3 Bahaya ketika Kamu Merasa Bertanggung Jawab atas Perasaan Pasangan

Ketika kita mencintai seseorang, kita tentu ingin orang itu bahagia. Namun, bila fokusmu hanya pada emotional monitoring, dimana kamu terus memindai, mengartikan, bahkan mengelola perasaan pasangan seolah itu adalah tanggung jawabmu.
Hal ini terlihat ketika kamu selalu berusaha melakukan apa pun demi memperbaiki suasana hati pasanganmu yang sedang buruk. Meski ini lahir dari kepedulian atau perhatian, pola ini sebenarnya tidak sehat, lho. Malah, bisa memimpin pada relasi toksik bila kamu tidak hati-hati.
Bukankah perasaan seharusnya tetap menjadi tanggung jawab setiap pribadi? Walau kamu dan pasangan bisa saling membantu dan mengandalkan, itu tidak berarti satu pihak jadi bertanggung jawab atas perasaan pihak lain. Bila diteruskan, tiga bahaya ini bisa mengintai.
1.Kamu jadi lebih mudah "was-was" ketika bersama pasangan, bukan mencintai apa adanya

Ketika fokusmu adalah untuk pasangan selalu bahagia, kamu mulai mendapati dirimu untuk selalu overanalyzing sikap, kebiasaan, dan kata-kata pasangan. Kamu mengantisipasi setiap perubahan bahkan sebelum itu terjadi.
Kewaspadaan emosional yang berlebihan seperti ini hanya menguras energi. Kamu tidak bisa sepenuhnya merasa aman dan nyaman dalam hubungan, karena merasa suasana hati doi bisa berubah sewaktu-waktu.
Tidakkah kamu tahu bahwa itu hanya memperlebar jarak emosional yang ada? Hubungan jadi kehilangan esensinya, karena kamu fokus hanya untuk menyenangkan hati doi alih-alih menikmati dinamika yang ada.
2.Menciptakan rasa kontrol yang keliru

Pemantauan emosional mungkin terlihat seperti kepedulian di awal, tapi bila digali lebih lanjut, itu sebenarnya berasal dari kecemasan dan kekhawatiran. Dengan “memantau” keadaan emosional pasangan, kamu merasa jadi punya kendali untuk sesuatu.
Hayo ngaku, apa kamu juga tipe orang yang sering mencegah konflik sebelum terjadi? Saat pasangan merasa kesal, kamu berusaha untuk melakukan apa pun demi membuat doi bahagia kembali. Seolah-olah kamu melakukannya karena cinta, padahal ini menciptakan ketegangan yang tidak terlihat.
Kamu dan pasangan hanya bisa mencintai ketika keadaan sedang baik-baik saja. Ketika konflik datang dan terjadi perseturuan, kamu dan doi tidak tahu bagaimana cara untuk menghadapi itu. Karena sebelumnya hanya satu pihak yang berusaha keras untuk mempertahankan hubungan tetap utuh.
3.Menghambat pertumbuhan emosional dua pihak

Saat kamu campur tangan dalam mengelola perubahan emosi pasanganmu, maka sampai kapan pun pasanganmu tidak akan pernah bertumbuh dalam ketahanan emosional. Ia terbiasa dengan bantuanmu, sehingga sulit mengatasi ketidaknyamanan secara mandiri.
Begitu pun dengan kamu, yang terbiasa memendam-mendam emosi demi kebahagiaan pasangan. Seiring berjalannya waktu, hal itu bisa meledak jauh lebih buruk. Yang ada, malah jadi bumerang untuk kalian berdua.
Sah-sah saja sebenarnya, melakukan sesuatu demi kebahagiaan orang yang kita cinta. Namun, kamu harus sadar bahwa dirimu pun terbatas. Ketika kamu berhenti mencoba untuk mengontrol setiap perubahan emosi pasangan, kamu memberi dirimu dan pasanganmu kebebasan untuk tumbuh dan tampil apa adanya.