Melawan Stigma, Karinta Utami Pilih S2 Bukan Demi Karier tapi Anak

- Karinta Utami memilih S2 sebagai ibu rumah tangga untuk mendukung perannya sebagai istri dan ibu, bukan demi karier atau gelar.
- Setelah gap year 11 tahun, Karinta berhasil menemukan diri sendiri dan dukungan suami selama kuliah S2 lintas jurusan.
- Karinta menghadapi stigma lingkungan terhadap ibu rumah tangga yang memilih sekolah lagi, namun ia berhasil mewujudkan passion-nya lewat komunitas Ibu Sekolah Lagi.
Jakarta, IDN Times - Gak sedikit perempuan yang terpaksa merelakan mimpinya, memilih berhenti dari dunia kerja dan menjadi ibu rumah tangga. Namun, ada pula perempuan yang mengalihkan perhatian dan mendedikasikan hidupnya untuk keluarga. Kalau kamu dihadapkan oleh pilihan tersebut, apa yang akan kamu pilih?
Pertanyaan ini mungkin cukup dilematis bagi para perempuan yang sering mengemban peran ganda. Berperan sebagai anak, istri, dan ibu, gak bisa dianggap sepele. Gak jarang, ibu rumah tangga kembali menyimpan mimpi yang tertunda, termasuk untuk sekolah lagi. Nyatanya memang benar, hanya segelintir orang yang berani mengambil keputusan untuk sekolah lagi setelah berumah tangga.
Karinta Utami memilih jalur yang gak biasa. Ia mengambil keputusan besar dengan kembali ke bangku kuliah meski sudah memiliki dua anak. Bukan demi karier atau gelar, semua dilakukannya supaya menjadi ibu yang lebih baik.
Baginya, belajar seperti vitamin bagi jiwa dan pikiran. Ini pilihan yang besar bagi seorang ibu rumah tangga seperti Karinta yang memutuskan sekolah lagi. Ia percaya bahwa pendidikan bisa memperkuat caranya berpikir dan memberikan dampak untuk sekitar.
Mungkin kamu termasuk orang yang berpikir belajar lagi setelah berumah tangga itu terlambat? Tidak, lewat cerita Karinta kepada IDN Times, ia justru mengajak para ibu rumah tangga untuk gak takut melakukan hal-hal baru.
1. Orientasi hidup berubah, bukan berarti menghilangkan mimpi-mimpi Karinta untuk terus belajar

Meski sudah menjadi ibu, Karinta gak benar-benar melepaskan keinginannya untuk terus belajar. Ia memang punya keinginan untuk kuliah lagi dengan fokus yang berbeda. Ketika memilih untuk S2, ia belajar bukan untuk bekerja di ranah publik, tetapi mendukung perannya sebagai istri dan ibu.
Sebelum full time menjadi ibu rumah tangga, Karinta sempat bekerja di bidang industri energi. Namun, pernikahan dan kehadiran anak-anak mengubah orientasi hidupnya. Saat itu fokusnya adalah mengurus anak sambil menemani suami yang kuliah di Australia. Kembali ke Indonesia pada tahun 2019, rencananya untuk kuliah di Bandung otomatis berubah karena hamil dan memasuki masa COVID-19.
“Gak tahu memang rencana Tuhan gitu, ya. Ada Fakultas Pendidikan, Universitas Pendidikan Indonesia, UPI itu punya kampus di berbagai daerah. Kebetulan UPI di Tasikmalaya buka S2, itu baru angkatan pertama,” katanya saat dihubungi IDN Times secara daring pada Sabtu (28/6/2025).
Setelah mencoba mencari tahu bagaimana materi pembelajarannya, Karinta memantapkan hati mengambil Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Karinta bukan seorang guru, ia lulusan Institut Teknologi Bandung, yang memikirkan bagaimana ilmu dari S2 PGSD diterapkan untuk masa depan anak-anaknya.
Bukan tanpa alasan, Karinta dan suami sempat gelisah saat harus mencari sekolah untuk anak. Kegelisahan itulah yang membawa Karinta mengenyam S2 PGSD untuk mempelajari sistem pendidikan dari dalam. Sebagai istri dan ibu, Ia percaya bahwa pendidikan yang utama bukan di sekolah melainkan keluarga.
“Aku pengin kerja di bidang energi. Jadi ambil teknik di ITB, lulus kerja di Oil & Gas. Tapi ternyata setelah menikah punya peran lain, perannya sebagai ibu. Jadi, kayaknya kalau pun aku mau ambil kuliah ya harus mendukung itu. Didukung juga sama banyak hal yang akhirnya aku mengambil S2-nya adalah pendidikan,” tuturnya.
2. Gap year 11 tahun, ini momen turning point dari keraguan jadi keyakinan

Jarak antara S1 ke S2 cukup jauh, 11 tahun. Karinta cukup kaget dengan banyak hal yang berubah, terutama dengan metode kuliah. Namun, hal itu gak menyurutkan semangatnya sebagai mahasiswi S2 lintas jurusan.
“Memang setelah menikah pun, aku memutuskan ikut komunitas-komunitas. Tujuannya supaya aku bisa belajar. Bisa belajar gimana caranya jadi ibu, cara jadi istri dan kayaknya keinginan pengen S2 itu ada banget,” katanya.
Semangatnya gak pernah padam. Dukungan suamilah yang menjadi kunci penting dan turning point. Dengan gap 11 tahun, kuliah menjadi sarananya untuk menemukan diri sendiri dan membekali diri sebagai orangtua.
“Dia melihat proses aku pas kuliah. Kalau aku habis kelas kan suka cerita, aku belajar tentang ini. Dia bilang kayak, ‘Kamu berbinar banget’. Jadi, dia melihat istrinya itu happy. Mungkin melihat dengan istrinya happy aja, dengan berbinar, kayaknya dia mendukung. Aku menyadari kalau aku punya kesempatan,” kenangnya.
3. Stigma lingkungan terhadap seorang ibu rumah tangga yang memilih sekolah lagi

Beruntungnya, Karinta lahir di keluarga yang sangat paham betul dengan karakteristiknya. Dari kecil, Karinta memang suka belajar sehingga gak ada kritik atau stigma negatif baik dari orangtua maupun mertua, saat ia memutuskan untuk kuliah lagi. Baginya, justru mereka yang menjadi support system terbaik karena mau membantu Karinta yang sedang kuliah sambil mengurus anak.
Namun, pandangan-pandangan ‘aneh’ justru didapatkannya dari lingkungan luar selain keluarga. Banyak yang menyangka keputusannya kuliah untuk menjadi dosen.
“Mungkin untuk beberapa orang, stigma-nya S2 itu untuk cari ijazah, untuk karier. Tapi mungkin masih sedikit yang orientasinya seperti aku yang memang pengin dapat ilmunya. Aku merasa S2 bukan ilmu dari dosen aja, tapi supaya aku kenal dengan guru-guru, kepala sekolah. Kita ngobrol gimana sih sebenarnya jadi guru SD, jadi kepala sekolah itu,” ungkap Karinta.
Dengan pola pikir begitu, Karinta jadi belajar banyak hal. Ia mendapatkan realita pendidikan yang sebenarnya dari lapangan dan interaksi.
4. Adaptasi lintas jurusan dari teknik ke pendidikan

Bukan cuma gap year 11 tahun, Karinta berbeda dengan yang lainnya. Di saat kebanyakan orang melanjutkan S2 untuk meneruskan ilmu S1, ia justru beralih total dari teknik ke pendidikan. Cakupan ilmu yang sangat kontras ini jelas gak mudah dilalui oleh Karinta.
Namun, ia berhasil menyiasatinya dengan mengoptimalkan waktu kuliah. Karinta bukan tipe yang gengsi, ia datang benar-benar seperti wadah kosong yang ingin diisi air. Ia tetap merasa punya hak untuk tahu banyak informasi sekalipun sederhana. Bahkan, Karinta sempat merasakan perkuliahan 1 on 1 yang justru dianggapnya sebagai privilege.
"Aku bisa menyerap semua ilmu dari beliau. Mungkin beberapa orang menganggap, aduh seram, tapi aku malah senang karena bisa tanya banyak hal. Aku bisa menyerap ilmu sebanyak-banyaknya tanpa berbagi waktu dengan mahasiswa lain," jelasnya.
5. Bagaimana ilmunya bisa diaplikasikan di rumah dan sekitar?

Sebelum memilih PGSD, Karinta sempat berpikir untuk mengambil S2 Psikologi. Kedua ilmu ini memiliki persamaan. Di dalamnya mengajarkan bagaimana psikologi anak, perkembangan, dan penerapannya.
Karinta mencoba mengaplikasikannya dengan riset tesis mengenai Read Aloud. Ia bergabung dalam komunitas Read Aloud dan menjadi praktisi Read Aloud. Konsep ini menjadi gerakan yang diajarkan kepada para orangtua dan anak dalam membaca buku.
Karinta menjelaskan, “Read Aloud itu membacakan buku secara nyaring kepada anak. Kita sering tahunya storytelling. Nah, kalau ini, ada medianya, harus ada bukunya. Jadi, buku itu kita bacakan untuk anak-anak kita. Fokus utamanya bukan hanya membaca satu buku, selesai, tapi ada aspek bonding-nya”.
Sebagai praktisi Read Aloud, Karinta berusaha membuat Read Aloud menjadi kegiatan yang mengikat bonding orangtua dan anak. Dari konsep sederhana, Karinta ingin mengenalkannya lebih luas lagi ke sektor formal, seperti sekolah. Literasi keluarga dan pendidikan anak menjadi fokus utama yang ia perjuangkan, dari rumah hingga sekolah.
6. Tumbuh menjadi pembelajar dan pribadi yang mindful dalam setiap perannya

Tantangan terbesarnya adalah membagi waktu antara kuliah, mengurus anak, dan rumah tangga. Karinta melihatnya sebagai kekhawatiran yang dialami setiap ibu rumah tangga.
“Yang membantu aku adalah kandang waktu itu. Jadi, aku udah tahu mana yang prioritas. Aku bikin kandang waktu dan akan mindful di waktu itu,” ucapnya.
Namun, ia mencoba menyelesaikannya dengan prinsip mindful dan konsep kandang waktu. Karinta mencoba mengatur waktu secara presisi dan didukung keluarga dan suami yang mau berganti-gantian untuk menjaga anak.
“Buatku ini latihan sih. Kalau perempuan, kita suka bilang kita bisa multitasking. Padaha multitasking kalau nemenin anak menurutku gak baik. Masa sama anak kita jadi main handphone dan lain-lain. Aku juga masih belajar,” sambungnya.
7. Karinta ingin menyalurkan passion-nya lewat Ibu Sekolah Lagi

Karinta ingin lebih banyak ibu rumah tangga yang gak lagi takut atau ragu untuk sekolah. Sebabnya, ia mulai membuat komunitas bernama Ibu Sekolah Lagi. Lahirnya Ibu Sekolah Lagi ini juga dilatarbelakangi dengan pengalamannya yang sudah aktif di beberapa komunitas lain, seperti Ibu Profesional, Ibu Punya Mimpi.
“Aku suka menyalurkan kelebihanku, menyalurkan passion. Aku suka sharing dan sebenarnya suka mengajar,” ungkapnya.
Ibu Sekolah Lagi sebenarnya berawal dari hashtag sederhana yang ia buat sejak tahun 2021 untuk membagikan perjalanan kuliah S2-nya. Dari sekadar hastag biasa, Karinta mulai menerbitkan artikel-artikel, mengikuti seminar internasional, mengisi berbagai kegiatan sebagai pembicara.
Baru di tahun ini, Karinta memutuskan menjadikan Ibu Sekolah Lagi sebagai komunitas supaya banyak menjangkau para ibu rumah tangga. Menurutnya, Ibu Sekolah Lagi bukanlah identitasnya melainkan identitas bersama sehingga siapa pun bisa sharing.
Untuk mengakomodasi kebutuhan para ibu, Karinta juga membuat sebuah jurnal persiapan yang dikhususkan untuk ibu-ibu yang ingin sekolah lagi. Jurnal Persiapan #IbuSekolahLagi ditujukan agar para ibu lebih mengenal dirinya sendiri sebelum mengambil keputusan yang besar.
Lewat jurnal tersebut, Karinta mengajak para ibu untuk merefleksikan kehidupan mereka dan mengenal diri sendiri. Selain itu, ia juga memasukkan topik tentang izin dari suami karena ternyata gak banyak ibu memiliki kesempatan berkomunikasi yang baik dengan suami.
“Di bab dua itu justru uniknya, aku meminta para ibu membuat surat cinta untuk suami. Kenapa? Biar hubungannya diperbaiki dulu. Apa love language istri, apa love language suami. Itu menjadi gerbong atau pintu komunikasi agar ibu bercerita tentang mimpinya,” jelasnya.
Semua isi jurnalnya dibuat bukan tanpa alasan, katanya. “Di awal memang banyak tentang fondasi diri dan keluarga. Untuk memastikan bahwa si ibu ini memang melanjutkan mimpinya tapi tidak menomorduakan keluarganya. Aku percaya saat ibu sekolah lagi atau apa pun itu, mimpi ibu sebenarnya adalah mimpi satu keluarga.”
Hal itu dilatarbelakangi kasus-kasus yang Karinta temukan ketika melakukan coaching bersama beberapa ibu yang tertarik untuk sekolah lagi. Ternyata gak semua keinginan kita sesuai dengan kesiapan diri sendiri. Ada banyak faktor yang mempengaruhi seorang ibu dalam mengambil keputusan, apalagi soal pendidikan.
“Aku pengin ibu-ibu itu mindful dan membuat keputusan itu benar-benar matang,” sebutnya.
Di media sosialnya, Karinta sempat membuat program 7 Hari Belajar Ibu. Progam ini mengajarkan ibu tentang micro learning, gimana caranya seorang ibu dalam 5-10 menit per hari meluangkan waktunya untuk belajar hal baru, misalnya membaca buku, mendengarkan podcast, dan lain-lain.
8. Pesan Karinta untuk para ibu rumah tangga

Dari keresahannya, Karinta ingin memberikan dukungan sepenuhnya kepada para ibu untuk mengambil keputusan paling bijaksana dalam hal apa pun, terutama pendidikan. Karinta sempat merasakan ketidakberdayaan ketika menjadi ibu sekaligus istri yang kesibukannya luar biasa.
“Aku bisa bangkit karena aku belajar. Jadi, aku bisa menemukan kepercayaan diri itu karena aku belajar lewat komunitas, lewat kuliah. Ibu Sekolah Lagi ini semoga lahir untuk mencoba mengangkat lagi para ibu-ibu yang merasa gak berdaya,” imbuhnya.
Karinta setuju bahwa perempuan dianugerahi Tuhan dengan perasaan yang lebih dominan daripada logika. Namun, ia juga mengingatkan bahwa perasaan diwujudkan menjadi data atau bentuk nyata.
“Aduh aku pengin kuliah lagi, tapi takut. Aku berharap teman-teman bisa melanjutkan itu. Cari tahu takutnya kenapa? Misalnya takut gak bisa membagi waktu, takut izin suami. Itu dijabarkan sehingga kita bisa fokus pada solusi,” tuturnya.
Karinta percaya, ketakutan seseorang terhadap suatu hal bisa dideskripsikan. Salah satu caranya dengan mulai mengenali diri sendiri.
“Kita tahu kekuatan kita apa, keresahannya apa. Dari situlah jadi starting point untuk kita bisa melakukan atau mewujudkan keinginan kita, “ tutupnya.