Duduk manis di depan meja kerja sembari memesan makanan online memang sungguh mengasyikkan. Scroll atas, scroll bawah, swipe kiri, swipe kanan, memilih dan memilah makanan hanya dengan sentuhan jari yang luwes. Sebelumnya, kita mungkin harus pergi ke warteg dulu untuk mengisi perut, kini hanya duduk manis, makanan siap disambut. Sebelumnya, kita mungkin harus keliling kantin dari ujung ke ujung dulu untuk memilih menu makanan, kini hanya dengan scroll layar ponsel, kita sudah bisa menentukan pilihan.
Era digitalisasi memang telah menghadirkan banyak kemudahan dalam hidup. Era ini juga telah banyak mengubah cara orang menjalani hidup, termasuk dalam hal memesan makanan — scroll, klik, pesanan diantar, dan selesai! Namun, pernah gak sih kamu duduk sejenak dan merenungkan apa yang terjadi akibat perubahan perilaku ini? Salah satu dampak yang mungkin jarang terjamah adalah penumpukan sampah plastik yang semakin hari semakin tidak etis.
Bayangkan saja, dalam sekali pesan makanan, ada berapa jumlah sampah plastik yang kita buang? Misalnya, kita memesan satu porsi soto ayam. Dalam satu paket sekali antar, kita bisa mengumpulkan sampah plastik dari pembungkus nasi, pembungkus kuah, pembungkus sendok, sendok plastik, pembungkus jeruk nipis, pembungkus sambal, hingga pembungkus minuman segar. Jangan lupakan, styrofoam yang membungkus semua paket-paket kecil itu. Belum lagi, plastik besar yang mengemas paket makanan tersebut — jumlah yang memprihatinkan!
Coba kita bayangkan lagi, bagaimana jika kita memesan lebih dari satu porsi makanan? Bagaimana jika kita memesan lebih dari satu kali makanan online dalam satu hari? Bagaimana jika angka ini dikalikan dengan banyaknya pengguna layanan pesan antar makanan? Ada berapa jumlah plastik yang akan kita sisihkan setelah kenyang?
Angka-angka terkait sampah plastik tercatat naik sepanjang tahun. Menurut laporan dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN), pada tahun 2019, sampah plastik menyumbang 15,88 persen dari total sampah nasional. Pada tahun 2020, limbah plastik menyumbang 17,39 persen dari total sampah. Pada tahun 2021, persentase sampah plastik naik menjadi 17,75 persen. Pada tahun 2022, sampah plastik menyumbang sebanyak 18,34 persen, naik sekitar 0,6 persen dari tahun sebelumnya. Pada tahun 2023, sampah plastik kembali naik dengan jumlah 19,25 persen dari angka total sampah nasional. Sementara itu, pada tahun 2024, jumlah sampah plastik bertambah lagi menjadi 19,65 persen dari komposisi sampah nasional yang dilaporkan.
Di TPA (tempat pembuangan akhir), sampah-sampah plastik ini nyatanya tak banyak terkelola — mereka dibakar, menjadi bahan kimia beracun, larut di dalam tanah, masuk ke dalam aliran air, hingga menguap ke udara bebas dan terkonsentrasi pada hewan dan tumbuhan. Mirisnya, tak hanya dijumpai di daratan, limbah plastik ini pun melayang-layang di lautan — mencemari perairan dan mengontaminasi perikanan dengan mikroplastiknya. Pada akhirnya, manusialah yang kembali menyerap zat-zat berbahaya tersebut — kita mengonsumsi ikan, sayur, buah, dan aneka daging dari lingkungan yang telah tercemar plastik.
Jika dibiarkan begitu saja, para ahli memprediksi jumlah-jumlah ini bisa semakin membubung. Pada tahun 2018 saja, Muhammad Reza Cordova, Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (yang sekarang berubah menjadi BRIN), memprediksi pada tahun 2050 sampah plastik di laut bisa melebihi jumlah ikan-ikan itu sendiri, jumlah mikroplastik pun bisa melebihi jumlah plankton laut. Di mana kondisi ini bisa mengancam kehidupan laut, pun manusia secara keseluruhan.
Fakta-fakta getir inilah yang disadari oleh Rengkuh Banyu Mahandaru. Ia memang bukan pegiat lingkungan, tapi aktivitasnya yang kerap bersentuhan dengan alam membuatnya tersadar betapa besarnya ancaman sampah-sampah plastik terhadap kehidupan. Berlatar belakang sebagai seorang product designer, ia kemudian tergugah untuk menciptakan suatu produk ramah lingkungan yang bisa berimplikasi besar terhadap lingkungan, sosial, masyarakat, dan ekonomi. Pada tahun 2018, ia bersama dua rekannya berinovasi menciptakan produk kemasan makanan ramah lingkungan dengan memanfaatkan limbah pelepah pinang yang diberi nama “Plepah”.
