Kisah Nirasha Darusman Mengarungi Duka dari Depresi hingga Bikin Buku

Ia juga membangun @grieftalk.id, komunitas kedukaan pertama

Cepat atau lambat semua manusia ditakdirkan untuk bertemu dan berpisah. Kehilangan tentunya menyisakan memori yang pahit dan luka yang tidak bisa dihindari. Banyak orang masih terkungkung dalam gelapnya kehilangan, tapi banyak juga yang berhasil menemukan terang.

Selama 11 tahun kehilangan 4 anggota keluarga merupakan pukulan berat bagi Nirasha Darusman. Kegagalannya dalam memproses emosi dengan baik membuat perempuan yang akrab disapa Nira ini mengalami depresi ringan. Berkat kondisi itu, Nira menyadari bahwa perjalanan duka tidak akan pernah tuntas.

Kebahagiaan adalah segalanya dan kesedihan harus dihindari, itulah yang lazim kita temui. Namun, Nira berhasil mendobrak hal itu dengan kisah pilu yang justru ia torehkan dalam bentuk buku. Istimewanya, Nira dengan senang hati membagikan kisahnya mengarungi duka dalam obrolan hangat bersama IDN Times pada Kamis (21/4/2022) lalu.

1. Nirasha adalah grief survivor yang jatuh cinta dengan dunia tulis menulis sejak kecil. Namun, butuh puluhan tahun untuk bisa memiliki buku sendiri

Kisah Nirasha Darusman Mengarungi Duka dari Depresi hingga Bikin BukuNirasha Darusman (instagram.com/nirashadarusman)

Nira merupakan salah satu orang yang memilih mengungkapkan cerita melalui tulisan. Zaman dulu kita menyebutnya dengan buku diary. Daripada langsung meminta maaf, ia lebih memilih membuat surat permohonan maaf ketika bertengkar dengan orangtua. 

Sayangnya, Nira tak menyadari bahwa dunia tulis menulis merupakan passion-nya. Sebagai seorang anak yang baru menginjak usia remaja, saat itu Nira hanya mengikuti sang kakak yang senang dengan dunia musik dan tarik suara. Sampai akhirnya ia menyadari bahwa kemampuan tulis menulisnya kerap terasah secara natural berkat pilihan pendidikan yang ia tekuni.

“Aku merasa yang aku kenali sebagai passion itu nyanyi bukan nulis. Nulis itu kayak nomor 2, 3, 4 yang gak disadari dari dini gitulah. Pas udah besar baru merasa nyanyi bukan passion-ku. Aku SMA ambil bahasa, kuliah juga sastra jadi kayaknya kok kemampuan menulis diasah terus,” ceritanya.

Dari situlah, ia tumbuh menjadi perempuan yang bermimpi bahwa suatu saat pasti bisa mengeluarkan sebuah buku. Namun kehidupan terus berlanjut membuat Nira sempat melupakan cita-cita tersebut. Fokusnya saat itu hanyalah bertahan hidup hari demi hari.

“Seperti yang kita tahu kehidupan berjalan. Kita suka lupa dengan keinginan dan cita-cita. Ada banyak sekali opportunity lain yang bikin lupa, benar-benar lupa selupa-lupanya. Kehidupan berjalan, ganti-ganti pekerjaan, terus juga kejadian kehilangan ini dari 2007-2014,” lanjutnya.

Arah hidupnya seketika berubah ketika mendapatkan diagnosa depresi ringan pada tahun 2018. Ketika Nira belajar berdamai dengan kondisi ini, tercetuslah pikiran bahwa ia bisa menuliskan kisah pahitnya kehilangan orang terdekat dalam sebuah buku. Tahun 2021 menjadi ‘gong’ di mana ia akhirnya berhasil mengeluarkan buku berjudul “Lost and Found: Sebuah Perjalanan Mengaruhi Duka” di usia 43 tahun. 

Butuh waktu puluhan tahun untuknya bisa mewujudkan mimpi itu. Butuh juga pengorbanan untuk merasakan sakit sampai akhirnya bisa keluar dari rasa sakit. 

2. Mengabaikan kesedihan dalam hidup nyatanya membuat Nira mengalami depresi ringan

Kisah Nirasha Darusman Mengarungi Duka dari Depresi hingga Bikin BukuNirasha Darusman (instagram.com/nirashadarusman)

Selama 7 tahun (2007-2014), Nira mengalami kehilangan secara bertubi-tubi. Pertama sang adik, Tara, yang meninggal karena sakit. Kemudian disusul oleh ayah, abang, dan terakhir ibu yang dipanggil oleh Tuhan pada tahun 2014.

Akhir tahun 2017 merupakan turning point di mana Nira menyadari bahwa ia belum bisa memproses duka dengan baik selama 10 tahun terakhir. Kesedihan itu terus terakumulasi hingga tanpa sadar membuatnya tidak tenang dalam menjalani hidup. Bersyukurnya, Nira dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang peduli dan menyadari hal tersebut, sehingga mereka menyarankan Nira untuk menemui psikolog.

“Aku menderita mild depression. Ini kayak wake up call, aku harus bisa memproses grief dengan baik. Baru deh lebih clear karena selama ini kaya clouded gitu. Kasarnya aku hidup dengan survival mode aja. Benar-benar gak mindful, pokoknya survival mode karena kan duka datang bertubi-tubi,” paparnya.

Selama 10 tahun, Nira dihadapkan dengan kondisi di mana ia merasa sudah melakukan sebagaimana apa yang dilakukan orang berduka.

Nira menjelaskan, “Memang selama 10-11 tahun, i think i did what most people do when they grief. Sedihnya karena gak banyak orang memahami harusnya grief diapain. Kita terbiasa dengan society yang bilang ‘udah jangan sedih-sedih. Yang ikhlas saja”. Aku melakukan itu dan ternyata, ya, sedihnya harus sedih dulu baru kemudian bisa ikhlas.”

Banyak langkah besar yang kemudian diambil Nira dalam prosesnya berdamai dengan luka. Bukan hanya datang ke psikolog untuk terapi, Nira juga mulai rutin olahraga hingga belajar menerapkan mindfulness dalam kehidupannya sehari-hari. Banyak sekali pertanyaan tentang duka yang menghantuinya sehingga Nira mencari buku-buku tentang grief.

Hal ini mengantarkan bertemu dengan buku bergenre memoar, yang jarang ditemukan di Indonesia. Di sinilah Nira merasa bahwa ia bisa menemani banyak orang yang sepertinya melalui buku memoar.

“Jadi orang-orang ini (penulis buku_red) tuh cerita tentang pengalaman griefing mereka. Yang aku rasakan pada saat baca buku mereka itu aku merasa tervalidasi perasaaan. Kedua, aku gak merasa gila. Kadang aku mikir ‘ih gue gila kali ya’, masa griefing dari berbelas tahun sampe sekarang belum kelar. Ketiga, oh ternyata griefing itu gak papa. Intinya semua rasa tervalidasi, beberapa pertanyaan terjawab,” cetus perempuan lulusan Universitas Indonesia ini.

3. Berkat buku yang dibacanya, Nira menjadi pribadi yang lebih berani untuk terbuka menceritakan kisah pahitnya

Kisah Nirasha Darusman Mengarungi Duka dari Depresi hingga Bikin BukuNirasha Darusman (instagram.com/nirashadarusman)

“Aku harus berterima kasih pada buku memoar berbahasa inggris yang aku baca sebelumnya karena mengajarkan aku banyak hal. Bukan hanya proses grief aja tapi juga menulisnya,” sebut Nira.

Sebagai orang yang berduka, Nira merasa menjadi victim dan anti dikasihani oleh orang lain. Namun, buku tersebut membukakan mata batin Nira bahwa ketika diri sendiri memilih untuk take action menjadi story teller, maka ia bukan lagi victim. Di titik itulah, Nira punya kekuatan besar untuk fokus berbagi perjalanan dukanya dalam sebuah buku bergenre memoar.

Gak cuma sekadar menuangkan cerita dalam kalimat, Nira serius mempelajari bagaimana cara menulis yang baik. Claire Bidwell Smith merupakan penulis buku tentang grief, juga seorang grief therapist yang membuat Nira berkomitmen lebih mengenal dunia memoar melalui kursusnya. Semua dilakukan Nira demi menemani orang lain yang berduka.

Perjalanan menulis Nira bak naik turun gunung yang terjal. Bayangkan pengalaman atau memori buruk di masa lalu harus terkuak kembali. Ketika ditanya perihal kendala dalam menulis, Nira mengaku masih beradaptasi dengan segala memori yang sebenarnya gak ingin dia ingat.

Ia pun menuturkan, “Sehari-hari bayangin aku harus kembali ke peristiwa itu, nah itu berat banget. Sebenernya aku gak mau inget itu, aku pengen inget yang seneng aja, memori indah sama mereka. Terutama memori saat mereka dipanggil itu masih perih sampai sekarang. Tapi sekali lagi aku udah komitmen. Ya memang susah, kadang aku harus berhenti karena aku nangis tersedu sedu, berhenti, istirahat, dan aku mulai lagi. Menurutku, ketika aku sampai bisa ikutan nangis, aku jujur. Ketika aku jujur, aku berharap pembaca bisa merasa kalau itu jujur. Semoga mereka dapat pesannya.”

Bagi perempuan yang berprofesi sebagai konsultan ini, menyetir narasi cerita memberinya kekuatan yang besar. Ketika ia mampu menerima keadaan, maka ia juga mampu menceritakan kisahnya untuk membantu orang lain bangkit dari kejatuhan.

Ia melakukannya semata-mata karena merasa terbantu ketika ia membaca perjalanan duka orang lain. Untuk itu, Nira juga aktif berbagi edukasi atau informasi seputar grief melalui laman media sosialnya.

Baca Juga: 9 Tahun Pakai Kutubaru dan Batik, Ini Cara Wisni Tunjukkan Jati Diri

4. Ungkapan atau nasihat positif yang diberikan kamu berikan bisa jadi sangat dihindari oleh orang yang berduka

dm-player
Kisah Nirasha Darusman Mengarungi Duka dari Depresi hingga Bikin BukuNirasha Darusman (instagram.com/nirashadarusman)

Ketidaktahuan seseorang dalam bertutur kata dan bersikap kepada orang yang sedang berduka kadang kala semakin menorehkan luka. Mungkin orang lain bermaksud baik untuk menghibur atau memberimu semangat. Nyatanya hal ini berbanding 180 derajat dengan apa yang dirasakan mereka yang sedang berduka.

Nira mengatakan bahwa sebenarnya ada beberapa kata atau kalimat yang berkonotasi posotif tapi dihindari oleh mereka yang berduka. Pertama, “jangan sedih ya”, kalimat tersebut kerap muncul ketika ada seseorang yang berduka padahal mereka yang berduka tidak membutuhkan kalimat itu.

Nira mengutarakan, “Emosi sedih itu kan memang sudah terlalu lama dianggap sebagai emosi negatif. Nah emosi negatif ini dihindari sama masyarakat pada umumnya, sehingga kalau kita menangis itu dianggap negatif dan bikin susah orang. Akhirnya kata-kata yang keluar adalah jangan sedih-sedih.”

Yang kedua adalah “ikhlasin aja”. Nira menjelaskan sebenarnya ungkapan tersebut berupa nasihat yang positif tapi menurutnya butuh waktu dan proses. Mau bagaimana pun keadaannya, manusia akan melewati beberapa fase duka dalam hidupnya dengan waktu yang gak bisa ditebak.

“Ngebayangin orang yang selalu sama kita mendadak gak ada dan semua rasa yang kita punya sama orang ini, cinta, sayang itu sebesar ini terus mau diapain? Orangnya gak ada. Akhirnya berubah jadi duka. Ketika kita lagi berduka terus orang ngomong ikhlasin aja itu gak bisa. Dukanya harus diproses baru bisa ikhlas. Kalimat itu paling aku hindari. Yang pertama jangan sedih, yang kedua ikhlas aja,” sahutnya.

Terakhir, Nira berharap tidak mendengar kalimat “ini yang terbaik”. Ia lanjut menjelaskan, “Kalau misalnya diucapkan bertahun-tahun setelah kehilangan mungkin gak papa. Tapi kalau baru kejadian, ya gak bisa dibilang ini yang terbaik. Kita pasti merasa enggak, ini bukan yang terbaik.”

5. Di balik gelapnya dunia, Nira mampu menemukan setitik terang yang melingkupi hidupnya

Kisah Nirasha Darusman Mengarungi Duka dari Depresi hingga Bikin BukuNirasha Darusman (instagram.com/nirashadarusman)

Nira melewati banyak fase dalam hidupnya, mulai dari denial hingga acceptance. Untuk mencapai titik penerimaan diri pun gak semudah mengedipkan mata. Dari perjalanan ini, Nira melihat bahwa ada banyak hal positif yang bisa ditemukan dari suatu kejadian pahit.

“Seberapa kompleks, mudah, atau sulitnya cara orang itu pergi, pasti kita yang deket punya rasa penyesalan. Itu pasti ada. Ketika menyesal akhirnya ada rasa bersalah terhadap diri sendiri. Aku kehilangan 4 orang dengan cara yang berbeda-beda. Aku akhirnya menyimpulkan bahwa aku punya regret sama mama, papa, abang. Tara. Artinya mau gimana pun kehilangannya, regret itu pasti ada. Kita jangan terlalu keras sama diri sendiri,” ungkapnya.

Kehilangan dan penyesalan itu satu paket yang gak mungkin terpisah. Perasaan ini normal dan pasti akan terjadi pada setiap kita yang kehilangan. Nira pun menjelaskan bahwa kehilangan itu gak melulu tentang seseorang, ada pula yang kehilangan pekerjaan atau hubungan. 

“Don't be too hard to yourself karena aku selalu bilang di temen-temen support group bahwa lost and regret itu satu paket. If you lose something or somebody, yaudah kita embrace aja regret itu jadi pelajaran untuk selanjutnya dan gak muter di regret,” tutur ibu dua anak ini.

Dari dukanya, Nira mampu melihat bahwa semua adalah takdir. Sempat ada perasaan bersalah seolah ia dihukum oleh Tuhan karena seluruh anggota keluarganya dipanggil. Akan tetapi, Nira belajar menyadari bahwa ini semua bukan salah siapa pun dan sudah menjadi suratan dari Tuhan.

Perjalanan ini juga mengajarkannya untuk bisa memanfaatkan waktu sebaik mungkin karena Nira tahu bila hidup ini singkat. Nira mengatakan bahwa hidup ini cuman sekali. Jangan sampai kamu menyesal pada diri sendiri karena pernah tidak melakukan suatu hal.

Nira juga sempat mengalami secondary grief. Menurutnya, secondary grief adalah kesedihan yang dirasakan sebagai akibat dari kepergian orang-orang terkasih. Titik ini adalah titik balik Nira yang belajar bahwa raganya mungkin gak ada, tapi spirit mereka masih ada.

6. Ia membangun support group sebagai wadah yang aman untuk saling bertukar cerita tentang perjalanan duka

Kisah Nirasha Darusman Mengarungi Duka dari Depresi hingga Bikin BukuGrief Talk (instagram.com/grieftalk.id)

Tahun 2020, Nira memberanikan diri untuk membangun support group khusus kedukaan. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebutuhannya untuk bisa bertukar cerita dengan orang lain, sekaligus tidak memendam perasaan sendiri.

“Aku memahami sebenarnya yang kita butuhkan itu cuma teman ngobrol. Curhat aja misalnya kalo lagi kangen. Alhamdulillah aku sudah menerima sepenuhnya tapi tetap ada aja hari-hari di mana aku kangen dan keinget. Kalau aku ngomong sama suami kasihan dia juga. Tapi kalau kita ngomong sama orang yang paham pasti akan lebih nyaman dan orang itu akan meresponsnya lebih tepat karena berempati. Paling tidak orang yang pernah merasakan itu tahu bahwa sebenarnya kita ini cuman butuh didengerin aja, makanya aku bikin support group ini,” ujar Nira menjelaskan alasan berdirinya platform @grieftalk.id.

Pertemuan ini dilakukan secara online selama dua kali dalam sebulan. Nira berharap ke depannya platform ini bisa jadi wadah informasi untuk orang lebih aware terhadap duka. Melalui support group ini justru Nira menemukan kekuatan baru yang ia dapatkan dari kisah orang lain.

“Aku pikir aku adalah orang yang paling susah hidupnya, tragis banget ceritanya. Ternyata enggak, itu mungkin sebuah pembelajaran bahwa aku gak sendirian. Banyak orang-orang yang mengalami hal ini dan kita bisa bangkit bersama. Kita bisa berpegangan tangan dan saling menguatkan. Kita kuat begini kan gak terus-terusan.  Kadang2 bisa juga pas lagi down, ada teman yang nguatin. Itu sih kekuatan sebuah komunitas itu ternyata wow,” pungkas perempuan berambut ikal ini.

Bicara soal pandemik, Nira yang memiliki trauma kehilangan, sempat merasa terguncang secara emosional karena trigger dari berita-berita yang kerap muncul. Namun pengalamannya di masa lalu menjadikan Nira lebih pintar dalam mengelola emosi dan tahu apa yang harus dilakukannya. Pandemik menyerang, Nira justru menemukan blessing in disguise. 

“Memang berita-berita itu cukup menjadi trigger-ku karena punya trauma. Cuma karena aku lebih pinter, aku jadi udah tahu cara mengelolanya,” ucapnya.

“Justru aku merasa dengan pandemik ini blessing in disguise-nya adalah orang jadi lebih sadar akan mental health. Aku jadi gak perlu teriak teriak sendirian. Dulu kalau ngomongin mental health itu kayak lebih susah gitu,” lanjut Nira.

7. Meneruskan pesan dari sang ibu, inilah yang perlu perempuan tahu dan lakukan

Kisah Nirasha Darusman Mengarungi Duka dari Depresi hingga Bikin BukuNirasha Darusman dan keluarga (instagram.com/nirashadarusman)

Bicara soal duka, Nira menganggap bahwa selama ini ia sudah berdamai dengan hal itu. Namanya luka pasti ada bekas yang gak bisa hilang. Itulah mengapa Nira melihat healing sebagai perjalanan seumur hidup.

“Berdamai itu kayak ngejahit doang tapi kan bekas lukanya tetap ada. Si lukanya itu akan hilang kalau kita udah gak ada. Kita bisa sembuh ya nanti kalau kita udah gak ada. Jadi ya memang berdamai bahwa duka itu ada, sebenernya lebih ke situ. Bukan mencoba untuk menghilangkan duka.” katanya.

Sebagai perempuan, Nira juga ingin menyampaikan pesan yang ia teruskan dari ibunya. Selama ini perempuan itu kerap dipandang sebelah mata. Nira menyebut bahwa menjadi perempuan itu susah karena selalu dapat kesempatan nomor dua terus. 

“Hidup perempuan itu sulit karena memang dunia ini keras untuk perempuan. Jadi memang kita harus selalu berjuang karena keras. Kita lebih pandai daripada laki-laki karena kita punya kepandaian mengelola emosi dibanding laki-laki,” katanya meneruskan pesan sang ibu.

Budaya patriarki memang masih ada tapi sebenarnya perempuan itu punya keunggulan. Nira mengungkapkan bahwa laki-laki itu selalu dituntut untuk kuat, tidak boleh menangis, dan harus bertanggung jawab pada keluarga. Padahal laki-laki termasuk manusia juga, kan?

“Jadi kita sebagai perempuan, kita harus merangkul laki-laki. Kalau misalnya ada teman laki-laki yang berduka, kita harus bisa rangkul mereka. Kalau bukan kita yang berempati, siapa lagi?” Imbuh Nira seraya menutup obrolan hangat ini.

Begitulah kisah inspiratif Nirasha Darusman, grief survivor, yang jatuh bangun mengarungi duka hingga akhirnya mampu bangkit, dan memilih untuk berdampak bagi orang lain. Semoga kisah ini juga bisa menemanimu yang sedang berusaha berdamai dengan luka.

Baca Juga: Kisah Tangguh Founder Little Heroes Asuh Anak Berpenyakit Langka

Topik:

  • Pinka Wima

Berita Terkini Lainnya