Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Plepah, wadah makanan dari pelepah pinang (instagram.com/plepah_id)
Plepah, wadah makanan dari pelepah pinang (instagram.com/plepah_id)

Duduk manis di depan meja kerja sembari memesan makanan online memang sungguh mengasyikkan. Scroll atas, scroll bawah, swipe kiri, swipe kanan, memilih dan memilah makanan hanya dengan sentuhan jari yang luwes. Sebelumnya, kita mungkin harus pergi ke warteg dulu untuk mengisi perut, kini hanya duduk manis, makanan siap disambut. Sebelumnya, kita mungkin harus keliling kantin dari ujung ke ujung dulu untuk memilih menu makanan, kini hanya dengan scroll layar ponsel, kita sudah bisa menentukan pilihan.

Era digitalisasi memang telah menghadirkan banyak kemudahan dalam hidup. Era ini juga telah banyak mengubah cara orang menjalani hidup, termasuk dalam hal memesan makanan — scroll, klik, pesanan diantar, dan selesai! Namun, pernah gak sih kamu duduk sejenak dan merenungkan apa yang terjadi akibat perubahan perilaku ini? Salah satu dampak yang mungkin jarang terjamah adalah penumpukan sampah plastik yang semakin hari semakin tidak etis.

Bayangkan saja, dalam sekali pesan makanan, ada berapa jumlah sampah plastik yang kita buang? Misalnya, kita memesan satu porsi soto ayam. Dalam satu paket sekali antar, kita bisa mengumpulkan sampah plastik dari pembungkus nasi, pembungkus kuah, pembungkus sendok, sendok plastik, pembungkus jeruk nipis, pembungkus sambal, hingga pembungkus minuman segar. Jangan lupakan, styrofoam yang membungkus semua paket-paket kecil itu. Belum lagi, plastik besar yang mengemas paket makanan tersebut — jumlah yang memprihatinkan!

Coba kita bayangkan lagi, bagaimana jika kita memesan lebih dari satu porsi makanan? Bagaimana jika kita memesan lebih dari satu kali makanan online dalam satu hari? Bagaimana jika angka ini dikalikan dengan banyaknya pengguna layanan pesan antar makanan? Ada berapa jumlah plastik yang akan kita sisihkan setelah kenyang?

Angka-angka terkait sampah plastik tercatat naik sepanjang tahun. Menurut laporan dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2019, sampah plastik menyumbang 15,88 persen dari total sampah nasional. Pada tahun 2020, limbah plastik menyumbang 17,39 persen dari total sampah. Pada tahun 2021, persentase sampah plastik naik menjadi 17,75 persen. Pada tahun 2022, sampah plastik menyumbang sebanyak 18,34 persen, naik sekitar 0,6 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2023, sampah plastik kembali naik dengan jumlah 19,25 persen dari angka total sampah nasional. Sementara itu, pada tahun 2024, jumlah sampah plastik bertambah lagi menjadi 19,65 persen dari komposisi sampah nasional yang dilaporkan.

Di TPA (tempat pembuangan akhir), sampah-sampah plastik ini nyatanya tak banyak terkelola — mereka dibakar, menjadi bahan kimia beracun, larut di dalam tanah, masuk ke dalam aliran air, hingga menguap ke udara bebas dan terkonsentrasi pada hewan dan tumbuhan. Mirisnya, tak hanya dijumpai di daratan, limbah plastik ini pun melayang-layang di lautan — mencemari perairan dan mengontaminasi perikanan dengan mikroplastiknya. Pada akhirnya, manusialah yang kembali menyerap zat-zat berbahaya tersebut — kita mengonsumsi ikan, sayur, buah, dan aneka daging dari lingkungan yang telah tercemar plastik.

Jika dibiarkan begitu saja, para ahli memprediksi jumlah-jumlah ini bisa semakin membubung. Pada tahun 2018 saja, Muhammad Reza Cordova, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (yang sekarang berubah menjadi BRIN), memprediksi pada tahun 2050 sampah plastik di laut bisa melebihi jumlah ikan-ikan itu sendiri, jumlah mikroplastik pun bisa melebihi jumlah plankton laut. Di mana kondisi ini bisa mengancam kehidupan laut, pun manusia secara keseluruhan.

Fakta-fakta getir inilah yang disadari oleh Rengkuh Banyu Mahandaru. Ia memang bukan pegiat lingkungan, tapi aktivitasnya yang kerap bersentuhan dengan alam membuatnya tersadar betapa besarnya ancaman sampah-sampah plastik terhadap kehidupan. Berlatar belakang sebagai seorang product designer, ia kemudian tergugah untuk menciptakan suatu produk ramah lingkungan yang bisa berimplikasi besar terhadap lingkungan, sosial, masyarakat, dan ekonomi. Pada tahun 2018, ia bersama dua rekannya berinovasi menciptakan produk kemasan makanan ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah pelepah pinang yang diberi nama “Plepah”.

1. Plepah, solusi wadah makanan ramah lingkungan dan berkelanjutan

Plepah, wadah makanan dari pelepah pinang (instagram.com/plepah_id)

Satu plastik membutuhkan waktu ribuan tahun untuk terurai. Bagaimana dengan satu kali pesan makanan online? Butuh waktu berapa tahun untuk mengurai itu semua?

Tahun 2018 menjadi kilas balik Rengkuh bersama rekan-rekannya ketika awal mula mendirikan Plepah. Pada saat itu, Rengkuh banyak menyaksikan kerusakan-kerusakan lingkungan yang mengiris hati — kebakaran hutan, penggundulan hutan, hingga timbunan sampah plastik yang menggila di laut dan daratan. Ia ingat betul, ketika ia menyaksikan laut yang menjadi rumah ribuan biota-biota cantik dan menawan itu rusak akibat dipenuhi sampah plastik dan styrofoam.

“Pada tahun 2018 ke Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Itu momen pertama mendampingi masyarakat secara langsung dan aku pun merasakan interaksi langsung dengan masyarakat. Karena di sana salah satu tempat diving paling bagus di Indonesia setelah Raja Ampat, tapi 2018 itu kondisinya kurang baik. Di dalam lautnya itu sampah semua (plastik dan styrofoam). Dan memang di daerah situ setahu saya memang belum ada pola manajerial yang baik untuk pengelolahan sampah. Akhirnya ada satu pulau yang tereklamasi oleh sampah”, terang Rengkuh dalam sebuah wawancara bersama Helmi Yahya di akun YouTube Helmi Yahya Bicara yang diakses pada 31 Oktober 2025.

Dalam sebuah obrolan bersama Josua P. simanjuntak dalam akun Youtube Obsesi Talks, Rengkuh dan tim Plepah juga mengungkapkan bahwa ketika ia membuka data sampah dari platform penyedia layanan pesan antar makanan, jumlah sampah kemasan dari pesan makanan online bisa mencapai 18 juta pcs per hari pada tahun 2018, disaat tenan masih 125 ribu. Sedangkan pada tahun 2021, jumlah tenan naik menjadi sekitar 400 ribu tenan. Dari data-data tersebut, ia mulai membayangkan, akan ada berapa juta sampah plastik lagi yang terkumpul dari aktivitas tersebut?

Sebagai city boy, yang juga memiliki kebiasaan memesan makanan secara online, mulanya ia tidak peduli-peduli amat dengan isu lingkungan, namun kenyataan tersebut cukup menamparnya. Apalagi ia yang merupakan seorang product designer, ia merasa seharusnya bisa menciptakan suatu produk yang lebih berpihak pada lingkungan dan memberikan dampak sosial yang lebih sustainable (berkelanjutan). Privilese dan kesadaran yang ia miliki, kemudian mendorongnya untuk memulai langkah.

Dari lapangan, ia bawa ke meja kerja — ia mempelajari, mengamati, dan menganalisis apa-apa yang luput dari jangkauan. Riset demi riset ia lakukan, mulai dari studi literatur hingga melakukan beberapa kunjungan ke luar negeri.

Di India, ia menemukan fakta bahwa masyarakat di sana ternyata telah terbiasa menggunakan material-material alami dari dedaunan sebagai wadah makanan. Masyarakat secara tradisional mengolah limbah tersebut dengan cara dikeringkan dan di-press dengan mesin sederhana untuk dibentuk menjadi wadah makanan ramah lingkungan dan bernilai jual. Inovasi inipun menginspirasi Rengkuh untuk menerapkannya di dalam negeri dengan memanfaatkan limbah pelepah daun pinang. Seperti yang kita tahu, Indonesia adalah salah satu penghasil pinang populer dunia.

Jika menarik benang merah ke belakang, ia juga baru menyadari bahwa masyarakat kita pun sebenarnya telah lama memiliki budaya menggunakan material-material alami untuk membungkus makanan. Di Sunda, kita bisa menjumpai dodol yang dibungkus dengan daun jagung. Di Jawa, kita biasa menjumpai lontong, pepes, nagasari, lemper yang dibungkus dengan daun pisang, ada pula jajanan pudak yang dibungkus dengan pelepah daun pinang, juga ada ketupat yang dibungkus daun kelapa muda (janur). Di Sumatera, kita bisa menjumpai timphan, lepat, kelicuk yang juga dibungkus dengan daun pisang. Di Kalimantan, kita bisa menjumpai pengkang dan bebongko yang dibungkus daun pisang. Di Sulawesi, ada duduli, yaitu dodol khas Sulawesi dan Gorontalo yang dibungkus menggunakan daun lontar (woka). Di Papua, ada papeda bungkus yang biasanya dibungkus dengan daun fotovea (waibu), dan masih banyak lagi.

Budaya dan alam kita sangat kaya. Namun, pergeseran zaman ternyata juga menggeser budaya nenek moyang yang telah ada. Bagi Rengkuh, tidak ada lagi alasan untuk mengesampingkan material-material alami sebagai solusi kehidupan yang berkelanjutan. Produk-produk ini mudah didapatkan, mudah terurai, dan tidak menyebabkan masalah sekompleks plastik di lingkungan.

2. Pinang, komoditi unggulan yang kurang termanfaatkan

Pengumpulan limbah pelepah pinang oleh petanii (instagram.com/plepah_id)

Setelah melakukan banyak riset, dari Jakarta, Rengkuh bersama rekan-rekan tim Plepah, terbang ke Provinsi Jambi. Ia mendatangi beberapa perkebunan pinang di wilayah tersebut. Konon, disini lah pusat produksi pinang terbesar di Indonesia yang menghasilkan pinang kualitas unggulan ekspor.

Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nasional, ada sekitar 19.972 hektar lahan pinang di Jambi pada tahun 2015. Di mana Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur adalah daerah-daerah dengan produktivitas pinang paling bagus.

Ia pergi ke kedua kabupaten tersebut —menelusuri setiap desa, masuk dari kebun satu ke kebun lain, dan dari satu titik ke titik lainnya. Pinang-pinang tumbuh tinggi menjulang rindang, berjejer rapi hampir di setiap sudut kebun rakyat. Setiap hari, ada puluhan pelepah pinang yang berjatuhan menyebabkan sampah lahan dan pandangan. Pelepah-pelepah itu hanya ditumpuk, dibuang, dan dibakar. Saat musim hujan, pelepah hanya dibuang dan menjadi sarang nyamuk.

Di luas lahan berhektar-hektar tersebut, pinang hanya dipanen bijinya, kemudian diekspor ke luar negeri. Masyarakat sekitar terkadang hanya mengambil sisa-sisa biji ekspor untuk diolah menjadi menu rumahan atau bisnis kecil-kecilan. Terkadang dibuat jamu, minuman serbuk herbal, atau permen yang kemudian dijual dalam skala kecil. Sementara pelepah, dibuang menjadi sampah.

Para petani pinang terbiasa membersihkan pelepah-pelepah pinang yang jatuh dan membakarnya. Namun, praktik ini tak jarang menimbulkan masalah, yaitu kebakaran hutan. Lahan pinang didominasi oleh tanah gambut yang mudah sekali terbakar.

Rengkuh sangat menyayangkan praktik tersebut. Ia akhirnya semakin yakin untuk memanfaatkan limbah-limbah pelepah pinang agar bisa dikelola menjadi sesuatu yang memiliki nilai.

Disamping permasalahan limbah, Rengkuh ternyata juga mengamati permasalahan lain di masyarakat, seperti masalah ekonomi dan sosial. Hal ini kemudian membuatnya tergerak untuk tak hanya memberdayakan pelepah, tetapi juga warganya. Pada tahun 2018, ia pun mulai mendirikan Plepah, sebagai wadah berdaya bersama.

3. Pemberdayaan sampah dan warga melalui pelepah

potret komunitas Plepah (instagram.com/plepah_id)

Setelah menemukan lokasi target pemasok pelepah, Rengkuh masih harus berkeliling lagi untuk mencari supplier pelepah. Selain di Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur, ia memperluas wilayah pasokannya ke Desa Mendis yang berada di Kecamatan Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyu Asin, Sumatera Selatan.

Di Mendis, Rengkuh bertemu dengan lembaga non profit atau NGO (non-government organization) yang juga bergerak dalam bidang konservasi hutan. Sejalan dengan misi Plepah, NGO ini juga sedang giat melakukan edukasi ke warga lokal untuk menjaga produktivitas dengan tetap melestarikan lingkungan dan area hutan. Karena tujuan yang sama ini, tim Plepah pun berkolaborasi dengan NGO tersebut.

“Pola pertama yang kita coba, “oke kita harus nempel nih dengan lembaga besar yang memang bermainnya di area-area konservasi, hutan, masyarakat”. Akhirnya kita kerjasama bareng NGO”, terang Rengkuh dalam obrolan bersama Obsesi Talks.

Kabar baiknya, NGO yang telah lama terlibat dalam edukasi masyarakat itu sudah memiliki komunitas masyarakat yang solid yang dibina melalui program koperasi, yaitu Koperasi Mendis Maju Bersama. Melalui koperasi ini, Rengkuh juga mulai memiliki akses ke petani dan warga lokal setempat untuk diajak kolaborasi mengolah pelepah.

Perjalanan mencari supplier pelepah pun masih berlanjut. Meski limbah ini terbuang dan terbengkalai, nyatanya tak banyak petani pinang yang mau untuk mengumpulkannya, terutama di wilayah Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur — wilayah dengan prospek pinang paling produktif.

Usut punya usut, para petani pinang di sana ternyata pernah mengalami penipuan oleh pihak yang tak bertanggung jawab. Sebelumnya, mereka juga pernah diminta untuk mengumpulkan pelepah oleh beberapa pihak. Saat pelepah terkumpul, limbah-limbah itu justru dibiarkan begitu saja, tidak diambil. Alhasil, para petani pun tidak tertarik dan kehilangan kepercayaan untuk melakukan hal yang sama lagi.

Namun, hal itu tak menjadikannya halangan, justru menjadi tantangan yang membakar semangat Rengkuh bersama tim Plepah lainnya. Ibarat kata, semakin besar tantangan, semakin gerilya pula usaha yang terus digerakkan. Semangat mereka pun tak padam, justru baru dinyalakan.

Rengkuh bersama tim Plepah lainnya terus menyisir perkebunan, mendatangi satu per satu petani, meyakinkan, dan membuka wawasan mereka dengan sabar. Beberapa penawaran harga jual yang sedikit lebih tinggi dari harga biji pinang pun ia tawarkan agar petani mau mempertimbangkan ulang. Tak lama setelah itu, gayung pun bersambut. Perlahan-lahan, satu demi satu petani mau diajak kerja sama.

Setelah mendapatkan akses lebih dekat dengan petani pinang, Rengkuh mulai menyosialisasikan karakteristik pelepah yang diperlukan. Pelepah ini harus kering, berukuran lebar, dan tidak berjamur.

Setiap harinya, petani-petani mengumpulkan pelepah, mengeringkannya, dan menyetorkannya pada koperasi Mendis Maju Bersama. Selanjutnya, pelepah ini akan diperiksa kualitasnya dan ditimbang sebagai hitungan upah yang akan didapatkan.

Pelepah-pelepah yang terkumpul kemudian diolah dengan mesin press yang telah dimiliki koperasi Mendis Maju Bersama. By the way, Rengkuh juga mendesain sendiri mesin press yang digunakan untuk mengolah pelepah ini. Ia sengaja tak memesan mesin itu karena ingin membuat desain mesin yang adaptif dan memiliki sifat berkelanjutan untuk digunakan di lingkungan perkebunan. Selain itu, pertimbangan cost dan aksesibilitas ke daerah perkebunan menjadi pertimbangan tersendiri. Hal ini tentu menjadi tantangan lagi bagi tim Plepah saat itu.

Masih dari tayangan Youtube Obsesi Talks, Rengkuh menjelaskan, “Kan kita berada di area konservasi, hutan sawit, karet, masuk ke sana juga harus pakai mobil four by four. Tapi kita masih optimis nih bisa diimplementasikan di daerah. Akhirnya kita mikir “gimana caranya kita bikin satu mesin yang kompleks, adaptif dengan lokal setempat situ, dari listriknya, operasional ibu-ibunya nanti, atau ruang-ruang yang tersedia di sana”. Akhirnya kita desain mesinnya sendiri”.

Di Jakarta, alumnus kampus Institut Teknologi Bandung ini mendesain dan membuat mesin pengolahan pelepah dengan desain yang terpisah-pisah (by part). Setelah jadi, mesin tersebut didistribusikan ke koperasi Mendis Maju Bersama yang berada di Jambi, dan dirangkai di lokasi operasional. Rengkuh dan tim Plepah mendesain mesin sedetail mungkin yang mengakomodasi semua kebutuhan operasional yang diperlukan —bahkan untuk komponen mesin pun dipilih dari kompartemen yang mudah ditemukan di wilayah tersebut. Tak lupa, ia juga selalu mengedepankan konsep-konsep keberlanjutan dalam mendesain mesin produksinya.

“Dan satu lagi, kita berfikir bahwa “oh ini membangun bisnis yang berkelanjutan. Bisnis berkelanjutan harus dipikirkan juga dengan konteks troubleshoot ini gimana”. Kita mengajarkan masyarakat di sana untuk “nih kalau ada yang rusak, gak usah dikirim ke Jakarta, ga usah dikirim ke Bandung, ke tempat workshop kita, tapi benerin sendiri”, gitu. Itu transformasi teknologi baru buat mereka untuk men-troubleshooting teknologi sederhana ini”, tambahnya.

Tak hanya mengembangkan inovasi pengolahan limbah pelepah pinang, Plepah juga mengembangkan inovasi dalam pembuatan mesin pengolah pelepah secara mandiri. Ia juga melakukan edukasi-edukasi untuk mentransformasi teknologi pada masyarakat sehingga bisa memberikan multiple effect yang lebih luas.

Sebelum masuk ke tahap produksi, pelepah yang sudah dikumpulkan akan dibersihkan terlebih dahulu dengan air dan dikeringkan di bawah sinar matahari atau pemanas elektrik. Selanjutnya, dilakukan pemotongan sesuai dengan ukuran yang dikehendaki sebelum masuk ke proses pencetakan menjadi wadah makanan.

Setelah masuk proses pencetakan, pelepah akan dibasahi terlebih dahulu dengan sedikit air agar permukaannya tidak terlalu kering dan gampang pecah saat di-press. Tak butuh waktu lama, wadah makanan dari pelepah pinang pun sudah jadi dalam hitungan detik.

Proses pembuatan wadah makanan dari pelepah ini sama sekali tak melibatkan bahan kimia, seperti pelitur untuk membuatnya tampak mengilat. Semua materialnya alami dari alam, pun kilap yang muncul dari wadah tersebut.

Sebelum dipasarkan, wadah-wadah ini akan disterilisasikan terlebih dahulu. Tujuannya agar tidak ada kontaminasi kuman atau bakteri pada produk tersebut. Setelah siap, wadah akan dikemas dan dikirim ke pelanggan.

Tak hanya untung-rugi belaka, Rengkuh ingin usaha rintisan ini bisa memberikan nilai-nilai yang memberdayakan manusia dan lingkungan secara lebih nyata. Ia membagi kegiatannya dalam beberapa segmen. Pertama, di wilayah Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Barat dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai daerah pemasok Plepah dengan memberdayakan para petani pinang. Kedua, Di Mendis, Provinsi Sumatera Selatan, sebagai tempat produksi dan operasional Plepah dengan memberdayakan petani pinang dan warga sekitar. Di Jakarta dan Bandung, sebagai tempat melakukan riset-riset untuk inovasi pengembangan Plepah.

“Mimpi kita ya, bukan memperbesar titik produksi, tetapi memperbanyak titik produksi, agar keterlibatan inisiatif ini semakin banyak”, ungkap Rengkuh menjelaskan optimismenya dalam membangun komunitas bisnis berkelanjutan ini.

4. Plepah, sulap keresahan menjadi cuan berkelanjutan

wadah makanan ramah lingkungan dari pelepah pinang (instagram.com/plepah_id)

Membangun dan memberdayakan, dua istilah yang mungkin jarang disinambungkan. Namun bagi Rengkuh, ini adalah dua hal yang harus dijalankan. Kita bisa menikmati apapun hari ini, namun bagaimana dengan nanti, jika kerusakan dan ketidakberdayaan mulai merajai?

Tak terbayangkan! Satu kata yang mungkin mewakili perasaan Rengkuh dan rekan-rekannya melihat Plepah, start up yang ia dirikan pada tahun 2018, berkembang sejauh ini. Saat ini, Plepah sudah memproduksi puluhan ribu wadah makanan dari pelepah pinang setiap harinya dengan kontribusi murni dari petani-petani pinang dan warga lokal setempat secara langsung. Beberapa tahun ke belakang, Plepah juga telah merambah pasar internasional, seperti Jepang.

Di Indonesia, produk wadah makanan dari pelepah pinang ini terbilang baru. Pada awal pengenalannya ke pasar nasional, inovasi ini seolah hanya banjir pujian dan apresiasi, tanpa adanya dukungan yang lebih bermakna untuk mendorongnya terus melaju. Rengkuh mengaku dukungan-dukungan untuk produk atau inovasi semacam Plepah masih minim di Indonesia, terutama terkait regulasi dan sertifikasi.

Pada tahun 2019 hingga 2020 awal, ketika produksi Plepah sedang mulai bergairah, produk-produk tersebut nyatanya tak terserap dengan baik di pasar. Terlebih ketika Pandemik COVID-19 melanda, momen ini seolah menjadi sumbangsih start up ini turut kembang-kempis di tengah napas perekonomian.

Harga masih menjadi alasan utama mengapa produk Plepah kurang terserap di pasaran. Di banderol sekitar Rp 2.000 hingga Rp 4.000 per pcs, Plepah dinilai kurang bersaing dengan produk-produk wadah makanan lain yang umum dijumpai di masyarakat, seperti plastik atau styrofoam. Terlebih, regulasi terkait penggunaan dan pembatasan sampah plastik yang cenderung abu-abu, juga tak cukup mendorong penggunaan produk ramah lingkungan tersebut.

Tak hanya itu, masalah regulasi dan sertifikasi produk juga menjadi kendala yang tak bisa terelakkan. Tim Plepah mengaku, saat bisnisnya akan ekspansi ke kancah internasional, mereka tak memiliki standar yang bisa menguatkannya di pasar, seperti sertifikasi food grades, yang melekat pada produk-produk kemasan pangan. Alhasil, ini membuatnya tak percaya diri untuk melenggang di pasar global, meski membawa produk dengan nilai yang menjual.

Fyi, secara riset, produk Plepah sudah diteliti dan dinyatakan aman oleh lembaga riset nasional, a.k.a BRIN. Menurut hasil penelitian tersebut, produk wadah makanan dari pelepah pinang ini aman digunakan sebagai kemasan makanan dan bisa dipakai berulang kali. Namun, ketiadaan sertifikasi-sertifikasi yang diperlukan dalam produk kemasan pangan, membuatnya tak cukup bergairah sebagai motor penggerak di market internasional.

“Kita ini material baru. Kita bingung nih mau kemana, mau ke BPOM kah, mau ke SNI kah. Supaya ini tuh ada standarnya gitu lho. Jadi pasar pun tidak bingung, kita pun gak bingung, ketika ditanya ini sudah ada food grades-nya belum?“, terang tim Plepah terkait kendalanya dalam memasarkan Plepah.

Tantangan demi tantangan seolah terus mewarnai perjalanan Plepah. Keresahan yang dulunya hanya berasal dari kerusakan lingkungan, kini berkembang menjadi hal-hal yang lebih kompleks dan mendasar. Namun, ini tak menyurutkan pergerakannya. Berbagai cara terus ia coba, termasuk membangun kolaborasi-kolaborasi dengan berbagai pihak.

Untuk menarik pasar, tim Plepah terus melebarkan sayap menjelajahi ruang-ruang kosong yang tak terjamah. Ia mendatangi restoran, hotel, bergabung dalam event-event festival makanan, hingga menggandeng pihak-pihak yang secara tak langsung berkontribusi menyumbang eksistensi sampah plastik di lingkungan, seperti layanan pesan antar makanan online.

“Bahkan, platform Gojek pun yang selalu kita bawa datanya, kita dekati”, terang Rengkuh menjelaskan pasar-pasar yang dirambahnya untuk mempromosikan produk Plepah.

Kolaborasi-kolaborasi ini kemudian menyuguhkan eksistensi baru bagi Plepah. Dari mulanya yang hanya produksi skala kecil, hanya sekitar ratusan pieces per hari, kini meningkat secara signifikan menjadi ratusan ribu pieces per hari. Mulanya yang hanya dimulai dari suatu komunitas kecil, kini berkembang menjadi entitas usaha baru yang menaungi sumber daya lebih besar. Mulanya yang hanya terkonsentrasi pada limbah pelepah pinang, Plepah kini juga mengeksplorasi beragam limbah agrikultur lain. Kabar baiknya, Plepah kini juga telah berhasil menembus pasar-pasar internasional.

Bahkan pada beberapa tahun terakhir, Plepah juga mulai menjajaki kolaborasi dengan industri lain, seperti industri kosmetik dan fashion, yang melirik potensi limbah pelepah pinang ini sebagai kemasan produk-produk tersebut.

“Produk ini tidak hanya dibutuhkan oleh pelaku industri makanan. Kita melihat dan banyak komunikasi-komunikasi yang kita lakukan, ada banyak industri lain yang juga membutuhkan kemasan yang ramah lingkungan juga. Kita sudah melakukan kerja sama pada saat itu dengan Paragon, salah satu industri besar yang membawahi produk-produk kecantikan”, paparnya menjelaskan kolaborasi-kolaborasi yang sedang digarap oleh tim Plepah.

“Satukan gerak, terus berdampak”, rasanya istilah ini sangat mewakili perjuangan Plepah. Bermula dari pergerakan tiga anak muda yang resah akan isu-isu lingkungan dan sosial, kemudian menjadi komunitas yang begitu besar dan solid yang berdaya dan memberdayakan.

Atas semangat pantang menyerah, inovasi, dan kiprahnya mengembangkan komunitas dan lingkungan ini, Rengkuh Banyu Mahandaru mendapatkan penghargaan bergengsi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2023 dari Astra Internasional, Tbk. pada tahun 2023 di bidang lingkungan kategori kelompok. Suatu penghargaan besar yang terus menjadi motor pergerakan Plepah ke depannya. Rengkuh mungkin bukan satu-satunya pemuda yang menyikapi permasalahan-permasalahan yang ada di sekitar dengan inovasi. Namun, tekadnya yang solid, cara berpikirnya yang jauh ke depan, kompleks, dan sustainable, serta semangatnya yang terus menyala menjadi inspirasi tersendiri bagi kita semua.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.

Editorial Team