Wayang Kebon: Menghidupkan Solidaritas Lewat Seni Ramah Alam

- Ciptakan wayang dari limbah untuk media bercerita
- Buktikan bahwa limbah bisa menjadi barang yang bernilai
- Angkat cerita fabel sampai lakon wayang perempuan
- Berdampak nyata untuk lingkungan dan sosial
Apakah kamu merasakannya? Di era modern yang serba cepat sekarang, kita dihadapkan pada tantangan yang semakin kompleks dan saling terhubung. Mulai dari ketimpangan sosial, krisis lingkungan yang seolah tak ada ujungnya, hingga intoleransi yang tumbuh di berbagai ruang publik. Dan dalam situasi ini, kita berharap adanya solusi inovatif sekaligus kreatif yang berpihak pada perubahan sosial.
Dibutuhkan gerakan akar rumput yang peduli untuk menjawab persoalan-persoalan ini. Komunitas Wayang Kebon asal Daerah Istimewa Yogyakarta hadir sebagai contoh nyata. Mereka berkreasi menggunakan sampah untuk dijadikan wayang, menggabungkan seni, edukasi, dan kepedulian lingkungan. Lewat karya-karyanya, mereka menyuarakan pesan toleransi, keberlanjutan, dan kesetaraan sosial.
1. Ciptakan wayang dari limbah untuk media bercerita

Wayang Kebon berangkat dari keinginan Anisyah Padmanila Sari, seorang dalang wanita muda yang ingin memiliki sebuah media bercerita tentang berbagai isu sosial seperti lingkungan, perempuan, sampai perihal isu yang lagi marak diperbincangkan akhir-akhir ini.
"Pada dasarnya aku terinspirasi dari wayang kulit. Tapi karena wayang kulit cukup mahal untuk diproduksi, aku mencari alternatif untuk tetap bisa bercerita dengan media wayang. Akhirnya, aku membuat Wayang Kebon ini, yang ku buat dari material bahan alam," ujar Anisyah saat diwawancarai pada Minggu (24/8/2025).
Wayang Kebon kemudian ia ciptakan dengan berbagai bahan yang mudah ditemukan di sekitar. Mulai dari daun, bunga, biji-bijian, ranting, bahkan rempah-rempah. Anisyah pun mengaku ia sering memakai barang bekas layak pakai untuk melengkapi medianya.
"Intinya, bahan yang aku pakai dari limbah alam atau limbah kering yang masih bisa dimanfaatkan." katanya.
2. Buktikan bahwa limbah bisa menjadi barang yang bernilai

Langkah Anisyah menciptakan Wayang Kebon begitu sederhana tapi cukup mengena. Saat itu Covid-19 masih merajalela dan membuat ruang geraknya menjadi terbatas. Namun Anisyah tak mati gaya, ia justru mulai berkegiatan bersama anak-anak di sekitar rumahnya membuat prakarya dengan tanaman-tanaman kering yang ada.
"Mencoba lebih dekat dengan alam, keresahan juga, kenapa ya di sekitar kita banyak sampah. Dan ternyata, sampah-sampah tertentu itu masih bisa kita manfaatkan. Misalnya limbah daun kering yang biasanya cuma kita sapu lalu dibakar atau dibiarkan saja, tapi kalau kita olah bisa menjadi sebuah karya yang visualnya bagus, lho." Ujar perempuan lulusan Seni Pedalangan di Institut Seni Indonesia Yogyakarta tersebut.
Bukan tanpa alasan mengapa Anisyah memilih limbah tumbuhan sebagai bahan kreasinya. Menurutnya, benda tersebut begitu dekat dengan manusia dan ia ingin merespons keberadaan benda-benda tersebut. Selain itu, mengolah limbah tumbuhan menjadi wayang membantunya menjadi lebih kreatif, sekaligus menyediakan media bercerita yang ramah lingkungan dan mudah ditemukan di mana saja.
3. Angkat cerita fabel sampai lakon wayang perempuan

Wayang Kebon telah berulang kali mengadakan acara yang menggandeng anak-anak sebagai pesertanya. Mulai dari workshop membuat wayang sampai bercerita bersama.
"Waktu itu di Kulon Progo, (bekerja sama) dengan remaja-remaja di salah satu desa di sana. Bahannya itu kami betul-betul mencari yang ada di sekitar yang bisa digunakan. Lalu dengan anak-anak, kita merespons tokoh-tokoh wayang." Kata Anisyah.
Anisyah lalu mengatakan kalau cerita yang diangkat untuk pertunjukan wayangnya cukup beragam. Untuk anak-anak, ia akan mengangkat tema fabel atau cerita rakyat yang alurnya lucu dan menarik. Tak lupa, ia juga menyisipkan pesan moral tentang lingkungan hingga harmonisasi sosial meski tidak dengan bahasa yang gamblang. Uniknya, Anisyah juga sering mengisahkan tentang cerita pewayangan yang lakon utamanya adalah perempuan.
Ia pun seolah tak pernah kehabisan ide supaya masyarakat, terutama anak-anak, tertarik pada wayang. Termasuk dengan menggunakan iringan musik yang alatnya familiar. Sebut saja seperti gitar, biola, dan sebagainya.
"Kalau diminta untuk perform atau berkegiatan ini, aku selalu pelajari lebih dulu daerah itu, audience-nya seperti apa. Misalnya masyarakat urban, kami menyesuaikan iringan musik yang pop sekarang dengan lebih santai. Kalau ada kesempatan berkolektif dengan teman-teman yang mempelajari musik etnis atau musik karawitan, kami juga bisa berkolaborasi. Lebih fleksibel saja." Ujar Anisyah.
4. Berdampak nyata untuk lingkungan dan sosial

Ada dampak nyata yang mengiringi gerakan Anisyah bersama Wayang Kebon. Banyak yang kemudian merasa terinspirasi dari proses kreatif membuat prakarya dari limbah yang selama ini banyak berserakan di sekitaran, lalu explore lebih. Selain itu, karena umumnya acara Wayang Kebon diadakan secara terbuka di tengah masyarakat, efeknya terasa sampai ke hubungan sosial antar warganya.
"Ini cukup terasa juga, jadi ada kedekatan untuk saling berbagi." Ungkap Anisyah.
Namun di samping soal lingkungan dan sosial, ia juga ingin menggaris bawahi soal kepedulian terhadap kebudayaan. Apalagi menurutnya wayang adalah warisan budaya yang telah melekat sejak dulu yang sayangnya kini justru mulai terasa asing di kalangan tertentu.
Besar harapan Anisyah supaya generasi saat ini dan yang akan datang, mau mengenal dan belajar tentang budaya asli Indonesia. Jangan sampai, justru di tengah gempuran modernisadi dan santernya budaya luar yang masuk, membuat kita semua kehilangan jati diri bangsa. Terlebih Anisyah sendiri telah membuktikan bahwa wayang, bisa dibuat dan dikenalkan lewat cara paling sederhana, yaitu pemanfaatan limbah dan cerita-cerita yang tumbuh di sekitar.