Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan?

Ibu katatonik, aku mencintai Ibu dengan platonik, tanpa emosi agape.

Ibu katatonik, aku mencintai Ibu dengan platonik, tanpa emosi agape.”

 

Dear Ayah, Ibu…

Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan? 

Beberapa hari yang lalu dunia baru saja merayakan Hari Ayah. Terbersit di benakku untuk turut larut dalam selebrasi sosok ayah yang jadi pahlawan bagi keluarganya, namun kemudian aku hanya bisa tertawa hambar, saat teringat aku tidak tahu ke mana harus menghubungi Ayah.

 Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan?

Sering kuputar ingatan seperti film usang di belakang pikiranku, Ayah dan Ibu saling berteriak penuh amarah. Di kamar, aku meringkuk seperti anjing kecil ketakutan, ketakutan akan ditinggalkan, atau kekhawatiran bahwa akulah yang menyebabkan kalian berdua bertengkar begitu hebat. Aku tidak mengerti, mengapa orang yang seharusnya saling mencintai bisa saling mendengki dengan kepahitan yang luar biasa.

 Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan?

Aku harap pertengkaran hebat itu adalah terakhir kalinya, karena sembilan bulan kemudian, Ibu kembali melahirkan dan aku pun mendapatkan seorang adik. Pikirku, “Terima kasih Tuhan, semua lontaran kebencian tidak akan ada lagi sekarang,” karena aku mengingat kata-kata Ibu, bahwa anak-anak lahir karena cinta orang tuanya. Pikirku saat itu, pastilah kalian kembali saling mencintai. Jika aku bisa kembali ke masa itu, aku ingin berhenti optimis supaya rasa sakit yang kurasakan sesudahnya akan lebih tertahankan.

Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan? 

Tapi belum genap usia adik sebulan, aku pulang sekolah disambut dengan Ayah yang menenteng ransel besar. Itu ransel naik gunung Ayah, aku pun menjerit kegirangan, mengira Ayah akan berpetualang kembali ke gunung, dan mungkin, kali ini aku bisa ikut. Aku segera memeluk kaki Ayah, merengek minta ikut. Ayah menyentakkan tanganku agak keras. Aku terbelalak. Ayah hanya memandangku sebentar, kucari sisa-sisa kasih yang sudah tidak kurasakan sejak aku mengerti cara mengeja, tapi tidak kudapatkan dan dengan mantap, Ayah melangkah pergi tak menoleh lagi.

Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan? 

Aku memanggil Ayah, tapi aku tahu tidak ada gunanya. Aku belum lagi mengerti perkalian, dan Ayah sudah pergi. Pada siapa aku akan mengadu jika Aljabar terlalu susah? Bagiku, Ayahlah yang terpandai. Bagi seorang anak, Ayah adalah cinta pertama dan pahlawan, tapi mengapa Ayahku tidak? Aku tidak paham.

Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan? 

dm-player

Kutemukan Ibu memasang wajah marah yang belepotan air mata, menyuruhku masuk dan segera pergi belajar. Aku lupa, kurasa itu terakhir kalinya aku benar-benar bicara pada Ibu. Sesudah itu, aku seakan tumbuh dewasa tanpa Ibu. Ibu katatonik, aku mencintai Ibu dengan platonik, tanpa emosi agape. Aku mengurus makananku sendiri, keperluanku sendiri, dan Ibu hanya menyediakan uangnya dan pergi sesuka hati Ibu. Kupikir saat itu, mungkin Ibu butuh waktu sendiri, menyembuhkan luka hati. Tapi, Ibu juga tidak pernah kembali. Raga Ibu ada bersama kami, tapi jiwa Ibu entah di mana.

Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan? 

Lambat laun, saat adik mulai beranjak besar, aku mulai mengurus keperluan dan makanannya juga. Aku ingat, Bu, aku pernah meminta orang yang tak dikenal di ATM untuk membantuku mengirim uang sekolahku dan uang sekolah adik karena aku tidak tahu caranya, dan Ibu tidak ada. Untung tidak ditipu, Bu.

Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan? 

Kini aku sudah dewasa sepenuhnya. Aku tahu bagaimana mencari uang sendiri, aku bahkan mengirimkan uang yang kuperoleh pada Ibu dan adik. Sebenarnya, ingin aku melacak Ayah, karena aku ingin mengirimkan juga uang hasil keringatku pada Ayah, agar Ayah tahu, aku baik-baik saja tanpa Ayah. Aku menghormati kalian sebagai orang tuaku, tapi aku putuskan untuk tidak berpalsu diri mengakui peran kalian dalam hidupku, kecuali sebagai sosok yang melahirkan dan menjagaku sampai aku duduk di bangku sekolah. Aku putuskan untuk menghalau rasa sakit dan bersalah yang menggerogotiku bertahun-tahun, Yah, Bu.

Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan? 

Ayah, saat Ayah pergi, separuh jiwaku turut dalam ransel gunung Ayah. Seketika itu juga, hancur sosok Ayah yang melindungi, mengayomi, yang seharusnya jadi segalanya bagiku. Aku masih mengagumi Ayah yang dulu mengajariku naik sepeda, dan mengajarku untuk tangguh dan tidak cengeng. Tapi, Yah, aku mau melupakan Ayah yang pergi tanpa menoleh lagi dan tidak pernah merindukan anak-anaknya. Aku ingin berhenti merasa ‘rusak’.

Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan? 

Ibu, seandainya Ibu tahu, bahwa aku bisa menjadi sandaran Ibu, mungkin aku tidak perlu merasa terasing seperti ini dari Ibuku sendiri. Ibu, surgaku masih tetap di bawah kakimu, tapi aku menolak merasa gagal lagi. Ibu menutup semua akses ke hati Ibu, membuatku merasa tidak pantas sebagai seorang anak. Untuk Ibu yang perkasa, yang masih mencari uang buatku dan adik, masih bertahan tinggal bersama kami meski aku yakin wajah kami mengingatkan Ibu pada Ayah setiap harinya, aku ingin mengadopsi sosok Ibu yang seperti itu. Tapi, Bu, aku akan berusaha keras agar tidak menjadi orang tua yang berkubang dalam laranya sendiri dan dalam prosesnya melupakan pentingnya membuat anak merasa dicintai.

Broken Home: Apa yang Dialami Ayah Ibuku Belum Tentu Akan Menimpaku Pula, Bukan? 

Yah, Bu, aku tidak menyalahkan. Habis energiku menyalahkan diriku atas perginya kalian berdua. Sudah habis rasa percaya diri dan berbagai hubungan yang rusak di masa lalu karena predikat ‘broken home’ yang aku bawa ke mana-mana. Yah, Bu, aku memasukkan status ‘broken home’ yang kusandang tanpa pinta ini ke dalam tempat pembuangan di hatiku, yang aku janji tidak akan kujamah lagi. Aku tidak ‘rusak’, aku bukan lagi korban. Aku punya masa depan, dan masa depanku tidak ditentukan oleh seberapa besarnya luka menganga yang dianggap ada di jiwa anak-anak ‘broken home’. Aku akan menjadi orang tua yang menempatkan anak-anakku di atas egoku. Untuk hal ini, aku akan lebih baik dari Ayah dan Ibu.

Terima kasih karena sudah mengajariku segala hal yang berlawanan, kutub ke kutub, dari sosok Ayah dan Ibu yang seharusnya dimiliki anak-anak. Aku tetap mencintai kalian sepenuh jiwa.

Salam,

Anakmu.

Topik:

Berita Terkini Lainnya