ilustrasi gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di area Jakarta Pusat (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)
Resolusi pengadilan terbagi menjadi empat masa pada masa ini, yaitu:
1. Tahun 1945–1949
Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru, menurut ketetapan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Karena masih adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di sebagian wilayah Indonesia, Belanda pun mengeluarkan peraturan Verordening No. 11 Tahun 1945.
Peraturan tersebut menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Landgerecht dan Appelraad menggunakan hukum acara HIR. UU No. 19 Tahun 1948 tentang Peradilan Nasional juga sebetulnya dikeluarkan pada masa ini, namun ternyata belum pernah dilaksanakan.
2. Tahun 1949–1950
Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi Pengadilan Tinggi.
3. Tahun 1950–1959
Terdapat UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia serta menghapus beberapa pengadilan, termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
4. Tahun 1959 sampai sekarang dengan diterbitkannya UU No. 14 Tahun 1970
Terdapat beberapa peradilan khusus di lingkungan pengadilan negeri yaitu Peradilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan Landreform (UU No. 21 tahun 1964). Kemudian UU No. 14 Tahun 1970 pun ditetapkan pada tahun 1970, di mana Pasal 10 menyebut bahwa ada empat lingkungan peradilan, yaitu: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
Itulah rangkuman sejarah pengadilan di Indonesia. Di negara hukum yang menganut asas konstitusi, tuntutan hakim haruslah memprioritaskan rasa keadilan dan independen, menjunjung prinsip akuntabilitas, serta berpegang erat pada pedoman “Demi Keadilan Berdasarkan Keutuhan Yang Maha Esa” sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat.