Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ade Jubaedah, Tapaki Tangga Profesi dari Perawat hingga Jadi Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia

WhatsApp Image 2025-06-04 at 9.23.24 PM (1).jpeg
Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia Ade Jubaedah dalam program Real Talk by Uni Lubis yang berlangsung di IDN HQ pada 3 Juni 2025 (IDN Times/Uni Lubis)

Jakarta, IDN Times - Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI), Dr. Ade Jubaedah, S.SiT, MM, MKM, bukan sosok yang tiba-tiba muncul di lingkup profesi kebidanan. Kariernya dibangun dari nol sebagai perawat yang kemudian memilih menjadi bidan karena panggilan hati. Figurnya menjadi gambaran nyata dedikasi tinggi seorang Ade Jubaedah dalam menempuh pendidikan tinggi demi kebaikan masyarakat.

Perjalanan hidup Ade menunjukkan bagaimana pengabdiannya pada pelayanan ibu dan anak di Indonesia. Awalnya, Ade merupakan lulusan dari Sekolah Perawat Kesehatan (SPK) di Bogor. Kini, ia merupakan Ketum IBI yang mengayomi 550.000 bidan di seluruh Indonesia. Bagaimana kiprahnya dari seorang perawat menjadi bidan?

1. Setiap jenjang pendidikan ditempuhnya untuk memperkuat kompetensinya sebagai bidan

WhatsApp Image 2025-06-04 at 9.23.22 PM (1).jpeg
Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia Ade Jubaedah dalam program Real Talk by Uni Lubis yang berlangsung di IDN HQ. (IDN Times/Uni Lubis)

“Untuk menjadi bidan, saya naik tangga dari bawah. Saya mengambil Sekolah Perawat Kesehatan di tahun 80-an. Di situ tiga tahun, lalu saya sempat ambil Sekolah Perawat Kesehatan Jiwa,” di awal ceritanya dalam acara Real Talk bersama Uni Lubis di IDN HQ pada 3 Juni 2025.

Ade kemudian diangkat menjadi ASN pada tahun 1986 dan bekerja untuk salah satu rumah sakit di Jakarta selama 3-4 tahun. Begitu menikah, Ade memutuskan untuk mengikuti suami dan bertugas di puskesmas. Pada momen itulah muncul dorongan kuat untuk menjadi bidan setelah berinteraksi dengan banyak ibu hamil, bayi, dan balita. 

Kegigihannya untuk belajar dibuktikan dengan berbagai jenjang dan gelar yang didapatkannya. Ade gak hanya menempuh pendidikan bidan selama setahun tetapi juga mengikuti akademi selama tiga tahun. Dilanjut dengan sarjana Sains Terapan dan profesi bidan.

“Waktu itu belum ada sarjana kebidanan. Lalu, saya ambil S2 tahun 2008 di bidang Manajemen Pelayanan Kesehatan karena saya sebagai ASN di salah satu puskesmas Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Setelah ambil S2, saya baru ambil lagi pendidikan S3 (doktoral) tahun 2010 di bidang Agama dan Kesehatan,” lanjutnya.

Setelah menyelesaikan pekerjaannya sebagai ASN di tahun 2012, Ade menjabat sebagai pimpinan di salah satu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan prodi Kebidanan. Ade sempat mengambil program Magister di bidang Manajemen Pelayanan Kesehatan. Namun, gelar pendidikan itu gak cukup untuk memperkuat kompetensi kebidanannya.

“Saya mengambil S3 di tahun 2010 dan saya selesainya di tahun 2017. Kenapa 2017? Saya tunda dulu mengambil S3-nya. Ketika saya mengajar di pendidikan Profesi Bidan, saya gak bisa mengajar kesehatan reproduksi kalau S2-nya Manajemen Pelayanan Kesehatan. Saya cuti dulu dan saya ambil S2 lagi bidang Kesehatan Reproduksi,” tuturnya.

Ketika menjadi pendidik, ia menyadari pentingnya memiliki ijazah yang linear dengan bidang ajar. Oleh karena itu, ia mengambil Magister kedua di bidang Kesehatan Reproduksi, sebelum akhirnya menuntaskan pendidikan doktoralnya. Ade juga mendapatkan penghargaan dari Fakultas Kedokteran Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah sebagai salah satu dari 100 orang terkemuka lulusan UIN Syarif Hidayatullah dalam berkontribusi membangun bangsa.

2. Ade memilih menjadi bidan karena panggilan hidup

WhatsApp Image 2025-06-04 at 9.25.05 PM.jpeg
Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia Ade Jubaedah saat menjadi speaker dalam World Health Assembly 78 di Jenewa (IDN Times/Uni Lubis)

Pengalaman hiduplah yang membuat Ade merasa terpanggil untuk menjadi bidan. Kurangnya bidan waktu itu membuat Ade banyak melakukan tugas-tugas bidan meskipun masih menjadi perawat.

Ade bercerita, “Saya banyak berada di komunitas. Bagaimana ketika di komunitas saya berhubungan dengan ibu hamil, bayi, dan balita, saya merasa ‘oh ini bidang saya’. Saya merasa sangat mencintai ketika bisa mengedukasi mereka, ketika saya dekat dengan mereka. Di situ saya terpanggil harus mengambil pendidikan bidan.”

Bukan tanpa tantangan, Ade pernah merujuk pasien gawat darurat dengan pendarahan postparfum menggunakan mobil bak terbuka selama tiga jam. Peristiwa tersebut menjadi pengalaman yang sampai sekarang masih membekas bagi Ade.

“Bagaimana kondisi perjalanan 2 hampir 3 jam, saya yang menangis. Karena sudah macet, sudah di depan pintu rumah sakit, pasien menghembuskan napas terakhir. Saya yang menangis bukan keluarga yang menangis. Ini harusnya tertolong. Makanya saya sekarang tiap menyampaikan sesuatu, akses itu merupakan salah satu bagian penting yang harus diprioritaskan agar tidak terjadi keterlambatan untuk merujuk,” katanya penuh haru.

3. Berbekal tingginya jam terbang dan kompetensi mumpuni membawa Ade menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia

WhatsApp Image 2025-06-04 at 9.23.23 PM.jpeg
Ketua Umum Ikatan Bidan Indonesia Ade Jubaedah dalam program Real Talk by Uni Lubis yang berlangsung di IDN HQ pada 3 Juni 2025 (IDN Times/Uni Lubis)

Sebelum menjadi Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Bidan Indonesia Periode 2023-2028, Ade pernah menjabat sebagai Sekjen IBI selama lima tahun. Ia aktif berorganisasi bahkan dari tingkat kecamatan. Meski begitu, Ade tidak pernah mengesampingkan pendidikan karena menurutnya semua saling berkaitan.

“Di organisasi, saya harus menyesuaikan dengan pendidikan. Di pendidikan pun ada kebutuhan bagi Ketua IBI untuk menjawab anggota-anggotanya. Makanya, pendidikan saya pun mengambil penelitian yang dibutuhkan untuk menjawab apa yang selama ini dianggap meragukan bagi sebagian teman-teman bidan,” ungkapnya.

Ade mengaku ada tuntunan dari masyarakat terkait sunat perempuan semasa ia masih bekerja di puskesmas. Padahal sepanjang membelajar bidang tersebut, Ade tidak pernah mendapatkan kurikulum yang menjelaskan tentang tindakan sunat perempuan.

“Itu gak ada mengatur di standar profesi bidan, di etik dan kode etiknya gak ada sunat perempuan. Sementara tuntunan masyarakat tinggi meminta itu, saya ingin tahu sebetulnya secara agama seperti apa,” terangnya.

Oleh karena itu, Ade memilih program Agama dan Kesehatan di UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Topik disertasi doktoralnya pun sangat relevan dengan isu tersebut yaitu sunat perempuan menurut perspektif agama dan kesehatan. Sebagai pimpinan organisasi, ia merasa perlu menjawab kegelisahan para bidan dengan pendekatan ilmiah dan agama

Ade juga memahami betul bagaimana kebutuhan dan tantangan para bidan yang mengabdi di wilayah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Banyak hal yang harus mereka hadapi dari medan yang sulit hingga keterbatasan sarana, prasarana, maupun perlindungan hukum.

Untuk itu, salah satu hal yang sedang diperjuangkannya adalah bagaimana bidan memiliki kompetensi lebih supaya bisa menghadapi kondisi gawat darurat. Kiprah Ade Jubaedah bukan hanya simbol keberhasilan bidan tetapi juga membawa inspirasi dan harapan untuk masa depan layanan kesehatan yang lebih baik di Indonesia.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Pinka Wima Wima
EditorPinka Wima Wima
Follow Us