Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Hayu Hamemayu, Jurnalis yang Merajut Mimpi Lewat Buku Anak

Hayu Hamemayu, penulis buku anak Dimdum Mau Mandi. (instagram.com/toko.gumi)
Hayu Hamemayu, penulis buku anak Dimdum Mau Mandi. (instagram.com/toko.gumi)
Intinya sih...
  • Hayu Hamemayu, jurnalis yang mewujudkan mimpi pribadi menjadi penulis buku anak
  • Buku "Dimdum Mau Tidur" dan "Dimdum Mau Mandi" mengajak anak berpikir kritis
  • Tantangan menulis buku anak bagi seorang jurnalis dan kesadaran literasi di Indonesia
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Kesadaran akan pentingnya literasi bagi anak, terus menunjukkan tren peningkatan. Fenomena ini tidak hanya mencerminkan pergeseran pola pikir orangtua dan pendidik, tetapi juga menandakan tumbuhnya kepedulian masyarakat terhadap kualitas pendidikan sejak dini.

Orangtua juga menunjukkan geliat positif untuk menghadirkan bacaan berkualitas yang mendukung tumbuh kembang anak. Kondisi ini memicu pertumbuhan di industri penerbitan buku anak yang menghasilkan karya-karya inovatif dan kreatif.

IDN Times berkesempatan melakukan wawancara eksklusif bersama Hayu Hamemayu, penulis buku anak "Dimdum Mau Tidur" dan "Dimdum Mau Mandi" (26/6/2025) secara daring. Penulis dengan latar belakang jurnalis ini, mengungkapkan pandangan menarik terkait literasi anak dan proses kreatif penulisan buku terbarunya. Tantangan yang dihadapi seorang jurnalis ketika harus mengolah imajinasi dalam buku fiksi ini, turut disampaikan oleh perempuan yang akrab disapa Hayu.

1. Mencintai buku sejak kecil, Hayu berupaya mewujudkan mimpi pribadi yang ia pikir tak penting

Halo Sobat Gumi! Jalan-jalan ke pasar mingguPulangnya membeli dimsumKenalan sama Kak Hayu, yukSi-2.jpg
Hayu Hamemayu, penulis buk uanak Dimdum Mau Mandi. (instagram.com/toko.gumi)

Hayu mengawali karier sebagai seorang jurnalis. Ia mahir dalam mengembangkan karya feature dan jurnalistik dengan narasi yang lugas serta informatif, jauh dari dunia fiksi yang penuh imajinasi. Akan tetapi, kecintaannya terhadap dunia kepenulisan telah tumbuh sejak kecil, jauh sebelum ia berkecimpung dalam profesi tersebut.

Pengalaman berkarya di media seperti The Jakarta Post, menjadi Editor The Conversation, serta menjadi edukator, merupakan fondasi utama untuknya memperdalam isu sosial humaniora. Dengan latar belakang jurnalistik yang kuat, ia menghadirkan tulisan yang tajam berbasis riset dan fakta.

"Jadi, sebenarnya kalau dirunut jauh ke belakang gitu ya, itu kecintaan saya sama dunia tulis-menulis tuh sudah dari kecil, dan itu memengaruhi pilihan-pilihan karier yang saya ambil gitu sampai sekarang," ceritanya.

Di balik kesuksesannya sebagai seorang jurnalis, perempuan yang tumbuh di Yogyakarta tersebut, ternyata menyimpan mimpi-mimpi personal yang terkesan sederhana, namun bermakna. Keinginan untuk melihat namanya terpampang di rak toko buku, justru menjadi mimpi yang mampu menghidupkan semangatnya untuk terus berkarya dan menghadapi berbagai tantangan.

"Kalau saya sebenarnya secara personal itu, punya mimpi-mimpi pribadi yang gak penting. Misalnya, saya ingin lihat bukuku di toko buku atau saya ingin lihat nama saya di koran. Nah, kayaknya itu mimpi-mimpi kecil yang menggerakkan saya. Setelah berhasil menerbitkan kumpulan cerpen, terus di Swedia saya menerbitkan novel dewasa, bukan anak, saya jadi merasa punya tantangan baru," imbuhnya.

Keluar dari zona nyaman, Hayu memilih untuk menekuni dunia literasi di luar dari karier profesionalnya. Setelah sukses menerbitkan kumpulan cerpen, ia menantang diri untuk melangkah lebih jauh memantik keberanian untuk menjangkau mimpi yang lebih besar, yakni menjadi seorang penulis buku anak.

Keinginan untuk menjadi penulis buku kembali didorong oleh mimpi yang terbilang sederhana, yakni ingin membacakan buku karyanya kepada buah hatinya. Dari keinginan itu, Hayu mulai melebarkan sayap sebagai penulis fiksi untuk buku anak-anak. Perjalanan ini dimulai sejak ia pindah ke Swedia.

Ia berbagi, "Pas pindah ke Swedia itulah, justru saya mendapatkan space untuk mengembangkan karier penulisan saya. Karena di sana, saya berkesempatan untuk benar-benar belajar. Sebelum itu, saya sudah menerbitkan cerpen, kumpulan cerpen segala macam, tapi gak ada training yang serius. Semua belajarnya sambil lalu."

Kisah Hayu mengajarkan bahwa sebuah karya adalah wujud keberanian untuk bermimpi lebih jauh. Kisahnya memberi perspektif baru bahwa mimpi sederhana bisa menjadi fondasi perjalanan luar biasa.

2. Hayu perkenalkan buku Dimdum Mau Tidur dan Dimdum Mau Mandi sambil mengajak anak berpikir kritis

Halo Sobat Gumi! Jalan-jalan ke pasar mingguPulangnya membeli dimsumKenalan sama Kak Hayu, yukSi.jpg
Hayu Hamemayu, penulis buk uanak Dimdum Mau Mandi. (instagram.com/toko.gumi)

Koleksi buku anak karya Hayu "Dimdum Mau Tidur" dan terbaru, "Dimdum Mau Mandi" merupakan karya fiksi yang mengangkat tema kebiasaan dasar anak, yakni tidur dan mandi. Karya ini dituturkan dari sudut pandangan anak serta digambarkan melalui ilustrasi yang imajinatif. Tujuannya adalah mendorong kemandirian anak untuk belajar melakukan kebutuhannya sendiri.

Dimdum akan menjadi karakter yang menjawab masalah sehari-hari bagi buah hati. Sosok ceria namun punya banyak pertanyaan kritis ini, sering kali penasaran, mengapa orang harus melakukan aktivitas seperti tidur dan mandi. Melalui petualangan Dimdum, anak-anak juga akan mengetahui mengapa perlu mandi dengan cara tertentu. Menariknya, koleksi fiksi ini akan menggali rasa ingin tahu anak, namun juga memberi pencerahan terkait kegiatan yang dilakukannya sehari-hari.

"Kalau misi utama saya, saya hanya ingin buku yang saya tulis itu bisa membantu anak-anak menemukan jawabannya sendiri dan mungkin membantu orangtua menjelaskan ke anak juga jawaban atas pertanyaannya. Karena menurut saya, it's part of the learning process dan ketika orangtua kadang sudah overwhelmed dengan pekerjaan atau sudah capek untuk menjawab, bukunya itu bisa jadi solusi," tutur Hayu.

Hayu menambahkan, narasi dalam buku koleksi Dimdum dikreasikan agar saat dibaca, anak-anak itu mengalami moment revelation. Artinya, ketika mengikuti petualangan Dimdum, anak akan mendapat pengalaman krusial yang membentuk presepsinya terhadap sesuatu.

Misalnya masalah mandi. Anak mungkin berpikir, bisa saja mandi pakai pasir. Akan tetapi, kok kotor ya? Atau, bisa saja mandi pakai bunga. Wangi, tapi kelopaknya menempel di mana-mana. Hal itu berarti ada logika yang coba dibangun buat anak dengan umurnya yang masih kecil untuk kemudian menyadari bahwa memang mandi itu harus pakai air.

Selain tujuan personal tersebut, Hayu menyampaikan, "Kenapa saya selalu berusaha untuk melibatkan perspektif anak-anak di dalam cerita-cerita yang saya tulis? Karena banyak buku itu kan sudut pandangnya orangtua. Kamu harus gini, kamu harus gitu. Kenapa gini? Karena memang ya harusnya gitu. Nah, logika-logika semacam itu kan menurut saya memang belum dimiliki anak karena perkembangan otaknya belum sampai di situ. Jadi, ingin sekali bisa punya buku yang sudut pandangnya pada anak."

Oleh karenanya, Hayu menyoroti kegiatan atau aktivitas sehari-hari anak seperti mandi dan tidur sebagai bagian penting dalam kehidupan mereka. Melalui aktivitas tersebut, Hayu juga berupaya memupuk curiosity dan critical thinking.

Proses kreatif yang dilakukan kurang lebih berlangsung selama 1 tahun untuk sejak proses submit naskah hingga ilustrasi dan pengembangan naskah. Namun, cerita ini sudah digarap sejak masa pandemik COVID-19. Artinya, naskah yang ditulis untuk sebuah bacaan anak, telah memlalui proses kreatif yang panjang.

3. Tantangan menulis buku anak bagi seorang jurnalis

Dimdum ingin mandi, tetapi bingung dan banyak sekali hal yang ingin ditanyakan.Kenapa harus mand.jpg
buku anak Dimdum Mau Mandi. (instagram.com/toko.gumi)

Ketika Hayu memutuskan menetap di Swedia, langkah itu tidak hanya menjadi awal dari babak baru kehidupannya, tetapi juga pintu masuk ke dunia kepenulisan fiksi. Ia mulai menggodok buku anak pertamanya, "Dimdum Mau Tidur". Pengalamannya sebagai jurnalis, memberi warna yang berbeda dalam proses kreatifnya.

Hayu mengaku, proses berpikir kritis yang terbiasa mempertanyakan banyak hal terkait informasi yang didapat, turut ia tuangkan dalam membangun alur cerita dan karakter di buku tersebut. Prosesnya juga tak serta merta berjalan mulus. Ia menghadapi tantangan untuk menyelaraskan gaya penulisan jurnalistik yang terbilang kaku dengan imajinasi anak-anak yang tak terbatas.

"Jadi, saya berusaha untuk menyeimbangkan kemampuan jurnalistik saya dengan skill literatur yang baru. Ya, mungkin buat beberapa orang seperti gak total. Wah, ini literaturnya masih bau-bau jurnalistik atau akhirnya setelah saya nulis jurnalistik, jurnalistiknya jadi bau-bau sastra. Tapi menurut saya, ya gak apa-apa. Kan gak ada yang salah dengan itu," kata Hayu menjelaskan masing-masing konten bisa saling melengkapi satu sama lain.

Tak sampai di situ, tantangan lain adalah merangkai imajinasi khas anak-anak ke dalam sebuah buku yang memiliki narasi yang terbatas. Pemahaman yang dituangkan juga lebih sederhana karena bukan menghadirkan pemikiran orang dewasa yang cenderung kompleks. Transformasi ini memerlukan adaptasi, riset mendalam, serta keberanian untuk melepas struktur yang kaku.

Hayu berupaya memahami dunia anak melalui kacamata dan kebiasaan mereka. Ia menyampaikan, banyak berdiskusi dengan buah hatinya untuk meninjau apakah pesan yang disampaikan dapat dimengerti dengan baik. Proses kreatif yang panjang akhirnya bisa menghasilkan karya yang relevan dengan rasa ingin tahu anak-anak.

Tantangan lain disampaikan Hayu, "Tantangannya beda, mungkin kalau di novel atau di cerpen itu adalah membuat stands story-nya masuk akal, punya alasan yang kuat, punya pesan yang kuat, tapi sekaligus juga menarik untuk dibaca. Tapi, kalau di buku anak, tantangannya adalah bagaimana membuat anak ini tertarik, mau baca, dan suka."

4. Bicara tentang kesadaran literasi di Indonesia

ilustrasi anak membaca buku bersama orang tua (pexels.com/cottonbro studio)
ilustrasi anak membaca buku bersama orang tua (pexels.com/cottonbro studio)

Jika bicara literasi di Indonesia, Hayu bersikap optimis akan tumbuhnya kesadaran orangtua untuk membekali anak-anak dengan kebiasaan membaca buku sejak dini. Ia menyoroti, pergeseran perilaku orangtua yang kian mempedulikan buku bacaan untuk buah hati, tercermin dari perkembangan industri penerbitan dan toko buku anak yang kian tumbuh.

Ia menyampaikan, "Saya melihat, sebenarnya sudah mulai ada pergeseran. Orangtua seumuran saya itu sudah mulai menempatkan buku sebagai salah satu hal di daftar belanja mereka gitu. Itu bisa dilihat misal dari pameran buku yang ramai atau toko buku yang tetap ada orang beli gitu. Sebenarnya kan, pasar buku anak itu juga salah satu pasar yang ceruknya paling besar di Indonesia."

Namun, pandangan ini tentu tak bisa digeneralisir sebab Hayu sendiri menganggap fenomena semacam ini cenderung terjadi di kota besar di Indonesia. Di daerah dengan akses yang terbatas, kesadaraan dan kemampuan literasi mungkin terbilang lebih rendah, mengingat adanya tantangan tertentu.

"Jadi, kalau dibilang apakah minat baca kita cukup bagus? Menurut saya, tergantung kita melihatnya. Datanya mungkin kalau kita di kota-kota besar, dengan akses ke perpustakaan, akses ke toko buku, itu mungkin lebih tinggi daripada kalau di daerah-daerah pelosok," ujarnya.

Hayu membandingkan dengan pengalamannya ketika di Swedia. Ia melihat minat penduduk di sana masuk pada level mengantre di perpustakaan, menunjukkan minat baca yang tinggi. Meski belum masif seperti di negara Eropa Utara tersebut, namun Hayu tetap menyambut positif akan kesadaran yang terus tumbuh.

Ia menyampaikan, "Tapi, langkah untuk menuju minat baca yang lebih tinggi itu, menurut saya sudah ada. Tapi, saya juga gak mau terlalu optimis bilang, 'Oh, udah bagus banget,'"

5. Pesan dari Hayu untuk perempuan Indonesia

ilustrasi anak membaca buku (unsplash.com/Ben Mullins)
ilustrasi anak membaca buku (unsplash.com/Ben Mullins)

Lahir dan tumbuh sebagai perempuan Indonesia, Hayu tentu memiliki pengalaman yang tak hanya membentuk jati diri, tetapi juga mencerminkan perjalanan panjang perempuan di negeri ini dalam menghadapi tantangan sosial, budaya, dan ekonomi. Di tengah dinamika peran perempuan, Hayu berbagi mengenai pandangannya.

"Menjadi perempuan itu, terutama di Indonesia, mungkin bebannya itu lebih banyak daripada kalau menjadi perempuan di tempat lain. Karena selama bertahun-tahun itu, kan kita sudah didisiplinkan untuk menilai bahwa perempuan itu hanya begini, hanya begini, hanya begini, atau peran-perannya direduksi," ujarnya.

Untuk itu, Hayu berpesan agar perempuan di Indonesia dapat terus menjadi dirinya sendiri yang menemukan identitas dalam diri. Ia menggarisbawahi pesan penting akan kesetaraan dan pemberdayaan perempuan Indonesia di era modern.

"Dengan peran yang harus dijalankan perempuan, terutama di Indonesia, penting untuk perempuan itu tetap menjadi dirinya sendiri atau menemukan semacam oase di dalam dirinya sendiri. Supaya dia juga bisa menjalankan peran-peran yang lain dengan maksimal, dan dia bisa menjadi contoh untuk anak-anaknya juga bahwa nanti ketika mereka memilih untuk menjadi ibu, memilih untuk menjadi istri, itu semuanya itu tidak menjadi beban," paparnya.

"Terus juga perempuan, marilah saling mendukung perempuan juga, gak mudah menghakimi pilihan orang lain, pilihan hidup orang lain, pilihan karier orang lain, pilihan apa pun, itu gak usah di-judge. Kalau memang tidak punya hal baik untuk dikatakan, ya diam saja gitu," tutupnya.

Kisah Hayu semoga dapat memberi pandangan baru dan inspirasi bagi lebih banyak orang. Karya yang dituangkannya dalam buku fiksi, semoga mampu berkontribusi lebih luas untuk bangsa dan tanah air.

Koleksi buku Dimdum Mau Tidur" dan "Dimdum Mau Mandi" bisa didapatkan di Toko Buku Gumi yang berlokasi di Yogyakarta. Kamu pun bisa membelinya secara online di laman resmi penerbit Noura Books. Buku ini berbahasa Indonesia dan Inggris serta dilengkapi ilustrasi karya Afa Tazkia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Febriyanti Revitasari
EditorFebriyanti Revitasari
Follow Us