Meski Cinta Berpaling Arah dan Hati Patah Terbelah, Kita Harus Tetap Melangkah

Melihat orang yang kita cintai telah bahagia dengan seseorang yang ia cintai? Apa yang kalian rasakan? Sakit? Iri? Kecewa? Turut bahagia? Atau berusaha untuk menghancurkan kebahagiaan mereka?
Hidup itu penih dengan pilihan. Apapun pilihanmu, jangan sampai merugikan diri sendiri bahkan orang lain.

Setiap orang pasti pernah juga berada dalam posisi tersebut. Suatu keadaan dimana segalanya seolah berkhianat kepada kita. Seolah tak adil bagi kita juga bagi cinta yang kita miliki. Apa yang kita pikirkan? Tuhan mungkin sedang menguji kita sebagai umat-Nya. Berulang kali kita berusaha untuk menyemangati diri sendiri.
Kita juga berusaha untuk tetap berpikir positif dan sama sekali tak pernah menyalahkan takdir yang telah Tuhan tuliskan. Seberat apapun ini, dan sesulit apapun kita harus tetap menyelesaikan apa yang telah telah kita mulai. Kita juga harus menjalani segalanya dengan penuh ketegaran. Meski memang tak dapat dipungkiri, diri ini perlahan merapuh. Kita lelah, gundah, dan merasa bersalah terhadap diri sendiri.

Kita bukan bangunan menara yang mampu berdiri kokoh sepanjang masa. Sadar atau tidak, di balik senyum yang menghias di wajah kita adalah sebuah topeng semata. Seberapa kuat kita akan membohongi diri sendiri, orang-orang di sekitar, bahkan di hadapannya dan juga pasangan barunya itu? Seberapa kuat? Dapatkah kita membayangkan semuanya? Terlebih jika kecurigaan kita selama ini terhadap hubungan terselubung dari orang yang kita cintai dengan orang baru pilihannya kini berubah menjadi hal yang nyata.
Mengapa dengan tega dia membuat firasat-firasat buruk yang sebelumnya berada dalam khayal kita kini nyata hadir di hidup kita? Terkadang diri sendiri ingin bertanya, makhluk seperti apakah dirinya? Sejahat itukah dia? Dan seburuk apakah diri kita ini hingga dia lebih memilih orang lain? Bahagiakah dia di sana dengan orang baru itu?
Sekarang coba bayangkan rasanya menjadi diri kita yang dikhianati. Pertama, kita harus menerima segala kenyataan yang ada dan telah terjadi ini. Ketakutan kita selama ini terhadap mereka berdua, pada akhirnya terjadi.
Kedua, pupuslah sudah harapan demi harapan yang telah kita buat selama ini, mimpi-mimpi indah yang terbangun dalam imaji kini runtuh tak bersisa. Mungkin kini mimpi itu telah berserakan tiada arti. Seluruh cinta yang kita punya pun perlahan berubah, menjadi semakin goyah karena salah melangkah, apalagi kini dia telah berpaling arah.

Ketiga, kita harus dengan lapang dada menerima bahwa mereka berdua telah meresmikan hubungannya. Keempat, setegar apa diri kita ini jika harus melihat mereka sedang bahagia terbuai candu asmara setiap hari? Masih mampukah kita membayangkannya? Tuhan, mungkinkah ini jalan terjal yang harus kita lewati? Sanggupkah kita menghadapi semua ini seorang diri?
Kita harus sadar bahwa bangkit itu suatu keharusan. Untuk apa mencintai seseorang yang rasa cintanya telah berganti? Buktikan sikap profesional di hadapan semua orang terhadap mereka berdua. Sanggupkah kita tanpa sedikitpun menaruh benci di dalam hati? Sanggupkan tetap tersenyum meski hanya berawal dari kepalsuan belaka?
Awal mengetahui si dia telah berpaling arah, ingin sekali rasanya menghalangi dan memaksanya tuk kembali. Ketika kita ingat bahwa cinta tak bisa dipaksakan, kita akan tersadar bahwa sikap itu begitu kekanak-kanakkan. Kita menjadi monster mengerikan karena tak dapat menerima kenyataan, apalagi jika berlarut-larut dalam kesedihan. Sungguh, kehidupan masih berjalan ke depan, dan kita harus tetap melangkah dengan kebahagiaan.

Keputusan terbaik dalam hidup adalah di saat kita merasa tak lagi memiliki beban berat untuk menjalani hari. Putuskan segalanya dengan memilih untuk ikhlas, merelakan dirinya dan merelakan cinta yang kita jaga selama menjalin hubungan dengannya. Apa boleh buat? Betapa beruntungnya kita mengetahui sosok sebenarnya orang yang kita cintai itu. Kita tanamkan dalam diri kita bahwa dia bukanlah orang yang tepat, dan bukan orang yang terbaik untuk menerima ketulusan cinta yang kita miliki.
Meski kedengarannya bodoh, munafik, atau sok suci, buktikan bahwa “inilah aku!”. Usahakan yang terbaik, pertanggungjawabkan keputusan yang kita buat, dan jalani dengan sepenuh hati. Selalu tersenyum, tetap bersikap baik kepada siapa saja, tiada rasa benci, tiada amarah, tiada lagu-lagu sendu yang menemani rindu, dan tiada lagi luka meratapi nasib. Jauh di lubuk hatiku, kita harus mengikhlaskan mereka berdua untuk meraih bahagianya. Bukankah cinta itu tak butuh alasan? Bukankah setiap perjuangan dibutuhkan pengorbanan?

Inilah diri kita, meski hanya manusia biasa, tak berpenampilan menarik, dan tak mampu membuat mata orang melirik, namun kita telah memiliki hati yang kuat dan jiwa yang tegar. Berterima kasihlah pada mereka yang pernah menggoreskan luka pada kita, meskipun sembuhnya membutuhkan waktu lama.
Tak mengapa, sang waktu akan cepat berlalu, dan luka itu perlahan mengering, mengelupas, lalu hilang. Walaupun ada luka yang masih berbekas, jangan mengingatnya sebagai suatu kesedihan. Ingatlah itu sebagai saksi perjuangan diri kita bangkit dan melangkah.
Seperti derasnya hujan, jangan selalu diingat sebagai simbol kesedihan. Jangan berlindung diri di bawah payung, namun lepaskanlah, lalu menarilah bersama tetesan hujan. Kini kita membuktikan bahwa kita dapat berdamai dengan duka dan luka.
“Kita tak lagi rapuh, sebab kita telah tumbuh menjadi tangguh.”
Tulisan ini adalah kiriman dari IDN Community. Kalau kamu ingin mengirimkan artikelmu, kirimkan ke community@idntimes.com