“Lo pernah jatuh cinta gak? Orang selalu bilang cinta pertama anak perempuan adalah bapaknya. Itulah gue. Cinta pertama gue, membentuk gue. Cinta pertama gue adalah adalah cinta kepada bokap (ayah) yang harus gua hargai setiap saat,” katanya kepada Rian Ibrahim yang saat itu memandu peluncuran buku The Captain of My Flight Back Home di Gramedia Jalma, Jakarta Selatan (26/9/2025).
Memahami Cinta dalam Kehilangan lewat Memoar Karya Shahnaz Soehartono

- Kehadiran ayah dalam mimpi menjadi tanda pertama lahirnya buku The Captain of My Flight Back Home
- Buku ini merupakan bentuknya memeluk, menerima, dan merayakan rasa sakit
- Pembaca diajak merefleksikan pengalaman mereka sendiri tentang arti cinta, keluarga, dan keteguhan hati dalam menghadapi perpisahan
Jakarta, IDN Times - “Dalam kekeringan ini, aku terus berbisik. I love you, Pa. I love you so much. Now, i have to let you go. I’ll be okay,” lirih Shahnaz Soehartono dalam buku terbarunya, memoar berjudul The Captain of My Flight Back Home.
Shahnaz hanya punya 20 tahun hidup bersama dengan ayahnya, Soehartono Dahlan. Bagi Shahnaz, itulah 20 tahun terindah dan terbaik dalam hidup. Rangkaian kenangan itu kemudian ia tuangkan dalam sebuah memoar yang resmi terbit pada 26 September 2025 sebagai cara untuk mengenang sekaligus merayakan arti kehadiran sang ayah.
Merangkul luka dan menemukan cinta dalam kehilangan. Buku The Captain of My Flight Back Home mengajak pembaca larut dalam rasa sakit, proses berdamai, hingga menemukan kembali cahaya dan makna cinta yang sejati.
1. Kehadiran ayah dalam mimpi menjadi tanda pertama lahirnya buku The Captain of My Flight Back Home

The Captain of My Flight Back Home merupakan buku kedua Shahnaz Soehartono setelah Finding The Light in Me . Kali ini, ia memilih menuangkan seluruh perjalanan hidupnya merangkul luka kehilangan ayah menjadi sebuah memoar. Sosok ayah dalam hidup Shahnaz yang membuatnya merangkum semua memori untuk diceritakan kembali.
Awal mula buku ini pun tidak disengaja. Suatu kali, ia memimpikan ayahnya datang ke dalam mimpi dengan seragam dinasnya di Angkatan Udara.
“Aku tuh sangat percaya simbol-simbol yang didapatkan dari mimpi. Terus, kemudian aku meditasi setelah aku mimpi itu. Aku mikir apa sih sebenernya yang ingin disampaikan dari kedatangan dia di mimpi aku. Lama untuk aku diam, tapi tiba-tiba aku buka laptop, terus nulis aja gitu. Nulis banyak banget sampai satu chapter abis,” katanya.
Sejak itulah, Shahnaz terus menorehkan perjalanan hidupnya di masa-masa terakhir bersama ayah. Baginya, hidup 20 tahun bersama ayah adalah hal yang paling membahagiakan.
“Aku harus menghargai setiap saat karena aku cuma punya 20 tahun bersama dia. Hidup kan selalu gitu, ya. Hilangnya orang yang kita sayang, selalu kita bilang kok kayaknya kurang waktu sama dia. Tapi sebenarnya, itu adalah waktu yang cukup, waktu yang luar biasa. Gue percaya cinta itu energi yang tinggal. Orang sudah pergi, tapi cinta itu stay dan energi itu selamanya akan ada,” imbuh Shahnaz.
2. Buku ini merupakan bentuknya memeluk, menerima, dan merayakan rasa sakit

Buku The Captain of My Flight Back Home merupakan catatan reflektif Shahnaz tentang perjalanan merangkul luka dan menemukan makna cinta sejati. Kisah yang lahir dari pengalamannya dalam menghadapi kehilangan. Buat Shahnaz, buku setebal 201 halaman ini merupakan bentuknya memeluk, menerima, dan merayakan rasa sakit.
“Aku merasa bisa merasakan sakit adalah berkat. Itu adalah bukti bahwa hati kita punya empati. Hati kita masih dikuasai oleh kuasa Tuhan. Aku bukan tipe yang menghindari rasa sakit. Aku akan pause, aku diam, tapi aku gak berhenti. Aku percaya bisa mengubah rasa sakit itu jadi kekuatan,” ungkapnya.
Selama ini, ibu satu anak ini merasa duka adalah hal yang gak perlu dibicarakan. Padahal, dari apa yang ia pelajari, seharusnya kita semua bisa merangkul duka.
“Kalau kita gak bisa memeluk duka, gimana kita bisa merayakan kesenangan dengan maksimal? Aku belajar collective grief itu harus sering diomongin supaya kita bisa memeluk duka itu sama-sama,” sambungnya.
3. Pembaca diajak merefleksikan pengalaman mereka sendiri tentang arti cinta, keluarga, dan keteguhan hati dalam menghadapi perpisahan

Bukan hanya sarana untuk memeluk dan merayakan rasa sakit, buku terbarunya mengajak pembaca untuk tahu apa itu arti cinta dan keteguhan hati dalam menghadapi perpisahan. Selain kehilangan ayah, Shahnaz merasakan bentuk-bentuk kehilangan lainnya. Namun, ia percaya pada satu hal.
“Aku merasa banyak yang meninggalkanku, banyak yang datang. Banyak value yang aku gak bisa kompromikan. I hurt people too. But, I’m okay at the end of the day karena aku tahu aku gak pernah benar-benar sendiri. Cinta-Nya selalu ada, selalu real. Ketika aku lagi bingung, aku sangat disayangi oleh-Nya dan cinta-Nya gak pernah ninggalin aku. Semua orang baik yang kasih aku cinta adalah blessings. Semua yang pergi gak apa-apa nanti akan datang lagi,” tuturnya.
Dalam peluncuran, Shahnaz menyampaikan, “Buku ini adalah cara saya merangkul luka dan menemukan kembali kekuatan dari cinta yang ditanamkan orangtua saya sejak kecil. Saya berharap, setiap orang yang membacanya bisa merasa ditemani dalam proses mereka sendiri, baik ketika merayakan kebahagiaan maupun menghadapi kehilangan.”
Lewat bukunya, Shahnaz mengajak kita semua untuk sama-sama merangkul luka. Buku The Captain of My Flight Back Home bisa menjadi pengingat bagi siapa pun yang pernah merasakan duka, bahwa kenangan bisa menjadi pelita.