Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

7 Dampak Negatif dari Fenomena Adu Outfit di Lingkungan Kerja, Awas!

ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/tirachardz)
ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/tirachardz)

Fenomena adu outfit di lingkungan kerja menjadi tren yang semakin terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Dalam berbagai kantor, karyawan mulai menunjukkan perhatian berlebih terhadap penampilan. Bukan hanya dalam hal kerapian, melainkan dalam hal merek, tren fashion terkini, hingga nilai dari busana yang dikenakan.

Persaingan tak tertulis ini secara perlahan menggeser fokus dari aspek profesionalisme menjadi aspek penampilan semata. Lingkungan kerja yang seharusnya berorientasi pada produktivitas dan kolaborasi justru berubah menjadi ajang pembuktian diri melalui cara berpakaian. Hal ini tak hanya memengaruhi atmosfer kerja, tetapi juga memberi dampak psikologis, sosial, bahkan finansial terhadap para karyawan.

Supaya kamu semakin paham mengenai hal di atas, yuk simak ketujuh dampak negatif dari fenomena adu outfit di lingkungan kerja. Scroll, yuk!

1. Meningkatkan tekanan sosial dalam tim

ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/katemangostar)
ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/katemangostar)

Fenomena adu outfit menimbulkan tekanan sosial tersendiri bagi banyak karyawan. Tekanan ini muncul ketika seseorang merasa harus terus tampil modis dan berkelas agar tidak terlihat tertinggal dari rekan-rekan kerjanya. Lingkungan kerja yang seharusnya mendukung kenyamanan dan kolaborasi, berubah menjadi ruang kompetisi terselubung yang menyusahkan sebagian besar individu. 

Perasaan tidak cukup baik hanya karena cara berpakaian bisa memengaruhi kesehatan mental seseorang. Ketegangan yang ditimbulkan oleh ekspektasi penampilan mendorong banyak karyawan untuk terus membandingkan diri mereka dengan orang lain. Siklus ini tidak sehat dan dapat menciptakan rasa cemas yang berkepanjangan, terutama bagi mereka yang memiliki keterbatasan finansial atau preferensi gaya yang berbeda dari arus utama.

2. Mengaburkan penilaian profesional

ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/tirachardz)
ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/tirachardz)

Ketika adu outfit menjadi kebiasaan yang menjamur, penilaian terhadap kinerja dan profesionalitas pun dapat terdistorsi. Penampilan luar menjadi lebih menonjol ketimbang kualitas kerja, integritas, atau kontribusi nyata dalam proyek. Seorang karyawan yang mengenakan pakaian bermerek dan tampil trendi bisa dianggap lebih cakap, meskipun belum tentu demikian.

Fenomena ini secara tidak langsung menurunkan nilai objektivitas dalam lingkungan kerja. Keputusan manajerial atau promosi bisa terpengaruh oleh bias visual, bukan berdasarkan parameter kinerja yang sesungguhnya. Akibatnya, motivasi kerja dapat menurun karena individu merasa bahwa usaha dan kerja keras tidak dihargai semestinya.

3. Menyebabkan beban finansial yang tidak perlu

ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/katemangostar)
ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/katemangostar)

Kebutuhan untuk terus tampil menawan dan mengikuti tren fashion membawa konsekuensi finansial yang besar. Tidak sedikit karyawan yang rela mengalokasikan penghasilan bulanan untuk membeli pakaian, sepatu, atau aksesori mahal demi terlihat setara dengan rekan kerja lainnya. Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengganggu kestabilan keuangan pribadi. Pengeluaran yang seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan esensial menjadi tersedot hanya untuk menjaga penampilan.

Beban finansial ini sering kali tidak disadari secara langsung, karena dibungkus dalam bentuk kebutuhan sosial atau tekanan untuk terlihat cocok dengan lingkungan kerja. Banyak individu merasa terpaksa membeli barang-barang di luar kemampuan demi menjaga citra. Ketika pengeluaran tidak terkendali, maka timbul masalah keuangan yang berujung pada stres, konflik keluarga, hingga utang.

4. Menimbulkan kesenjangan sosial di tempat kerja

ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/pressfoto)
ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/pressfoto)

Perbedaan dalam gaya berpakaian yang terlalu mencolok dapat menciptakan jurang sosial di antara karyawan. Mereka yang mampu membeli pakaian bermerek dan mengikuti tren terkini akan cenderung membentuk kelompok eksklusif. Sementara mereka yang lebih sederhana atau tidak memperhatikan fashion menjadi terpinggirkan. Situasi ini merusak rasa kebersamaan dalam tim, karena interaksi tidak lagi berdasarkan nilai profesional tetapi pada tampilan fisik semata.

Kesenjangan sosial seperti ini memperlemah hubungan antaranggota tim. Rasa percaya, saling mendukung, dan keterbukaan menjadi berkurang karena adanya pengelompokan tidak resmi berdasarkan tingkat penampilan. Ketika kolega merasa tidak diterima hanya karena pilihan busana, maka iklim kerja akan menjadi dingin dan tidak kooperatif. Dalam jangka panjang, kolaborasi tim dan pencapaian tujuan bersama menjadi lebih sulit tercapai karena hilangnya rasa inklusivitas.

5. Meningkatkan perilaku konsumtif dan hedonis

ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/katemangostar)
ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/katemangostar)

Lingkungan yang mendorong adu outfit secara tidak langsung membentuk budaya konsumtif. Gaya hidup kerja tidak lagi fokus pada produktivitas, melainkan pada pembelian dan pamer gaya. Media sosial memperparah situasi ini dengan memperlihatkan unggahan OOTD yang menjadikan penampilan sebagai pusat identitas profesional. Akibatnya, dorongan untuk membeli barang baru setiap minggu atau bulan menjadi hal yang lumrah, bahkan dianggap sebagai standar keberhasilan.

Perilaku hedonis yang tumbuh dari tren ini menjauhkan banyak karyawan dari tujuan utama bekerja, yaitu berkarya, berkembang, dan memenuhi kebutuhan hidup. Gaya hidup yang terlalu mengutamakan penampilan sering kali menyebabkan perasaan tidak pernah puas dan selalu ingin lebih. Hal ini bukan hanya berdampak pada keuangan, tetapi juga pada kepuasan hidup secara keseluruhan.

6. Menurunkan fokus terhadap kualitas kerja

ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/senivpetro)
ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/senivpetro)

Ketika terlalu banyak energi dicurahkan untuk merancang penampilan setiap hari, maka konsentrasi terhadap pekerjaan bisa terganggu. Waktu yang seharusnya digunakan untuk menyusun strategi kerja atau menyelesaikan tugas menjadi habis untuk merencanakan pakaian, memilih aksesori, hingga mencari inspirasi dari influencer atau selebritas. Hal ini mengganggu produktivitas karena perhatian terbagi ke hal-hal yang seharusnya bersifat pelengkap, bukan utama.

Dalam jangka panjang, penurunan fokus terhadap kualitas kerja akan berdampak pada pencapaian pribadi maupun tim. Proyek yang terlambat, hasil kerja yang kurang maksimal, hingga hilangnya semangat inovasi adalah konsekuensi nyata dari perhatian yang terlalu besar terhadap penampilan. Lingkungan kerja pun menjadi tidak kompetitif secara positif karena budaya kerja keras digantikan dengan budaya tampil mencolok.

7. Menghambat keberagaman dan ekspresi

ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/pressfoto)
ilustrasi karyawan kantor (freepik.com/pressfoto)

Ketika standar penampilan menjadi seragam akibat tekanan budaya adu outfit, maka keberagaman cara berpakaian dan ekspresi diri menjadi terbatas. Individu yang memiliki gaya khas, yang tidak mengikuti arus fashion utama, merasa tidak aman untuk mengekspresikan dirinya. Rasa takut akan dihakimi atau dikucilkan membuat banyak orang menyesuaikan diri dengan tren yang ada meskipun tidak mencerminkan kepribadian mereka yang sebenarnya.

Kondisi ini mengekang otentisitas dan mengarah pada homogenisasi budaya kerja. Setiap individu kehilangan ruang untuk menjadi dirinya sendiri karena tekanan untuk tampil seperti yang dianggap ideal. Budaya semacam ini membahayakan keberagaman dan inovasi karena perbedaan sudut pandang dan gaya tidak lagi dihargai.

Fenomena adu outfit di lingkungan kerja memang terlihat sepele, namun dampak yang ditimbulkan cukup kompleks dan mendalam. Kesadaran akan dampak negatif ini penting agar budaya kerja tetap sehat, inklusif, dan berorientasi pada prestasi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ken Ameera
EditorKen Ameera
Follow Us