat percakapan terasa lebih hidup. Saat melakukan video call, batasan layar membuat ekspresi nonverbal menjadi terbatas. Hal ini memicu rasa tidak alami dan menciptakan kesan komunikasi yang kaku. Ketika lawan bicara hanya terlihat sebagian tubuhnya atau hanya wajahnya saja, interpretasi terhadap ekspresi menjadi tidak utuh, bahkan bisa saja disalahartikan.
Perasaan canggung biasanya muncul karena kurangnya respon instan seperti anggukan, senyuman kecil, atau gestur lain yang biasanya memberi sinyal kenyamanan dalam percakapan langsung. Hal ini memperparah kesan bahwa video call bukanlah medium yang cukup hangat untuk berinteraksi, terlebih bagi mereka yang terbiasa membaca emosi dari ekspresi tubuh. Ketika komunikasi tidak mengalir dengan alami, rasa enggan pun muncul secara perlahan.
2. Kecemasan terhadap penampilan saat berada di depan kamera

Banyak orang merasa tertekan saat harus melihat wajah sendiri di layar selama panggilan video berlangsung. Ada tekanan untuk terlihat rapi, segar, dan "siap tampil" meski sebenarnya sedang berada di rumah. Kebanyakan aplikasi video call secara default menampilkan wajah pengguna sendiri, dan ini justru menambah beban bagi sebagian orang.
Kondisi ini menjadi lebih parah jika harus berbicara di depan banyak peserta seperti saat rapat daring atau kelas online. Rasa gugup meningkat karena ada kekhawatiran akan dinilai dari penampilan fisik, bukan dari isi pembicaraan. Bahkan, tidak sedikit orang yang akhirnya merasa kelelahan sosial karena harus tampil selama video call, demi menghindari komentar atau penilaian negatif dari lawan bicara.
3. Gangguan teknis bisa merusak alur komunikasi yang sedang berlangsung

Masalah teknis seperti koneksi internet tidak stabil, suara yang putus-putus, hingga gambar yang tidak sinkron kerap menjadi pengganggu utama dalam video call. Ketika komunikasi terganggu oleh faktor teknis, fokus percakapan bisa hilang dan menciptakan frustrasi, baik bagi pembicara maupun pendengar. Kondisi ini membuat pembicaraan jadi tidak efektif dan sering kali harus diulang, sehingga menurunkan kualitas interaksi.
Tidak hanya itu, suara latar dari lingkungan sekitar, keterlambatan audio, atau kamera yang tiba-tiba mati juga bisa membuat seseorang merasa kehilangan kontrol terhadap situasi. Rasa jengkel tersebut pada akhirnya menciptakan kesan bahwa video call merupakan aktivitas yang merepotkan. Akibatnya, banyak orang lebih memilih komunikasi melalui pesan teks atau telepon biasa sebagai alternatif yang dianggap lebih nyaman dan minim gangguan.
4. Merasa terus-menerus diawasi selama panggilan berlangsung

Perasaan seolah-olah sedang diperhatikan sepanjang waktu sering kali muncul saat melakukan video call. Dalam situasi seperti rapat daring atau pertemuan kelas, seseorang merasa perlu mempertahankan posisi duduk, ekspresi wajah, dan gestur tubuh agar tetap terlihat "hadir" dan aktif. Video call bisa membuat banyak orang merasa lelah secara mental, meski secara fisik tidak melakukan banyak gerakan.
Ketidaknyamanan ini sangat terasa bagi individu yang introver atau memiliki kecenderungan mudah cemas saat berada pada situasi sosial. Bukannya merasa terkoneksi, mereka justru merasa sedang diamati, sehingga sulit untuk bersikap santai. Pengalaman inilah yang akhirnya membuat orang enggan menerima ajakan video call dan memilih metode komunikasi lain yang tidak menimbulkan rasa diawasi secara intens.
5. Sulit menciptakan suasana intim dan emosional secara virtual

Kedekatan emosional dalam percakapan sering kali tidak tercipta dengan baik melalui video call. Meski bisa saling melihat wajah, nuansa percakapan sering kali terasa hambar dan kaku. Ini disebabkan karena sinyal emosional yang biasanya hadir dalam percakapan langsung tidak bisa sepenuhnya tersampaikan lewat layar. Situasi ini membuat beberapa orang merasa percakapan menjadi kosong dan tidak bermakna, apalagi jika topik yang dibicarakan bersifat personal.
Interaksi yang membutuhkan kepekaan perasaan, seperti curhat atau diskusi, lebih nyaman dilakukan secara langsung karena bisa menciptakan ruang emosional yang hangat. Saat dilakukan lewat video call, koneksi emosional justru berkurang, dan terkadang lawan bicara tampak tidak benar-benar hadir. Ketidakhadiran emosional ini menyebabkan banyak orang memilih menghindari video call dan menunggu waktu yang tepat untuk bertemu langsung agar pesan bisa tersampaikan secara utuh.
Meski teknologi terus berkembang dan video call menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan modern, penting untuk memahami bahwa tidak semua orang merasa nyaman menggunakannya. Dengan memahami alasan-alasan tersebut, kamu bisa lebih bijak dalam memilih metode komunikasi yang tepat sesuai kebutuhan dan kenyamanan masing-masing. Jika kamu termasuk orang yang kurang nyaman melakukan video call, kamu tidak sendirian, dan itu hal yang sangat wajar.