Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

IMGR 2026: Milenial-Gen Z Tidak Ikuti Standar Kesuksesan Tradisional

Ilustrasi anak muda (Pexels.com/LinkedIn Sales Navigator)
Ilustrasi anak muda (Pexels.com/LinkedIn Sales Navigator)
Intinya sih...
  • Milenial dan Gen Z menghargai tradisi, namun menyesuaikannya dengan pilihan hidup masing-masing.
  • Milenial dan Gen Z menciptakan desain kesuksesan mereka sendiri, tidak mengikuti standar konvensional.
  • Pernikahan dan menjadi orangtua adalah hal yang bisa dipertimbangkan ulang bagi Milenial dan Gen Z.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Milenial dan Gen Z adalah dua identitas generasi yang berbeda secara umur. Meski begitu, banyak fakta-fakta baru tentang dua generasi ini yang menarik. Bahkan, tak jarang di antara keduanya punya kesamaan.

Indonesia Millennial and Gen-Z Report (IMGR) 2026 baru-baru ini merilis fakta-fakta baru mengenai generasi tersebut. Baik dalam hal standar kesuksesan, pernikahan, hingga menjadi orangtua, mereka sepakat meninggalkan standar konvensional. Meski begitu, mereka tak sepenuhnya meninggalkan 100 persen. Simak hasilnya di bawah ini.

1. Milenial dan Gen Z masih menghargai tradisi, namun tetap menyesuaikannya dengan pilihan hidup masing-masing

1.jpg
Ilustrasi arah (dok. IDN)

Dewasa ini, generasi Milenial dan Gen Z Indonesia mengalami pergeseran budaya yang terbilang unik. Mereka hidup dalam ekspektasi agama, keluarga, dan budaya. Oleh karenanya, mereka juga menjunjung tinggi nilai-nilai seperti menghormati orang yang lebih, loyal pada keluarga, dan tanggung jawab pada komunitas.

Meski begitu, Milenial dan Gen Z menyadari ekspektasi tersebut dapat menimbulkan tekanan terhadap kebebasan individu. Terlebih, ekspektasi tentang pernikahan, peran gender, dan karier. Ada negosiasi antara tradisi masa lalu dan pilihan hidup masa kini. Contoh nyatanya, menggabungkan ritual lokal ke dalam pernikahan kontemporer atau mengkritisi pertanyaan tentang kapan menikah dan apakah akan menikah. Mereka menghormati warisan tanpa mengorbankan pengembangan dirinya.

Mereka tidak lagi terpatok sepenuhnya pada standar-standar konvensional. Ada redefinisi kesuksesan dan kepuasan sesuai dengan cara masing-masing. Generasi Milenial dan Gen Z semakin menghargai otonomi, kejujuran emosional, dan keselarasan antara nilai-nilai pribadi serta pilihan hidup.

Tadinya, kesuksesan adalah memiliki rumah, mendapatkan gelar, dan menumpuk tabungan. Kini, sukses adalah make it matter, make it yours, make it count.

2. Berkaca dari poin sebelumnya, Millenial dan Gen Z tidak mengejar standar kesuksesan konvensional, melainkan menciptakan desainnya sendiri

1.jpg
Definisi kesuksesan baru (dok. IDN)

Dalam meraih kesuksesan, Milenial dan Gen Z dapat didefinisikan menginginkan tujuan dibanding rasa gengsi. Mereka juga membutuhkan fleksibilitas ketimbang cara yang kaku dan penyelarasan daripada persetujuan.

Hal ini tidak lepas dari digitalisasi yang tengah berkembang pesat. Budaya digital berperan banyak. Adanya komunitas daring dapat memperkenalkan anak muda Indonesia ke beragam cara hidup. Bekerja di bidang kreatif, sebagai aktivis, hingga menjadi wirausahawan, seakan jadi petunjuk bahwa makna sama pentingnya dengan pencapaian.

3. Bagi Milenial dan Gen Z, pernikahan dan menjadi orangtua adalah hal yang bisa dipertimbangkan ulang

pexels-scottwebb-1048029.jpg
Ilustrasi pernikahan (Pexels.com/Scott Webb)

Bila dahulu menikah dan menjadi orangtua seakan-akan sebuah kewajiban atau kewajaran, berbeda lagi dengan fenomena Milenial dan Gen Z masa kini. Keduanya adalah fase hidup yang bisa dipertimbangkan ulang.

Seiring dengan ketidakpastian ekonomi, dinamika gender, dan pergeseran makna tentang membangun keluarga, kedua generasi tersebut banyak yang menunda komitmen pernikahan dan menjadi orangtua. Menurut data nasional, antara tahun 2018 dan 2023, jumlah pernikahan di Indonesia turun lebih dari 2 juta menjadi 1,57 juta.

Di kalangan anak muda, penurunannya bahkan lebih tajam. Pada tahun 2023, hanya 30,61 persen anak muda Indonesia yang menikah. Padahal, pada tahun 2014, angka pernikahan mencapai 44,5 persen. Dapat diperjelas kembali bahwa jumlah orang yang menikah semakin sedikit, sedangkan mereka yang menikah memilih caranya sendiri.

4. Pernikahan tak lagi dipandang sebagai sebuah kewajiban

Ayunda Shandini (dok. IDN)
Ayunda Shandini (dok. IDN)

Generasi Milenial dan Gen Z lebih memandang pernikahan sebagai kemitraan yang didasari pada emosi yang selaras, pertumbuhan bersama, dan tujuan bersama. Pendidikan, karier, dan kesehatan mental menjadi prioritas yang lebih utama dibandingkan pernikahan.

Adanya pergeseran ini ditengarai oleh keinginan untuk memutus siklus tradisional, memilih keamanan nasional, dan niat bersama. Tak cuma itu, estetika pernikahan juga berubah. Upacara pernikahan kian dikonsep minimalis dan lebih emosional secara pribadi, bukan tontonan khalayak. Dari menjalani tradisi, kini pernikahan dijalani lebih autentik.

"Di kota besar Indonesia, kita melihat kian banyak pasangan Gen Z yang memikirkan kembali konsep pernikahan yang seharusnya. Meski pernikahan megah masih penting bagi banyak orang, ada kesadaran yang semakin meningkat bahwa sebuah pernikahan harus terasa tepat bagi pasangan dan bukan hanya memenuhi ekspektasi masyarakat," ujar Ayunda Shandini, CEO direktori pernikahan global Bridestory.

Dikatakannya, media sosial memang masih memengaruhi tren pernikahan. Akan tetapi, alih-alih mengikutinya begitu saja, kian banyak pasangan yang mulai mengadaptasi pernikahan yang lebih personal dan berkelanjutan secara finansial.

5. Baik Milenial dan Gen Z memiliki kesepakatan yang sama akan keseimbangan hidup

Grafik "What’s Weighing on Young Adults?". (dok. IDN)
Grafik "What’s Weighing on Young Adults?". (dok. IDN)

Generasi Milenial dan Gen Z sama-sama punya keinginan bersama untuk mencapai keseimbangan hidup. Batasan kehidupan kerja tak lagi dianggap kemewahan, melainkan garis pertahanan vital untuk melawan kelelahan. Yang mereka inginkan adalah hidup berkelanjutan dalam finansial, emosional, mental dan energi.

Pola pikir seimbang dan berkelanjutan itu juga membentuk cara pandang anak muda Indonesia tentang menjadi orangtua. Alih-alih mempertanyakan kesiapannya sebagai orangtua, justru yang menjadi fokus adalah apakah lingkungan di sekitar mereka mendukung tipe orangtua yang mereka lakukan. Kekhawatiran tersebut bermuara dari kurangnya dukungan struktural, ekonomi, emosional, dan institusional yang memungkinkan pengasuhan anak berkelanjutan.

IDN menggelar Indonesia Summit 2025 (IS 2025), sebuah konferensi independen yang khusus diselenggarakan untuk dan melibatkan generasi Milenial dan Gen Z di Tanah Air. Dengan tema "Theme: Thriving Beyond Turbulence Celebrating Indonesia's 80 years of purpose, progress, and possibility", IS 2025 bertujuan membentuk dan membangun masa depan Indonesia dengan menyatukan para pemimpin dan tokoh nasional dari seluruh nusantara.

IS 2025 diadakan pada 27-28 Agustus 2025 di Tribrata Dharmawangsa, Jakarta. Dalam IS 2025, IDN juga meluncurkan Indonesia Millennial and Gen-Z Report 2026.

Survei ini dikerjakan oleh IDN Research Institute. Melalui survei ini, IDN menggali aspirasi dan DNA Milenial dan Gen Z, apa nilai-nilai yang mendasari tindakan mereka. Survei dilakukan pada Februari sampai April 2025 dengan studi metode campuran yang melibatkan 1.500 responden, dibagi rata antara Milenial dan Gen Z.

Survei ini menjangkau responden di 12 kota besar di Indonesia, antara lain Jabodetabek, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, Palembang, Solo, Banjarmasin, Balikpapan, dan Makassar.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima Wima
EditorPinka Wima Wima
Follow Us