Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ditta Amelia: dari Layoff hingga Temukan Diri Lebih Utuh Lewat Karya

1 grid.jpg
Ditta Amelia Saraswati (dok. pribadi)
Intinya sih...
  • Ditta Amelia mengalami layoff namun justru menemukan arah baru dalam dunia kreatif
  • Awalnya suka gambar, Ditta kini menjadi desainer grafis, penulis, komikus internet, dan selebgram aktif
  • Menulis dan menggambar menjadi terapi personal bagi Ditta untuk melewati berbagai fase kehidupan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Di tengah dunia yang penuh ketidakpastian, kehilangan pekerjaan bisa menjadi salah satu titik balik paling berat dalam hidup seseorang. Banyak yang merasa runtuh ketika harus berhadapan dengan fase ini, tetapi ada pula yang justru menemukan arah baru dari sana. Kreativitas, pada banyak kasus, menjadi jalan untuk bertahan sekaligus membangun kembali makna hidup.

Ditta Amelia Saraswati adalah salah satunya. Mengalami layoff tidak membuatnya berhenti, justru membuka ruang baru untuk mengeksplorasi diri lewat seni, tulisan, dan platform yang ia ciptakan. Dari desain grafis, ilustrasi, hingga kepenulisan, Ditta menjadikan kreativitas sebagai bahasa untuk menyuarakan keresahan sekaligus merangkul kembali harapan.

Kecintaannya pada dunia kreatif tidak hanya hadir lewat karya visual dan buku, tetapi juga melalui platform yang ia bangun sebagai ruang berbagi. Bagi Ditta, seni adalah cara untuk memahami dunia sekaligus dirinya sendiri. Pada Jumat (27/9/2025), IDN Times berkesempatan untuk berbincang dengannya untuk menggali lebih jauh perjalanan, inspirasi, hingga nilai hidup yang ia temukan lewat seni dan kepenulisan.

1. Melewati perjalanan hidup yang penuh cabang dan menjadi pribadi yang multidimensi

IMG_0301.JPG
Ditta Amelia Saraswati (dok. pribadi)

Bagi banyak orang, layoff bisa menjadi titik jatuh yang menyakitkan. Namun bagi Ditta Amelia, momen itu justru menjadi pintu masuk untuk kembali menekuni dunia kreatif yang selama ini selalu dekat dengannya. Alih-alih terpuruk dalam waktu lama, ia memilih menjadikan kehilangan pekerjaan sebagai kesempatan untuk merangkai arah baru dalam hidupnya.

Kini, Ditta hadir sebagai sosok multidimensi: seorang desainer grafis, penulis, komikus internet, sekaligus selebgram yang aktif berbagi karya dan ide. Kesehariannya pun dipenuhi dengan beberapa aktivitas, seperti menulis naskah buku yang sedang dalam proses revisi, menjalankan podcast bertema anime dan pop culture Jepang, hingga mengisi waktu dengan berbagai proyek kreatif sebagai content creator dan freelance project manager. Semua cabang aktivitas itu bukan sekadar kesibukan, melainkan cara Ditta membangun dirinya kembali setelah fase sulit.

"Jadi, kebetulan aku baru kena layoff beberapa bulan lalu. Akhirnya aku mulai kembali lagi jadi content creator. Terus aku juga sedang menulis tiga naskah buku baru, dua di antaranya lagi direvisi. Selain itu, aku juga lagi bikin podcast sama temen aku, temanya tentang anime, pop culture Jepang, dan semacamnya," tuturnya.

2. Dari crayon ke karya-karya buku yang berhasil diterbitkan

IMG_3589.JPG
Ditta Amelia Saraswati (dok. pribadi)

Berawal dari ketertarikannya pada warna, Ditta kecil sudah terbiasa menghabiskan waktu dengan pensil warna dan crayon. Dari situ, ia mulai rajin membaca, mulai dari komik hingga majalah anak-anak. Minat itu terus berkembang hingga akhirnya membawa Ditta menyalurkan ekspresinya lewat tulisan.

"Awalnya banget itu aku suka gambar. Karena kalau anak kecil kan ngeliat warna-warna itu menarik ya, kayak pensil warna, crayon, dan semacamnya. Terus aku juga mulai suka baca. Dari bacaan yang sedikit-sedikit itu aku jadi pengen lebih banyak lagi, sampai akhirnya mulai baca novel dan semacamnya," ujarnya.

Kebiasaan menulis pun dimulai sejak SMP, lewat blog pribadi yang menurutnya menjadi ruang untuk berbagi isi hati tanpa batas. "Waktu SMP aku juga bikin blog. Rasanya keren, bisa overshare ke seluruh dunia," kata Ditta sambil tertawa.

Rasa pemalu serta kesulitannya mengekspresikan diri secara verbal justru membuatnya semakin nyaman menjadikan tulisan sebagai medium utama. Dari situ lahirlah karya pertamanya, Hello Goodbye, yang ia anggap sebagai pencapaian pribadi. "Awalnya aku bikin buku sebagai pencapaian pribadi. Maka aku bikin buku Hello Goodbye. Waktu itu masih cetak indie, ngurus sendiri percetakannya, jual online juga. Dari situ akhirnya aku jadi penulis buku," jelasnya.

Kini, perjalanan itu berlanjut dengan karya-karya lain seperti Book of Wandering, Blue Serenade, dan Sunny Days. Baginya, setiap buku yang lahir menjadi bukti bahwa dunia gambar dan tulisan selalu punya jalan untuk saling bertemu.

3. Menulis dan menggambar menjadi media terapi personal

IMG_3598.JPG
Ditta Amelia Saraswati (dok. pribadi)

Bagi Ditta, dunia menulis dan menggambar tidak hanya berhenti pada penciptaan karya. Lebih dalam dari itu, keduanya menjadi ruang terapi personal yang membantunya melewati berbagai fase kehidupan. Saat kata-kata sulit diucapkan secara langsung, tulisan memberinya wadah untuk berbicara jujur dengan dirinya sendiri. Menulis menghadirkan kelegaan, karena setiap kalimat yang lahir adalah bentuk kejujuran emosional yang mungkin tidak bisa ia ungkapkan secara verbal.

"Menulis juga jadi cara aku untuk release emosi. Kadang ada hal-hal yang pengen disampaikan, tapi kalau diomongin rasanya nggak enak. Jadi aku tuangkan ke tulisan. Makanya menulis dan menggambar juga jadi terapi buat aku."

Sementara menggambar, menurut Ditta, memiliki nuansa berbeda. Jika tulisan cenderung bersifat intim dan personal, maka gambar terasa lebih universal. Karya visual dapat dinikmati siapa pun, dan setiap orang bisa menafsirkan maknanya dengan cara yang berbeda. Dari situ, ia melihat bahwa menggambar adalah sebuah proses perkembangan, bukan hanya dari segi teknik, tetapi juga perjalanan batin yang turut membentuknya.

"Ada banyak release yang bisa aku rasakan juga lewat tulisan. Soalnya kalau gambar itu kan bisa dinikmati banyak orang, sedangkan tulisan kadang lebih personal. Ada tulisan yang memang pengin keep for myself. Kalau orang gak suka dengan tulisan tertentu, buat aku gak masalah. Karena tulisan itu bagian dari perjalanan aku juga. Sementara kalau gambar, aku lebih melihatnya sebagai progress," lanjutnya.

Baginya, menulis dan menggambar adalah dua sisi yang saling melengkapi. Tulisan menjadi cermin pribadi yang ia simpan sebagai pengingat perjalanan, sementara gambar menjadi medium yang lebih luas untuk berbagi dengan orang lain. Keduanya memberi ruang bagi Ditta untuk merayakan emosi, menyembuhkan diri, sekaligus meninggalkan jejak yang bisa dikenang.

4. Cara unik Ditta membagi dan 'membentuk' waktu serta energi

IMG_3126.JPG
Ditta Amelia Saraswati (dok. pribadi)

Di tengah banyaknya aktivitas yang dijalani, mulai dari menulis, menggambar, mengelola platform, hingga membuat konten, Ditta punya cara unik dalam mengatur waktunya. Alih-alih mencoba multitasking, ia lebih memilih fokus pada satu hal dalam satu periode. Baginya, bekerja dengan sistem ini membuat proses kreatif terasa lebih efektif dan tidak melelahkan.

"Aku lebih ke sistem fokus. Misalnya, kemarin kebetulan aku lagi fokus gambar, yaudah aku gambar doang. Terus nanti ganti, misalnya aku mau nulis dulu, ya aku fokus nulis. Let's say dalam seminggu aku nulis aja. Setelah itu aku luangin waktu lagi untuk gambar, lalu untuk develop konten, dan semacamnya."

Ditta juga memandang manajemen waktu bukan sekadar membagi jam dalam sehari, melainkan soal bagaimana membentuk waktu berdasarkan prioritas. Ia lebih menekankan pada tanggung jawab utama di setiap fase, sehingga energi bisa tercurahkan dengan penuh tanpa terbagi-bagi. Prinsip ini membuatnya lebih terarah sekaligus terhindar dari rasa kewalahan.

"Jadi, bukan membagi waktu, tapi lebih ke membentuk waktunya. Aku ngaturnya pakai skala prioritas. Terus lihat lagi, tanggung jawab aku paling besar di mana, ya aku kerjain itu dulu, baru yang lain-lainnya," katanya

Selain soal teknis pengaturan waktu, menjaga energi juga menjadi hal yang tak kalah penting. Ditta percaya bahwa tubuh dan pikiran yang sehat adalah fondasi untuk bisa terus berkarya. Karena itu, ia berusaha untuk tidak memaksakan diri, tetap mencari inspirasi dari lingkungan sekitar, dan membiarkan dirinya beristirahat ketika dibutuhkan. Dengan begitu, setiap periode fokus yang ia jalani bisa menghasilkan karya yang maksimal.

5. Dalam berkarya, penting untuk menerapkan 'the art of noticing'

IMG_6389.JPG
salah satu karya Ditta Amelia Saraswati (dok. pribadi)

Bagi Ditta, inspirasi tidak harus datang dari hal-hal besar. Justru, sering kali ide lahir dari hal-hal sederhana yang terjadi di sekitar: obrolan sehari-hari, musik yang baru didengar, atau komik baru yang ia baca. Ia menyebutnya sebagai the art of noticing, sebuah seni untuk menangkap detail kecil yang biasanya terlewat, lalu mengolahnya menjadi karya yang punya makna.

"Selain itu, aku juga nge-consume hal-hal yang bisa memicu kreativitas. Misalnya lagi males nulis atau gambar, aku baca komik baru."

Keterbukaan pada hal-hal kecil ini membuat Ditta tidak pernah benar-benar kehilangan bahan untuk berkarya. Ia percaya bahwa kreativitas tidak bisa dipaksa, melainkan perlu dirawat lewat kepekaan. Karena itu, setiap interaksi dan percakapan sehari-hari bisa menjadi pemantik ide baru.

Ia menambahkan, "Menurut aku, inspirasi sebenarnya datang dari Tuhan. Tinggal kita aja mau peka sama sekitar atau nggak. Aku baru sadar hal ini setelah bertahun-tahun berkarya, bahwa inspirasi seringkali datang dari hal-hal terdekat di sekitar kita."

Selain itu, dukungan dari komunitas dan teman-teman sesama seniman juga berperan besar. Diskusi ringan atau brainstorming bersama bisa menghadirkan sudut pandang segar yang menghidupkan kembali semangat berkarya, terutama ketika ide mulai terasa stagnan. Dengan menerapkan the art of noticing, Ditta belajar bahwa inspirasi sejati bukan hanya tentang mencari sesuatu yang baru, tetapi juga bagaimana kita memandang kembali hal-hal sederhana dengan mata yang berbeda.

6. Bagi Ditta, seni pun bisa menjelma menjadi sebuah ruang harapan

IMG_6396.JPG
salah satu karya Ditta Amelia Saraswati (dok. pribadi)

Dalam perjalanan kreatifnya, Ditta melihat seni bukan hanya sebagai media ekspresi, tetapi juga ruang untuk menghadirkan harapan. Ia banyak menyuarakan keresahan sosial melalui karya desain dan ilustrasinya. Namun, alih-alih menyalurkan kemarahan, ia memilih menghadirkan representasi yang lebih lembut, sesuatu yang bisa menyentuh tanpa harus menakut-nakuti.

"Jadi, aku merasa orang lain kan banyak yang speak up lewat video dan semacamnya. Tapi aku merasa tidak semua kemarahan itu harus ditampilkan dengan sesuatu yang harmful juga," kata Ditta.

Filosofi ini lahir dari pandangan Ditta tentang realita. Menurutnya, hidup sudah cukup keras, penuh teror dan kecemasan. Maka, karya seni baginya adalah cara untuk menyeimbangkan, sebuah penawaran harapan di tengah situasi yang tidak selalu ramah.

"Aku merasa bahwa, mungkin kita tuh sebenarnya masih punya harapan. Jadi aku lebih pengen menunjukkan hope yang kita punya, dibanding menyuarakan sesuatu yang bikin orang jadi takut. Karena kita sendiri sudah hidup di realita yang penuh teror."

Gambaran itu ia ibaratkan seperti bunga yang tumbuh di tengah hutan yang habis dilalap api. Ada keindahan yang muncul bahkan dalam kondisi paling suram. Itulah yang ingin ia sampaikan lewat karyanya: bahwa masih ada hal baik yang patut diperhatikan dan dirayakan. Dengan cara ini, seni bagi Ditta bukan hanya wujud ekspresi atau kritik, tetapi juga ruang harapan yang bisa menguatkan orang lain untuk tetap percaya pada kemungkinan yang indah.

7. Pesan Ditta: if it's meant to you, it will back to you.

IMG_5918.JPG
Ditta Amelia Saraswati (dok. pribadi)

Dalam perjalanan hidupnya yang penuh cabang, ada banyak titik ketika ia merasa harus mencoba hal baru, meski belum tahu apakah akan berhasil atau justru menemui jalan buntu. Namun dari semua proses itu, ia belajar bahwa setiap langkah, sekecil apa pun, tetap berharga.

"Jadi aku ngerasa buat semua orang: jangan pernah ragu buat coba. Apapun itu, dicoba dulu aja. Karena untuk jadi ahli pun, semuanya awalnya amatir. Nggak ada yang langsung jago. Aku ngerasa everything tuh eventually bakal menjadi baik juga. Jadi aku ngerasa: If it's meant to you, it will back to you," pungkasnya.

Pesan sederhana ini menjadi filosofi yang menuntun Ditta dalam berkarya maupun menjalani hidup. Baginya, kesempatan tidak akan pernah benar-benar hilang jika memang ditakdirkan untuk seseorang. Karena itu, ia ingin mendorong orang lain agar tidak takut untuk memulai, sebab setiap perjalanan besar selalu dimulai dari keberanian untuk mengambil langkah pertama.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima Wima
EditorPinka Wima Wima
Follow Us

Latest in Life

See More

5 Hal yang Harus Kamu Antisipasi saat Hubungan Mulai Hambar

30 Sep 2025, 20:17 WIBLife