Bangun Konekin, Marthella Sirait Dukung Isu Disabilitas di Ruang Kerja

Ia gak menyesal melepaskan ASN untuk keluarga dan Konekin

Jakarta, IDN Times -  Bagi sebagian besar orang, Aparatur Sipil Negara (ASN) merupakan pekerjaan bergengsi. Namun siapa sangka Marthella Sirait justru meninggalkan profesi tersebut dan fokus mengembangkan platform sosial untuk menyuarakan inklusivitas dan peluang kerja penyandang disabilitas?

Pengalamannya bertemu dengan anak-anak penyandang disabilitas membuat Marthella jatuh cinta dengan topik seputar disabilitas dan inklusivitas. Ia mendirikan Konekin, rumah untuk mendukung ekosistem inklusif bagi para penyandang disabilitas.

Terlebih, nyatanya penyandang disabilitas masih sering mendapatkan stigma negatif dan kesulitan mendapatkan pekerjaan. Permasalahan ini makin membuat Marthella terpanggil membangun Konekin agar penyandang disabilitas lebih berdaya. Yuk, simak obrolan hangatnya bersama IDN Times pada Senin (23/10/23) silam secara daring ini!

1. Isu disabilitas di daerah terpencil masih kurang disuarakan. Ada stigma bahwa penyandang disabilitas tidak punya masa depan

Bangun Konekin, Marthella Sirait Dukung Isu Disabilitas di Ruang KerjaMarthella Sirait dalam Program Indonesia Mengajar (dok. Konekin)

Pengalaman Marthella Sirait mengikuti program Indonesia Mengajar, membuka matanya bahwa isu disabilitas masih dipandang sebelah mata. Tahun 2013, Thella berkesempatan untuk mengajar di Kabupaten Maluku Tenggara Barat yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Kabupaten ini masih menjadi daerah tertinggal.

Ia menjadi Wali Kelas 1 Sekolah Dasar (SD) dengan misi membenarkan baca, tulis, hitung, anak-anak di desa tersebut. Pasalnya, anak-anak yang seharusnya duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA), masih kesulitan untuk membaca. Ia memegang 30 murid dengan tiga anak di antaranya berkebutuhan khusus.

“Satu orang cerebral palsy, satu orang dyslexia, dan satu orang short term memory loss atau learning difficulties. Nah, si 3 anak ini yang sebenarnya jadi eye-opener dan turning point-ku bahwa, ‘Oh, isu disabilitas tuh di daerah-daerah terkecil seperti ini tuh, masih dianggap sebagai isu yang sangat-sangat ada mistis-mistisnya. Ada yang terkait dengan keagamaan atau misalnya memang karma gitu,’. Jadi memang kayaknya perlu nih untuk bisa disuarakan gitu,” katanya.

Meski hanya setahun mengajar di daerah tersebut, Marthella merasa ini sudah menjadi panggilan hidupnya untuk lebih mengenal lagi isu disabilitas dan inklusivitas di Indonesia. Di tahun 2014, ia bergabung dengan Komnas Anak untuk menyelesaikan masalah-masalah anak dengan disabilitas.

Di samping itu, Marthella menemukan fakta, “Sebenarnya yang jadi turning point juga adalah pada saat 3 anakku ini, ibaratnya orangtuanya itu sudah lelah menyekolahkan dia karena merasa 3 anak ini tidak punya masa depan, tidak akan ada perusahaan juga yang menerima orang-orang cacat.”

Kondisi itulah yang membawa Marthella bertandang melanjutkan studi magister di University of Birmingham. Sebagai negara dengan pemberdayaan disabilitas yang sangat maju, Marthella banyak belajar bagaimana caranya membangun social enterprise yang bergerak di bidang ini, berbasis nilai empowering dan human rights.

2. Ada perubahan paradigma dari penyandang disabilitas tidak bisa bekerja menjadi hanya cocok berprofesi sebagai wirausahawan

Bangun Konekin, Marthella Sirait Dukung Isu Disabilitas di Ruang KerjaDisability Equality Training TransJakarta dengan Konekin (dok. Konekin)

Jika sebelumnya Marthella menemukan stigma bahwa penyandang disabilitas cenderung tidak bisa bekerja, kini terjadi perubahan anggapan bahwa penyandang disabilitas hanya bisa melakoni pekerjaan wirausaha saja. Hal ini juga yang melatarbelakangi Marthella membuat Konekin.

Ia memandang masyarakat mulai peka terhadap penyandang disabilitas seperti Surya Sahetapi dan Putri Ariani. Kemudian, ada Dian Sastro dan Anji yang sempat menyuarakan bahwa anak mereka mengidap autisme. Fakta ini menggeser pemikiran warganet bahwa penyandang disabilitas juga bisa berkuliah dan bekerja.

Namun muncul anggapan baru. “Tapi, sekarang stereotipnya (tentang penyandang disabilitas tidak bisa bekerja) itu jadi bergeser karena semakin banyak program-program pemerintah. CSR-nya perusahaan yang menyasar pelatihan-pelatihan entrepreneurship atau kewirausahaan. Jadi, stereotipnya dulu itu tidak bisa bekerja, sekarang yang baru adalah penyandang disabilitas cocoknya wirausaha saja,” paparnya.

Di sinilah Konekin hadir untuk membuktikan bahwa teman-teman disabilitas bisa bekerja, baik dalam lingkup informal maupun formal. Sayangnya, kondisi di lapangan tidak semudah itu.

Marthella mendapati bahwa penyandang disabilitas 2-3 kali lebih susah mendapatkan pekerjaan dengan banyak faktor penyebab. Salah satunya ketidaksiapan perusahaan dalam memberikan fasilitas yang memadai bagi mereka.

“Data terakhir, dari 17 juta penyandang disabilitas yang produktif, hanya 7,6 juta yang bekerja. Konteks kita bilang definisi bekerja itu ada dua sektor, informal dan formal. Nah, dari 7,6 juta tersebut, hanya ada 28 persen yang bisa bekerja di sektor formal. Jadi, selebihnya memang pekerjaannya di sektor informal,” ungkap Marthella.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, “Jadi, memang (wirausaha) gak bisa terdata sebagai pekerja atau karyawan di sebuah perusahaan. Kerjaannya ya dengan penghasilan yang tidak tetap. Kalau kerja formal kan, ada status sebagai karyawan dan dia punya penghasilan yang tetap, gitu kan. Kalau informal tuh, ya di luar daripada itu.”

3. Indonesia perlu lebih banyak membuka opsi pekerjaan bagi penyandang disabilitas

Bangun Konekin, Marthella Sirait Dukung Isu Disabilitas di Ruang KerjaDisability Equality Training TransJakarta dengan Konekin (dok. Konekin)

Data tersebut menggambarkan bahwa Indonesia perlu lebih banyak membuka opsi pekerjaan yang memadai bagi penyandang disabilitas. Artinya, penyandang disabilitas bisa memiliki kesempatan untuk memilih pekerjaan yang mereka inginkan. Ada ketidakseimbangan antara supply dan demand dalam hal ini.

“Masalah utama penyandang disabilitas di Indonesia itu adalah opsi yang terbatas. Nah, yang terjadi di Indonesia adalah mereka terpaksa berwirausaha ya karena memang itu jadinya satu-satunya opsi yang mereka punya. Kalau mereka mau ke perusahaan-perusahaan, mereka harus tahu dulu nih, sebenarnya perusahaannya kalau buka lowongan ini, terbuka bagi disabilitas atau gak ya? Karena sudah sering kali mengalami penolakan di awal, gitu. Jadi kalau dari sisi statistiknya, memang lebih banyak informalnya, tapi bukan karena memang itu banyak peminatnya, tapi karena kurangnya opsi atau pilihan-pilihan bagi pekerja disabilitas itu di sektor formal, gitu. Dan itu yang sebenarnya Konekin sedang usahakan,” ujar mantan Peneliti Ahli Pertama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ini.

Menurutnya, inklusivitas tidak terbatas pada gender equality, tapi juga kelompok rentan lainnya. Awareness masyarakat memang semakin meningkat karena banyak karya yang dihasilkan oleh para penyandang disabilitas. Namun, gak memungkiri bahwa masih banyak aksi yang perlu dilakukan untuk membuka kesempatan baik bagi mereka.

“Kalau kepedulian stigma dan paradigma yang bergeser ke arah yang lebih positif, itu menurutku sudah sangat berkembang. Tapi kalau kita dituntut untuk memberikan hak yang sama, kesempatan yang sama terbukanya, itu masih jadi challenge. Aku memahami juga bahwa tidak semua orang sebenarnya paham sekali tentang isu disabilitas. Jadi, mungkin pahamnya bahwa disabilitas itu sebenarnya bisa kerja. Tapi, supaya dia bisa bekerja di perusahaan itu, banyak yang harus dipersiapkan. Itu yang belum sepenuhnya dipahami juga oleh masyarakat kita,” jelasnya.

4. Tinggalkan ASN, Marthella berkomitmen kelola Konekin untuk gaungkan isu disabilitas dan buka peluang besar menuju Indonesia yang lebih inklusif

Bangun Konekin, Marthella Sirait Dukung Isu Disabilitas di Ruang KerjaMarthella Sirait, founder Konekin (dok. Konekin)

Sejak kuliah, Marthella mengaku jatuh cinta pada isu-isu sosial dan anak-anak. Kedua hal inilah yang menuntunnya bekerja di Think Tank, Komnas Anak, hingga masuk ke dunia Pegawai Negeri Sipil (PNS). 

Bersama dengan Kementerian PPN/Bappenas, Marthella ikut menyusun Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2019 yang merupakan turunan dari Undang-Undang Disabilitas tahun 2016. Kemudian, ia menjadi peneliti di Kementerian Desa dari 2019 hingga 2021. Lalu, melanjutkan kariernya sebagai Peneliti Ahli Pertama di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

Semua dilakoninya bersamaan dengan mengelola Konekin sejak tahun 2018. Tentu bukan hal yang mudah bagi Marthella dalam membagi waktu mengerjakan dua hal yang serupa, tapi tak sama ini.

“Itu jalannya beriringan. Jadi, aku bisa bilang itu kayak kerja di dua kaki. Pagi sampai sore itu aku kerja, memang daily-nya sebagai PNS gitu ya. Sore ke malam dan weekend itu full dedicated buat Konekin. Jadi, 4 tahun pertama itu memang kerjaannya di dua kaki dan super sulit sebenarnya bagi waktunya,”  ceritanya.

Konekin (Koneksi Indonesia Inklusif) merupakan sebuah platform sosial untuk edukasi dan pemberdayaan disabilitas guna menciptakan Indonesia yang lebih inklusif. Marthella menilai awareness masyarakat masih minim sehingga ia berusaha meningkatkan kepedulian melalui sentuhan media sosial dengan adanya Konekin.

“Utamanya dari Konekin pada saat itu adalah peningkatan kepedulian masyarakat yang kita sentuh lewat kanal-kanal media sosial, kita sentuh lewat acara-acara yang fun, yang bisa mempertemukan disabilitas dengan nondisabilitas,” katanya.

Namun melihat perbedaan antara supply dan demand di lingkup pekerjaan, Konekin lebih berfokus pada dunia ketenagakerjaan sejak tahun 2022 sampai sekarang. Konekin berupaya memfasilitasi perusahaan yang ingin merekrut penyandang disabilitas, tetapi belum tahu-menahu seputar sistem atau segala informasi terkait ketenagakerjaan disabilitas.

Baca Juga: Bayang Konflik Maluku Antarkan Eklin Amtor de Fretes Jadi Pendongeng

dm-player

5. Ada alasan di balik nama Koneksi Indonesia Inklusif

Bangun Konekin, Marthella Sirait Dukung Isu Disabilitas di Ruang KerjaTim Konekin (dok. Konekin)

Inklusivitas merupakan hal terpenting yang digaungkan oleh Konekin. Melalui media sosial, Marthella berupaya mengenalkan pada masyarakat bahwa Indonesia akan lebih inklusif ketika yang nondisabilitas lebih peduli terhadap isu ini. 

“Jadi, namanya Koneksi Indonesia Inklusif adalah dengan tujuan koneksi, ya namanya menghubungkan antara disabilitas dan nondisabilitas supaya bisa lebih inklusif gitu,” jelasnya.

Maka dari itu, Marthella dan tim membuat beberapa acara yang saling mengakomodasi baik disabilitas maupun nondisabilitas. Acara Kongkow Inklusif digelar selama empat tahun pertama Konekin berdiri. Acara ini bisa berkolaborasi dengan banyak pihak dari berbagai sektor untuk memberikan insight.

“Kita pengen kasih tahu sebenarnya lewat Kongko Inklusif X partner kita siapa, bahwa kerja di sektor ini tuh, ternyata aku harus ngambil kuliahnya jurusan ini. Nanti, cara daftarnya begini. Skill yang aku punya, soft skill-nya harus apa gitu. Jadi, sebenarnya kita bikin si Kongkow Inklusif-nya itu ber-partner dengan perusahaan-perusahaan supaya dapat dua sisinya langsung. Dari sisi supply-nya, kita bisa upskilling si teman-teman disabilitasnya. Dari sisi demand-nya, karena si perusahaan ini udah kita bawa ketemuan langsung sama teman-teman disabilitas, akan terbuka nih mindset-nya, akan terbuka juga keinginan untuk merekrutnya gitu,” katanya.

Selain itu, juga ada Program Bersikap yang sedang dikerjakan Konekin. Program ini merupakan upskilling bootcamp online bagi mahasiswa disabilitas semester 7 ke atas sampai fresh graduate maksimal 24 bulan setelah kelulusan. Program ini digelar setelah melihat data bahwa ternyata calon pekerja disabilitas yang tersedia di pasar kerja, tidak memenuhi requirement perusahaan-perusahaan besar sehingga mereka perlu untuk upgrade hal tersebut.

“Jadi, kita bikin Program Bersiap ini dengan tujuan supaya mempersiapkan teman-teman mahasiswa disabilitas untuk kondisi pekerja ketika lulus gitu. Nah, itu program yang lagi kita jalankan dari sisi supply-nya. Dari sisi demand-nya, kita punya program namanya Disability Inclusion in Business. Itu mencakup macam-macam, tapi ini memang sasarannya adalah pemberi kerjanya ya atau perusahaannya gitu. Nah, ini yang paling banyak diminati adalah disability equality training,” tambahnya.

Bukan sekadar memfasilitasi para pencari kerja, Konekin juga mewadahi para perusahaan untuk lebih tahu seluk-beluk disabilitas dan inklusivitas. Ada accessibility assessment untuk perusahaan yang dilakukan tim Konekin. Selain itu, training juga bertujuan mengubah mindset maupun pola perilaku peserta serta bagaimana caranya menyediakan akomodasi yang ramah disabilitas. 

Terbaru, Marthella menyebut bahwa Konekin mengadakan Pesta Inklusif. Menurutnya, inklusivitas akan mudah dipahami oleh banyak orang melalui cara yang menyenangkan.

6. Banyak nilai atau skill yang harus dikembangkan oleh teman-teman disabilitas

Bangun Konekin, Marthella Sirait Dukung Isu Disabilitas di Ruang KerjaDisability Equality Training TransJakarta dengan Konekin (dok. Konekin)

Proses pencarian kerja gak akan optimal ketika diri sendiri tidak berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Banyak hal yang akan dipertimbangkan perusahaan. Maka dari itu, penting mengetahui bagaimana kita harus memperbaiki dan mempersiapkan diri untuk peluang-peluang yang lebih besar.

Marthella mengungkapkan, “(Untuk bisa bersaing di dunia kerja) Yang paling penting (dimiliki) sebenarnya adalah etos kerja karena dari sisi hard skill, memang harus menyesuaikan, gak mungkin misalnya orang yang lulusan desain, kita taruh di akuntansi."

Namun, kemampuan berpikir kritis, menyelesaikan masalah, dan bekerja sama merupakan hal-hal esensi yang harus terus dikembangkan seseorang, baik iu penyandang disabilitas maupun nondisabilitas. 

“Semua HR itu akan mencari karyawan yang fit in dengan job requirement yang dia buka, kan? Jadi, memang ditanyain dulu aja seberapa fit dia dengan job requirement tersebut, baru tanyakan, ‘Oke, kamu sebagai seorang disabilitas, apa sih tantangannya yang kamu perlu kamu usahakan supaya bisa bekerja dengan baik gitu’,” paparnya dari segi pemberi pekerjaan.

Hal yang sama berlaku untuk para pencari kerja. LPDP Awardee ini menilai bahwa penting mengemukakan apa yang sebenarnya bisa dilakukan. Bentuk kontribusi terhadap perusahaan menjadi nilai tambah seseorang dibanding kandidat lain. 

“Setelah itu, baru kasih tahu bahwa, 'Saya memiliki disabilitas. Kalau misalnya Bapak Ibu bisa fasilitasin saya dengan seperti ini, saya akan bisa bekerja sama seperti yang lainnya.' Jadi, jangan put disability first, tapi kemampuannya dulu yang dikemukain gitu dan itu yang sampai sekarang juga masih sering diusahakan oleh teman-teman Konekin ke para pencari kerja disabilitas,” ucapnya. 

Tambahnya, “Dari sisi soft skill dan hard skill, sebenarnya dua-duanya, mau dia disabilitas atau nondisabilitas, sama aja sih capacity building-nya, harus terus dikembangin. Tapi dari sisi manner, moral gitu ya, aku bilangnya sih, biasanya maturity ya, kedewasaan dalam bekerja itu yang perlu dipupuk bahwa adaptability itu penting dan juga put your ability first itu penting.”

7. Kesempatan dan kepercayaan merupakan dua hal penting yang bisa membuat teman-teman disabilitas makin berdaya

Bangun Konekin, Marthella Sirait Dukung Isu Disabilitas di Ruang KerjaPesta Inklusif 2022 yang digelar Konekin (dok. Konekin)

Marthella menilai bahwa kesempatan untuk membuka potensi baru dan kepercayaan merupakan elemen penting yang mendorong teman-teman disabilitas makin berdaya. Hal ini dikemukakan Marthella karena ia melihat masalah di Indonesia berputar di situasi tersebut.

“Opsi pekerjaan itu masih sangat minim bagi teman-teman distabilitas sampai kebanyakan masih merasa bahwa entrepreneur atau berusaha sendiri adalah satu-satunya opsi bekerja dan bertahan hidup di Indonesia. Nah, itu yang Konekin berusaha lakukan bahwa giving opportunity dan trust is really important,” tegasnya.

Bagi Marthella, teman-teman disabilitas perlu diberi kesempatan yang sama. Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan, tapi kepercayaan untuk memperbaiki hal tersebut juga akan membuat mereka semakin percaya diri dan lebih maksimal dalam bekerja.

Di samping itu, Marthella juga meyakini bahwa perusahaan perlu memiliki equity. Dengan kata lain, perusahaan juga perlu menyediakan apa yang dibutuhkan agar karyawan disabilitas bisa menampilkan performa yang baik dengan karyawan nondisabilitas.

8. Melakoni peran ganda membuat Marthella harus bisa bersikap lebih terbuka terhadap berbagai kesempatan, termasuk melepaskan PNS

Bangun Konekin, Marthella Sirait Dukung Isu Disabilitas di Ruang KerjaMarthella Sirait, founder Konekin (dok. Konekin)

Melakoni peran sebagai istri, ibu, dan pekerja tentu bukan hal yang mudah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Gak bisa dimungkiri, ia merasa percuma menggaungkan soal inklusivitas kalau tidak menerapkannya sendiri.

“Aku pribadi selalu memberikan kesempatan atau kalau di Konekin, kami menyebutnya space to grow, ruang bertumbuh kepada timku yang perempuan. Aku pribadi juga sebenarnya ingin melihat timku yang perempuan ini, gak hanya bisa stand out di Konekin tapi juga di tempat lain,” imbuhnya.

Sebagai orang yang pernah berada di bawah pimpinan orang lain, ia merasa bahwa pemimpin yang baik adalah pemimpin yang sudah merasakannya terlebih dulu. Dengan kata lain, sudah terbiasa dipimpin sehingga tahu bagaimana membuat orang lain mau dipimpin dan dengan cara seperti apa yang sesuai.

Meski sempat menduduki peran yang penting sebagai PNS, ia tidak merasa menyesal melepaskan pekerjaan tersebut. Posisinya yang sudah berkeluarga membuatnya menyadari bahwa ada yang harus diprioritaskan.

“Keputusan untuk memilih satu di antara dua pekerjaan, membuatku jadi lebih bisa perform dan standout karena gak pusing memikirkan kalau harus mengerjakan dua hal. Percaya deh, pasti salah satunya ada yang keteteran (berantakan). Nah, tapi dengan mengambil keputusan ini, ya aku sekarang fokusnya di keluarga dan Konekin. Ini membuat aku lebih waras dalam bekerja, lebih bisa mengatur energi, mengatur waktu dan semua resource,” katanya.

Baginya, pemimpin perempuan memiliki perbedaan dalam hal dinamika kerja dibanding laki-laki. Namun, bukan berarti mengurangi tingkat produktivitas, melainkan harus mengatur energi sebaik mungkin untuk bisa mempertahankan produktivitas tersebut.

Pernyataan tersebut sekaligus menutup obrolan hangat dengan tim IDN Times. Dari ceritanya ini, Marthella turut menyampaikan pandangannya tentang perempuan.

“Bagiku, perempuan hebat itu adalah perempuan yang bisa menghargai dirinya sendiri secara utuh, mengetahui bahwa apa yang dia lakukan itu bermanfaat untuk dirinya, untuk keluarganya, untuk sesama jadi perempuan yang hebat juga,” sebutnya.

Terkadang, kita lupa untuk mengapresiasi diri sendiri atas apa yang sudah dilakukan. Maka dari ceritanya, Marthella ingin terus mendorong perempuan-perempuan lain agar senantiasa bahagia dan bisa bersyukur pada progres sekecil apa pun itu selama bisa bermanfaat untuk diri sendiri maupun orang lain.

Baca Juga: Farhanah Fitria, Perempuan yang Gigih Berdayakan Remaja Panti Asuhan

Topik:

  • Febriyanti Revitasari

Berita Terkini Lainnya