5 Logical Fallacy yang Sering Digunakan Politisi, Hati-Hati!

Pernah gak, sih kamu merasa ada yang aneh saat mendengar pidato politisi di TV? Rasanya kok masuk akal ya, tapi kalau dipikir lagi, sebenarnya ada yang gak beres dengan argumen mereka. Tenang, itu bukan cuma perasaanmu aja. Para politisi memang sering menggunakan logical fallacy atau kesalahan logika untuk meyakinkan masyarakat.
Di era informasi yang serba cepat seperti sekarang, kemampuan mengidentifikasi logical fallacy jadi skill penting yang harus dimiliki. Kalau kamu gak bisa mengenali trik-trik ini, bisa-bisa jadi korban manipulasi dan mengambil keputusan yang salah saat pemilu. Yuk, simak lima logical fallacy yang paling sering digunakan politisi dalam pidato mereka!
1. Ad Hominem

Ad Hominem adalah fallacy yang terjadi ketika politisi menyerang karakter atau sifat lawan politiknya, bukan fokus pada argumen atau kebijakan yang dibahas. Misalnya, alih-alih mendebat rencana ekonomi pesaingnya, seorang politisi malah mengungkit skandal pribadi atau mengatakan bahwa lawannya "terlalu muda" atau "kurang berpengalaman".
Trik ini sangat efektif karena lebih mudah membuat masyarakat tidak suka pada pribadi seseorang daripada menjelaskan kelemahan kebijakan yang rumit. Padahal, karakter pribadi seseorang belum tentu menentukan kualitas ide atau kebijakan yang mereka ajukan.
Jadi, setiap kali politisi mulai membahas kehidupan pribadi lawannya alih-alih mendebat isu yang dibicarakan, itu tandanya kamu sedang disuguhi Ad Hominem.
2. Strawman Fallacy

Strawman Fallacy terjadi ketika politisi sengaja mendistorsi atau menyederhanakan argumen lawan agar lebih mudah diserang. Ibarat membuat orang-orangan sawah (strawman) yang lemah untuk dipukul roboh, bukan melawan orang sungguhan. Contohnya, ketika seorang politisi mengusulkan reformasi pajak, lawannya malah bilang "Dia mau menaikkan semua pajak dan membuat kita semua bangkrut!"
Teknik ini sangat berbahaya karena membuatmu berpikir bahwa posisi lawan politiknya memang seburuk itu. Padahal, argumen aslinya jauh lebih kompleks dan mungkin punya manfaat yang gak disebutkan. Ketika kamu mendengar politisi menyederhanakan posisi lawannya secara ekstrem, waspadalah karena itu kemungkinan besar adalah Strawman Fallacy.
3. Appeal to Emotion

Appeal to Emotion adalah taktik di mana politisi mencoba membangkitkan emosi kuat seperti ketakutan, kebanggaan nasional, atau belas kasihan untuk mengalihkan perhatian dari fakta dan logika. Mereka menggunakan kata-kata penuh emosi, musik dramatis, dan gambar yang mengaduk-aduk perasaan daripada menyajikan data konkret atau rencana aksi yang jelas.
Contohnya, daripada menjelaskan detail kebijakan imigrasi, seorang politisi lebih memilih untuk menceritakan kisah mengharukan atau menakutkan tentang imigran. Strategi ini efektif karena keputusan yang diambil saat emosi tinggi biasanya kurang rasional.
Saat kamu merasa sangat marah, takut, atau terharu setelah mendengar pidato politisi, tanyakan pada dirimu sendiri: "Apakah ada argumen logis dan data faktual di balik semua narasi emosional ini?"
4. False Dilemma

False Dilemma atau Black and White Fallacy terjadi ketika politisi menggambarkan situasi kompleks hanya memiliki dua pilihan ekstrem, padahal sebenarnya ada banyak opsi di tengahnya. Mereka sering menggunakan kalimat seperti "Pilih saya atau negara kita akan hancur" atau "Jika kamu tidak mendukung kebijakan X, berarti kamu tidak peduli pada kesejahteraan rakyat".
Trik ini sangat ampuh karena membuat masyarakat merasa terpojok dan terpaksa memilih satu dari dua opsi yang disajikan. Padahal, hampir semua isu kebijakan publik punya banyak pendekatan dan solusi alternatif yang lebih moderat.
Jadi, kalau kamu dengar politisi bicara dengan frasa "hanya ada dua pilihan" atau "jika tidak A maka pasti B", itu pertanda mereka sedang menggunakan False Dilemma.
5. Bandwagon Fallacy

Bandwagon Fallacy terjadi ketika politisi meyakinkan masyarakat bahwa pendapat atau tindakan mereka benar karena "semua orang" melakukannya. Mereka sering mengutip hasil polling, menunjukkan kerumunan besar pendukung, atau mengklaim bahwa "mayoritas rakyat menginginkan ini" untuk memperkuat argumen mereka, meskipun faktanya belum tentu begitu.
Teknik ini memanfaatkan kecenderungan alami manusia yang ingin diterima dan menjadi bagian dari kelompok. Kalimat seperti "bergabunglah dengan jutaan warga yang sudah mendukung" atau "jangan ketinggalan dari gerakan besar ini" adalah ciri khasnya. Ingat, popularitas suatu pendapat tidak otomatis membuatnya benar atau baik. Kebijakan yang populer belum tentu yang terbaik untuk jangka panjang, dan sebaliknya.
Nah, itulah lima logical fallacy yang sering banget dipakai politisi untuk membentuk opini publik. Dengan tahu trik-trik ini, kamu bisa jadi masyarakat yang lebih kritis dan gak gampang terbawa arus.
Mulai sekarang, yuk biasakan mengkritisi setiap pidato atau pernyataan yang kamu dengar. Coba tanyakan ke diri sendiri, "Ini beneran argumen logis, atau cuma bungkus cantik buat kesalahan logika?" Dengan begitu, kamu bisa menjadi masyarakat yang lebih kritis!