7 Dampak Media Sosial terhadap Body Dissatisfaction pada Pria

Media sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Dari sekadar berbagi momen hingga membentuk citra diri, platform digital kini punya pengaruh besar terhadap persepsi tubuh. Tak hanya perempuan, pria pun kini semakin terdampak oleh standar fisik ideal yang disuguhkan lewat media sosial.
Dalam banyak kasus, konten-konten visual seperti tubuh berotot dan perut six-pack dijadikan tolok ukur maskulinitas. Akibatnya, banyak pria merasa tidak cukup "macho" atau menarik jika tubuh mereka tak sesuai gambaran tersebut. Artikel ini akan membahas tujuh dampak media sosial terhadap body dissatisfaction pada pria yang perlu kamu pahami.
1. Meningkatkan tekanan terhadap citra tubuh

Media sosial sering menampilkan citra tubuh ideal yang sulit dicapai. Pria yang terpapar konten tubuh atletis atau sangat berotot bisa merasa tubuh mereka kurang layak. Hal ini menimbulkan tekanan untuk terlihat seperti figur yang mereka lihat secara online.
Tekanan ini mendorong pria melakukan berbagai cara ekstrem demi mencapai standar tersebut. Dari diet ketat hingga latihan berlebihan, semua dilakukan demi validasi sosial. Padahal, tidak semua tubuh bisa atau perlu sesuai dengan standar itu.
2. Memicu perbandingan sosial yang tidak sehat

Melihat tubuh orang lain yang tampak ideal di media sosial mendorong pria membandingkan diri mereka sendiri. Perbandingan ini seringkali tidak realistis karena mengabaikan faktor-faktor seperti filter, pencahayaan, atau editan. Akibatnya, pria merasa diri mereka selalu kurang.
Perbandingan ini memperburuk kepercayaan diri dan menurunkan penghargaan terhadap tubuh sendiri. Perasaan iri atau rendah diri pun sering kali muncul secara tidak sadar. Ini membuat pria sulit menerima bentuk tubuh alami mereka.
3. Menurunkan kepuasan terhadap tubuh sendiri

Semakin sering pria melihat konten bertema “body goals”, semakin besar kemungkinan mereka merasa tidak puas dengan tubuh sendiri. Mereka mulai memperhatikan kekurangan, meski sebelumnya hal tersebut bukan masalah. Rasa puas terhadap tubuh pun memudar perlahan.
Ketidakpuasan ini berisiko berlanjut pada gangguan citra tubuh. Pria jadi terus-menerus mengkritik penampilan mereka sendiri. Bahkan, rasa tidak puas ini bisa tetap bertahan meski sudah terjadi perubahan fisik.
4. Mendorong konsumsi produk kebugaran secara impulsif

Media sosial dipenuhi iklan suplemen, alat olahraga, dan program diet yang menjanjikan tubuh ideal dalam waktu singkat. Pria yang merasa tidak puas dengan tubuhnya cenderung membeli produk ini secara impulsif. Harapannya, mereka bisa cepat mencapai bentuk tubuh seperti yang dilihat di media sosial.
Padahal, tidak semua produk tersebut aman atau efektif. Banyak juga yang tidak sesuai dengan kebutuhan tubuh masing-masing individu. Konsumsi impulsif ini bisa berdampak pada kesehatan fisik maupun keuangan.
5. Meningkatkan risiko gangguan makan

Standar tubuh ideal di media sosial bisa mendorong perilaku makan yang tidak sehat. Beberapa pria mulai melakukan diet ekstrem, bahkan puasa berlebihan, demi mencapai bentuk tubuh tertentu. Ini bisa berujung pada gangguan makan seperti anoreksia atau orthorexia.
Gangguan makan sering kali tidak terdeteksi karena pria cenderung enggan membicarakannya. Mereka menyembunyikan tekanan tersebut demi mempertahankan citra maskulin. Akibatnya, masalah ini menjadi bom waktu yang membahayakan kesehatan.
6. Mengubah fokus kebugaran menjadi penampilan semata

Motivasi awal untuk hidup sehat bisa berubah karena pengaruh media sosial. Pria jadi lebih fokus pada bentuk tubuh luar daripada kebugaran secara menyeluruh. Mereka mengejar estetika fisik, bukan keseimbangan kesehatan jasmani dan mental.
Hal ini bisa menurunkan makna olahraga sebagai sarana menjaga kesehatan. Aktivitas fisik pun terasa sebagai kewajiban untuk tampil menarik, bukan sebagai gaya hidup. Akhirnya, prosesnya menjadi tidak menyenangkan dan penuh tekanan.
7. Memperkuat stereotip maskulinitas beracun

Media sosial sering menyebarkan gambaran bahwa pria sejati adalah yang bertubuh kekar dan dominan. Citra ini memperkuat maskulinitas toksik yang menyempitkan definisi kejantanan. Pria merasa harus sesuai dengan stereotip tersebut agar diterima secara sosial.
Akibatnya, pria jadi enggan menunjukkan kerentanan atau berbagi perasaan tentang ketidakpuasan tubuh mereka. Mereka memendam rasa tidak nyaman karena takut dianggap lemah. Padahal, membuka diri justru bisa menjadi langkah awal untuk penyembuhan dan penerimaan diri.
Ketidakpuasan terhadap tubuh bukan lagi isu yang hanya dialami perempuan. Pria juga merasakannya, terutama karena ekspektasi dari media sosial yang begitu tinggi. Dengan mengenali dampak-dampak ini, kamu bisa lebih bijak dalam bersosial media dan lebih menghargai tubuh sendiri.