Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Lahirnya KAKG Jadi Harapan Baru bagi Korban Kekerasan Seksual

Justitia Avila Veda dan rekan-rekan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)
Justitia Avila Veda dan rekan-rekan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)

Sungguh malang, keadilan sering kali tidak memihak pada korban kekerasan seksual. Betapa banyak lika-liku yang harus dihadapi untuk mendapatkan keadilan yang semestinya. Belum lagi, komentar-komentar pedas yang begitu mudahnya dilontarkan dan malah terkesan menyalahkan korban.

Victim blaming merupakan suatu perilaku yang justru menyalahkan korban atas kejahatan yang menimpanya. Fenomena ini seperti sudah begitu mendarah daging di Indonesia. Mereka yang harusnya mendapatkan keadilan dan perlindungan justru disalahkan.

Tak ayal, inilah yang semakin mengoreskan luka di hati para korban kekerasan seksual. Selain itu, tindakan tersebut juga membuat mereka merasa takut untuk melaporkannya ke aparat penegak hukum.

Padahal, apa yang terjadi padanya bukan sama sekali kesalahannya. Bagaikan makan buah simalakama, korban kekerasan seksual justru ditempatkan pada kondisi serbasalah. Sementara, pelaku bisa "berleha-leha" seperti tidak melakukan kesalahan apa pun. Tak ada efek jera atas perbuatan kejinya.

Menyadari keadilan yang sulit diraih korban, Justitia Avila Veda mendirikan Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender atau disebut KAKG untuk merangkul korban kekerasan seksual. Sebagai penerima apresiasi Semangat Astra Terpadu (SATU) Indonesia Awards, berikut kisah inspiratif Veda dalam menegakkan keadilan.

1. Jumlah kasus kekerasan seksual cenderung naik, tetapi keadilan justru sulit didapat

ilustrasi kekerasan seksual (pexels.com/Kat Smith)
ilustrasi kekerasan seksual (pexels.com/Kat Smith)

Tingginya jumlah kasus kekerasan seksual memang butuh perhatian lebih. Apalagi, angka ini cenderung meningkat setiap tahunnya. Menurut data Catatan Tahunan (CATAHU) dari laman Komnas Perempuan, ada sebanyak  299.911 kasus kekerasan seksual pada 2020.

Lalu, angka ini meningkat menjadi 338.496 pada 2021. Selain itu, berdasarkan data yang diluncurkan oleh Indonesia Judicial Research Society (IJRS) tercatat sebanyak 33,3 persen pria juga mendapatkan kekerasan seksual pada 2020.

Jika menilik beberapa data di atas, ini bisa menjadi bukti bahwa kekerasan seksual memang tak pernah pandang bulu. Sementara, kurangnya payung hukum yang
komprehensif membuat para korban kekerasan seksual justru sulit mendapatkan keadilan.

Kentalnya budaya patriarki di Indonesia membuat para korban perempuan maupun pria justru menjadi disalahkan. Selain itu, adanya hambatan psikologis juga menyebabkan mereka memilih bungkam.

Banyaknya stigma negatif tentang korban kekerasan seksual pun semakin menekan mental mereka. Alih-alih mendapatkan dukungan, korban justru jadi pihak yang sering disalahkan.

2. Maraknya penyintas yang mengungkapkan kekerasan seksual di media sosial

ilustrasi media sosial (pexels.com/Tracy Le Blanc)
ilustrasi media sosial (pexels.com/Tracy Le Blanc)

Beberapa tahun belakangan, ada banyak kasus kekerasan seksual yang bertebaran di media sosial. Ya, media sosial kini menjadi tempat para korban untuk bersuara mencari keadilan.

Sebab, mengungkapkan kepahitan yang dialami menjadi jalan terakhir bagi korban untuk mencari keadilan. Ini sebenarnya menjadi sebuah cambukan betapa lemahnya hukum untuk menjerat pelaku kejahatan seksual.

Di sisi lain, tindakan ini sebenarnya juga memiliki efek negatif bagi korban. Berdasarkan sebuah penelitian yang dimuat Journal of Feminism and Psychology pada 2018, disebutkan bahwa tak jarang jika korban justru mendapat dekriminalisasi dari para pengguna media sosial.

Selain itu, penyebaran konten intim merupakan kasus yang marak terjadi. Ini artinya, media sosial belum sepenuhnya menjadi ruang yang aman bagi para korban kekerasan seksual. Hal tersebut juga diungkapkan Justitia dalam sesi wawancaranya.

"Efek negatif yang mungkin terjadi pada korban adalah penyebaran konten intim karena kasus ini paling sering terjadi. Memang, kan, media sosial itu luas sekali jadi aku selalu kasih advice (red: saran) untuk jangan diviralin. Minimal kalau proses hukum lagi berjalan karena bisa memengaruhi prosesnya," ucap Justitia Alvia Veda saat diwawancarai pada Sabtu (26/11/2022).

3. KAKG tercipta dari inisiatif Justitia ketika menawarkan konsultasi tentang kekerasan seksual lewat cuitan Twitter

Justitia Avila Veda dan rekan-rekan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)
Justitia Avila Veda dan rekan-rekan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)

Kasus kekerasan seksual yang cenderung meningkat dan sulit mendapatkan keadilan Inilah yang membuat hati Justitia terenyuh. Ia pun menawarkan konsultasi secara online untuk mereka yang pernah mengalami kekerasan seksual melalui cuitan Twitter.

Lantas siapa yang menduga jika unggahannya di media sosial itu menjadi viral. Dalam waktu 24 jam, ada sekitar 40 aduan kasus kekerasan seksual yang masuk ke via surel. Ditambah lagi, masih banyak lagi aduan yang ada di Direct Message (DM) Twitter.

Selain itu, Justitia juga mendapatkan tawaran dari lawyer yang ingin bekerja sama untuk membantu para korban. Hal inilah yang membuatnya terpikirkan untuk membentuk KAKG. Dibentuk pada Juni 2020, program ini bertujuan untuk mendampingi korban agar mendapatkan keadilan hukum.

4. KAKG akan setia mendampingi korban kekerasan seksual

Justitia Avila Veda dan rekan-rekan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)
Justitia Avila Veda dan rekan-rekan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)

KAKG menyediakan layanan konsultasi serta pendampingan untuk korban kekerasan seksual. Program ini bertujuan agar mereka mendapatkan keadilan hukum serta membantu psikologis. Korban yang memerlukan bantuan dapat menghubungi KAKG melalui hotline yang tersedia Senin sampai Jumat pukul 08.00—18.00 WIB.

Hotline ini dapat diakses melalui laman Instagram @advokatgender maupun menuliskan aduan kekerasan seksual ke surel konsultasi@advokatgender.org. Setelah itu, terdapat formulir yang harus korban isi supaya bisa menjelaskan kronologi kejadian dan menjelaskan kebutuhannya.

Semua itu harus diisi agar dapat menjalankan proses selanjutnya. Korban juga bisa memilih untuk mendapatkan pendampingan hukum, psikologis, dan medis. Biasanya, proses hukum akan dilaksanakan setelah psikologis korban membaik.

"Jika ada korban atau pendampingnya sekarang bisa kontak kami langsung via hotline dari Senin sampai Jumat. Karena Sabtu kami pakai untuk pendampingan khusus. Nah, di situ ada form yang korban bisa isi tentang kronologi kejadian, butuh dampingan yang bagaimana," tutur Justitia.

5. Tolok ukur keberhasilan KAKG berdasarkan kebutuhan korban yang sudah terpenuhi

Justitia Avila Veda dan rekan-rekan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)
Justitia Avila Veda dan rekan-rekan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)

Semangat dan kerja keras Justitia bersama KAKG telah memberikan banyak kontribusi bagi para korban. Sejak awal terbentuk hingga saat ini, terhitung sudah ada 150 kasus kekerasan seksual yang telah ditangani. Dalam membantu mendampingi masalah kekerasan seksual, KAKG menawarkan kepada korban untuk menentukan sendiri mana bantuan atau dampingan yang ingin lebih dulu dijalankan.

Jika korban menginginkan bantuan untuk membuat kondisi psikologisnya agar membaik, KAKG akan membantu mereka menjalani pemulihan psikologis yang dilakukan dengan konsultasi ke psikolog atau psikiater.

"Kalau untuk KAKG sendiri itu sebenarnya ada dua. Di form sudah tertulis, korban ini butuh apa? Apa butuh dampingan psikolog, medis, maupun dampingan hukum. Jadi, semisalnya butuh dampingan hukum terus nanti selesai dan sesuai harapan korban. Kami akan menanyakan kembali apa korban sudah puas atau butuh dampingan lainnya dan memantau kondisi korban," ucap Veda

Selain itu, dukungan orang terdekat korban tentu akan sangat berarti untuk membantu psikologis mereka membaik. Apalagi, pulih dari rasa trauma tak seperti membalikkan telapak tangan. Butuh waktu yang panjang yang harus dilalui dan hal ini juga tergantung dengan kondisi korban.

6. Berbagai rintangan yang menghadang tak membuat semangat KAKG luntur

Justitia Avila Veda dan rekan-rekan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)
Justitia Avila Veda dan rekan-rekan KAKG (youtube.com/SATU Indonesia)

Membantu dan mendampingi korban kekerasan seksual tentu bukan suatu hal yang mudah. Semua proses yang panjang ini begitu menguras waktu, energi, dan pikiran. Sulitnya korban memperoleh keadilan juga sering kali membuat KAKG merasa frustrasi.

Bahkan, diakui oleh Justitia bahwa tak jarang ia dan rekan-rekan KAKG juga melakukan konsultasi terhadap psikolog. Namun, semua tersebut tak lantas membuat hati tim KAKG goyah. Banyaknya korban yang tak mendapatkan keadilan membuat semangat KAKG kembali membara.

Lahirnya KAKG menjadi harapan baru bagi korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan. Perjuangan Justitia bersama KAKG pun masih panjang dan penuh liku. Kita juga bisa membantu korban dengan mendengarkan mereka tanpa menghakimi serta memberi dukungan. Sebab, Kita Satu Indonesia!

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yudha ‎
EditorYudha ‎
Follow Us