Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

5 Tips Hidup Damai Ala Foucault di Tengah Tekanan Hidup Modern

Ilustrasi hidup bebas di alam
Ilustrasi hidup bebas di alam (freepik.com/ijeab)
Intinya sih...
  • Standar "Normal" adalah hasil kesepakatan sosial, bukan fakta alami
  • Kekuasaan modern terasa melalui kebiasaan sehari-hari dan ekspektasi sosial
  • Jangan telan mentah-mentah label sosial, rawat diri untuk diri sendiri bukan untuk "fit" dengan standar sosial
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Michel Foucault adalah salah satu filsuf yang paling berpengaruh di abad ke-20. Foucault terkenal karena pemikirannya tentang bagaimana hidup manusia dibentuk oleh sistem sosial yang di dalamnya penuh dengan kuasa dan tekanan. Ia bukan tipe pemikir yang memberi resep hidup bahagia ala motivator. Sebaliknya, Foucault melihat bahwa kita hidup, berpikir, bekerja, dan bagaimana kita menilai diri sendiri itu dibentuk oleh norma sosial dan institusi yang sudah ada sebelumnya. Menariknya, pemikiran Michel Foucault sangat releven dengan kehidupan modern hari ini yang penuh dengan tekanan, lho.

Jadi, ketika kamu merasa capek, tertekan, dan menyalahkan diri sendiri tanpa tahu sumbernya. Menurut Foucault, rasa lelah itu sering kali bukan hanya masalah personal melainkan efek dari standar sosial dan tuntutan hidup yang terus menerus ada di sekitar kita. Inilah mengapa memahami tips hidup ala Foucault bisa membantu kita lebih sadar dan berhenti self-blaming atas tekanan yang sebenarnya bukan sepenuhnya salah kita. Simak yuk, lima tips hidup ala Michel Foucault agar kamu gak gampang terjebak standar sosial.

1. Jangan langsung percaya standar “Normal” dalam hidup sehari-hari

Ilustrasi beberapa perempuan tertawa
Ilustrasi beberapa perempuan tertawa (pixabay.com/stocksnap)

Menurut Foucault, sesuatu yang disebut “normal” sebenarnya bukan fakta alami, tapi hasil kesepakatan sosial yang pelan-pelan dibentuk oleh sistem sosial. Apa yang dianggap wajar hari ini bisa jadi standar buatan yang diwariskan terus lewat pendidikan, budaya kerja, dan media. Sehingga tanpa sadar kamu tumbuh dengan patokan-patokan itu dan mulai menganggapnya sebagai kebenaran mutlak.

Tentunya, contoh itu cukup dekat dengan keseharian kamu, lho. Seperti capek sedikit langsung dikaitkan dengan malas, beda pendapat dibilang aneh, atau saat kamu emosional malah dianggap sekitarmu lemah atau kurang profesional. Padahal sering kali standar “normal” ini dibuat agar manusia lebih mudah diatur dan dikontrol. Jadi, sebelum kamu buru-buru menyalahkan diri sendiri ada baiknya berhenti sebentar dan bertanya, "Ini aku yang salah atau standarnya yang terlalu menuntut?" Jadi jangan terlalu keras dengan diri sendiri, ya!

2. Sadar kalau hidup kamu ternyata banyak diatur tanpa disadari

Ilustrasi orang sibuk bekerja
Ilustrasi orang sibuk bekerja (pexels.com/@helenalopes)

Foucault dikenal lewat pemikirannya tentang kekuasaan yang terasa tidak menekan secara langsung. Kekuasaan modern tidak selalu datang dalam bentuk larangan atau paksaan tapi datang lewat kebiasaan yang kita jalani setiap hari atau yang biasa disebut hegemoni. Kamu tidak disuruh secara terang-terangan, tapi pelan-pelan dibiasakan mengikuti aturan dan ritme tertentu sampai akhirnya kamu terbiasa. Kekuasaan ini bekerja lewat hal-hal yang terlihat sepele dalam keseharian. Contoh nyata seperti tenggat tugas dari sekolah atau kantor, target umur sekian yang harus terpenuhi, dan tuntutan untuk selalu produktif. Semua itu hadir atas nama keteraturan, efisiensi, dan kebaikan bersama.

Tanpa disadari, itu membuat orang cenderung suka mengawasi diri sendiri. Istirahat bikin kamu merasa bersalah dan gagal memenuhi target bikin kamu takut dinilai tidak kompeten. Di titik ini, kontrol tidak lagi datang dari luar tapi sudah tertanam di dalam diri karena ekspektasi sosial. Jadi, mulai dari sekarang sadari kapasitas diri sendiri karena bisa jadi titik awal perubahan. Yuk, pelan-pelan ambil jarak, tarik napas, dan lihat lagi hidupmu dengan cara yang lebih ramah ke diri sendiri.

3. Jangan telan mentah-mentah label sosial

Ilustrasi perempuan menyendiri di tengah kerumunan
Ilustrasi perempuan menyendiri di tengah kerumunan (freepik.com/@freepik)

Pernahkah kamu ketika berkumpul dengan teman tiba-tiba ada yang melempar perkataan seperti "Stress", "NPD", "Gila lo" yang akhirnya kamu menelan mentah-mentah? Nah, di dalam banyak tulisannya, Foucault mengkritik cara masyarakat gemar memberi label seperti “gila”, “sakit”, “normal”, atau “menyimpang”. Memang saat ini label sering dipakai untuk memudahkan pemahaman dan pengelompokan tidak cuma di ranah kesehatan namun orang biasa pun sering overused menggunakan istilah tersebut.

Ketika sebuah label beradar di sosial dan terus diulang itu bisa saja berpotensi membatasi peluang dan arah hidup seseorang. Maka dari itu, di sinilah kita perlu lebih hati-hati. Kamu boleh menggunakan label untuk membantu memahami diri sendiri, tapi jangan sampai hidupmu sepenuhnya ditentukan oleh label itu. Ingat, label tidak mencerminkan keseluruhan dari hidupmu. Yuk, beri ruang buat dirimu tumbuh, berubah, dan melampaui label apa pun yang pernah ditempelkan oleh siapa pun di dalam hidupmu!

4. Rawat diri untuk diri sendiri bukan untuk "Fit" dengan standar sosial

Ilustrasi wanita sedang bercermin bahagia
Ilustrasi wanita sedang bercermin bahagia (pexels.com/@olly)

Di akhir hidupnya, Foucault memperkenalkan gagasan care of the self. Istilah ini bermakna cara merawat diri yang tidak bertujuan untuk menjadi versi ideal menurut standar masyarakat. Sebaliknya, merawat diri seharusnya berarti memberi jarak dari tekanan sistem yang terus menuntut kita untuk patuh dan selalu terlihat baik-baik saja.

Self-care versi Foucault berarti keberanian untuk mengenal diri sendiri dengan meluangkan waktu buat refleksi dan berani bertanya ulang pada hal-hal yang selama ini dianggap wajar. Terkadang merawat diri juga berarti berani berhenti sejenak dan gak selalu ikut arus hanya karena semua orang melakukannya. Jadi, rawat diri bukan supaya kelihatan fit dengan sekitarmu tapi supaya kamu tidak kehilangan kendali atas hidupmu sendiri. Yuk, pelan-pelan pilih apa yang benar-benar kamu butuhkan bukan sekadar apa yang diharapkan dari kamu.

5. Hidup itu proses bukan jawaban final

Ilustrasi pria duduk sedih
Ilustrasi pria duduk sedih (pixabay.com/hamedmehrnik)

Apakah kamu sudah merasa hilang dan berada di quarter life crisis? Semua keraguan, keinginan untuk berubah, dan kebingungan yang muncul itu bukan tanda kegagalan. Justru sebaliknya, itu adalah bagian wajar dari proses menjadi manusia yang masih berpikir, masih bertanya, dan masih mencoba memahami hidupnya sendiri.

Satu hal yang membuat Foucault berbeda dari banyak filsuf lain adalah sikapnya yang tidak pernah menawarkan jawaban final tentang hidup. Ia tidak percaya bahwa manusia punya satu jati diri sejati yang harus ditemukan dan dipertahankan seumur hidup. Menurutnya, hidup justru adalah proses yang terus bergerak. Kita bebas membentuk diri sedikit demi sedikit sambil beradaptasi dengan tekanan sosial yang selalu berubah.
Tidak apa-apa ragu dan berubah. Itu bukan berarti rusak tapi tanda kamu masih hidup dan masih berproses.

Pada akhirnya, hidup ala Foucault bukan soal menjadi paling benar atau paling rapi. Filsuf ini menekankan tentang berani, sadar, dan tidak terlalu menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Yuk, pelan-pelan beri ruang buat dirimu bernapas dan tumbuh dengan caramu sendiri.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Ide Game Tanpa Gadget yang Seru Dimainkan Saat Malam Tahun Baru

28 Des 2025, 22:10 WIBLife