101 Climate Change Actions: Cerita Tri Mumpuni Terangi Desa Terpencil

Tri Mumpuni memberdayakan anak muda

Jakarta, IDN Times - Direktur Eksekutif Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) Tri Mumpuni, menceritakan bagaimana ia bersama suaminya menyediakan listrik bagi warga di wilayah yang sulit terjangkau, dengan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH). Mereka juga memberdayakan anak muda melalui program Patriot Energi.

Hal itu disampaikan Tri Mumpuni dalam program “101 Climate Change Actions” yang diselenggarakan IDN Times pada Kamis, 30 Desember 2021. IDN Times menjadikan Desember sebagai bulan Peduli Perubahan Iklim. Program tersebut tayang setiap Senin hingga Jumat mulai pukul 16.00 WIB melalui live Instagram, @idntimes. Berikut adalah wawancara selengkapnya bersama Tri Mumpuni.

Apa yang sudah dikerjakan?

101 Climate Change Actions: Cerita Tri Mumpuni Terangi Desa TerpencilTri Mumpuni, narasumber program "101 Climate Change Actions". (Tangkapan Layar instagram.com/idntimes)

Anak-anak Patriot Energi yang sudah dikirim kemarin setelah 45 hari pelatihan, mereka pada 3 November 2021 sudah dikirim ke Papua, Maluku Utara, NTT, Sulawesi, NTB, dan Kalimantan. Jadi sebetulnya mereka itu akan membantu penduduk lokal untuk menyediakan listrik dari energi terbarukan, intinya itu. Kenapa? Karena memang kita selalu bicara energi terbarukan, dianggap sebagai potensi yang paling environmentally-friendly, kecil-kecil tersebar di seluruh Indonesia, dan resources-nya ada di daerah setempat.

Terus kenapa anak-anak ini harus mendampingi selama setahun itu to make sure bahwa yang dibangun tadi itu bisa dimanfaatkan dengan baik oleh penduduk setempat, dan kalau terjadi apa-apa mereka mampu memperbaiki karena intinya itu penduduk harus mengoperasikan, mengelola, sekaligus merawat, sehingga bisa sustainable.

Nah, ini yang saya sebut sebagai demokratisasi energi. Di situlah peran rakyat kecil yang diberi space. Kita berusaha untuk mencari space untuk rakyat kecil agar mampu menyediakan energinya sendiri. Ini yang penting. Jadi kalau kita mitigasi climate change, that’s one of the activities yang menurut aku merupakan kegiatan yang harusnya didukung oleh global citizen karena ini real.

Menjaga lingkungan sehingga kalau hulunya aman, sebagai catchment area, hilirnya juga aman karena di hilirlah mereka kemudian membangun pembangkit dari tenaga air berskala kecil. Tapi at the same time, anak-anak Patriot ini juga membangun_ karena kalau tidak ada air kan tidak mungkin, akhirnya pakai_tenaga matahari. Kemudian saya katakan juga kalau memungkinkan ada biomass, ya biomass. Apapun yang penting renewable. Itu yang at the moment kita kerjakan.

Sudah 30 tahun lebih bergerak di bidang penyediaan energi terbarukan, selama ini, apakah melihat kesadaran yang membaik untuk menyediakan energi terbarukan dari berbagai level seperti pemerintah, pusat, daerah, dan desa?

Ya, saya melihat dibandingkan dengan awal-awal dulu kita itu kalau bekerja agak kurang “friendly” dengan PLN, karena waktu itu kan masih old-school. Jadi berpikirnya itu kenapa kalau bisa dengan menggunakan high-speed diesel yang artinya BBM, kenapa harus repot-repot membangun? Padahal, aturan sejak dahulu, zaman Orde Baru dan seterusnya itu kalau ada listrik pedesaan itu menggunakan, kalau bahasa sederhananya itu genset.

Artinya, itu gampang banget. Pasang genset, pakai BBM. Unfortunately, kondisi ini tidak bisa bertahan lama. Kenapa? Waktu itu pernah ada krisis energi yang harga minyak mentah itu sampai 100 dolar AS per barel. Matilah semua pembangkit listrik itu. Dan saya ingin ngomong yang positiflah. Positifnya itu akhirnya kesulitan sekali karena pakai drum, harus lewat laut, dibawa ke Papua, so complicated. Padahal, di tempat desa itu ada sumber energi terbarukan yang bisa dibangun. Tapi kan perlu usaha, investasi.

Memang mahal di awal, tapi for the long run ini sangat menguntungkan, itu yang saya lihat. Makanya kita tetap terus berusaha dan alhamdulillah akhirnya pemerintah merasa ini adalah salah satu solusi. Namun, sistem yang dibangun belum juga selesai. Kenapa? Karena saya ingin rakyat diberi space untuk membangun sendiri. Kita hanya mendampingi dan mengajari mereka, sehingga mereka punya kapasitas.

Jadi sebenarnya teknologi itu sebagus mungkin didekatkan dengan kemampuan rakyat. Tapi at the same time, rakyat juga harus ditingkatkan kapasitasnya. Itu namanya pemberdayaan di bidang energi. Tapi sekarang pemerintah masih susah untuk mengubah mental model. Mereka masih selalu dengan sistem proyek. Kalau dengan sistem proyek itu, unfortunately, rakyat tidak terlibat. Kalau rusak, rakyat tidak mampu untuk memperbaiki. That’s one of the issues yang kita belum selesai di sini, kita masih harus berjuang, dan syarat berjuang di Indonesia itu kita harus punya endurance, jangan pernah putus asa, fight all the time.

Baca Juga: 101 Climate Change Actions: Lampu Pintar untuk Petani Naga Banyuwangi

Sudah ada berapa desa yang sudah memanfaatkan energi terbarukannya?

Kita kan ada beberapa kegiatan. Kalau yang dikerjakan oleh IBEKA sendiri itu ada 82 desa. Tapi, kalau melibatkan anak-anak Patriot itu lebih dari 100 desa. Anak-anak Patriot Energi itu saja pada 2015 sudah ada di 105 desa. Belum kemudian ada tambahan lagi waktu kemarin yang 85 anak di-deploy. Tahun ini ada 98 anak yang di-deploy juga.

Jadinya banyak karena tangan kita ada dua, IBEKA itu hanya ada dua tangannya. What’s very important di negeri ini adalah bagaimana cara berpikir kita ini, artinya kalau saya bicara membangun bersama-sama itu artinya kita sekarang melibatkan anak-anak muda tidak harus tangan kita, tapi soul nya. Soul yang kita miliki, pemberdayaan, empowering local community, mengubah algoritma kita dari eco social economy menjadi eco techno anthropology.

Artinya, ekologi dipikirkan, teknologi dipikirkan, manusianya dipikirkan. Kalau bahasa yang paling sederhana itu saya sebut “People-driven development”, pembangunan berbasis masyarakat, melibatkan masyarakat, memberikan mereka dignity, tapi juga sekaligus memperkuat kondisi mereka, ini yang saya kira penting kalau bicara Indonesia.

Dari awal membangun Patriot Energi, sudah bekerja sama dengan anak-anak muda, apa suka-duka, pengalaman menarik, bekerja sama dengan mereka?

Hal mendasar yang paling menarik bagi kami bertemu dengan anak-anak muda adalah mampu mengubah cara berpikir mereka. Yang dulu kalau istilah yang dipakai di IBEKA, anak-anak itu berjalannya ke luar. Jadi, you’re not thinking about yourself, tapi berpikir tentang orang lain. Nah, ini mereka diajak berjalan ke dalam. Artinya, kita mampu menggunakan logika kita dan hati kita. Dan yang namanya komunikasi antara logika dengan hati kita, itu harus selalu terjadi.

Komunikasi itulah yang memunculkan akal sehat. Lulus dari universitas, ilmu yang kita terima di kampus itu kan perjalanan ke luar karena masih materialistik, mencari pekerjaan dan sebagainya. Sementara, kalau yang kita ajarkan, ini adalah spiritual journey. Mereka dilatih untuk punya empat kompetensi. Kompetensi keteknikan, karena nanti ilmunya dipakai untuk membantu rakyat, harus profesional juga.

Yang kedua kompetensi kejuangan. Dia harus mampu dan mau meninggalkan zona nyaman dengan berada di desa-desa terpencil selama bertahun-tahun sampai rakyat betul-betul terbangun secara energi, ekonomi. Lalu ada kompetensi kerakyatan. Mereka mampu meng-capture passion rakyat. Orang-orang di desa maunya apa. Terus berupaya mencari apa yang diinginkan. Lalu yang terakhir, ini sangat penting, yaitu kompetensi keikhlasan.

Sehingga, waktu diskusi, anak-anak waktu lulus sekolah berpikir apa yang bisa mereka lakukan untuk orang banyak. Dia akan melihat kiri-kanan. Di desa itu resources banyak banget. Yang kurang adalah intelectual capacity. Nah, ini kan hal yang bagus, membuat anak-anak memiliki empat kompetensi kemudian di-deploy dan di sana mereka akan berpikir bahwa negeri kita itu sangat kaya. Bisa dibangun, sangat luar biasa potensinya.

Kita ingat zaman kita dulu kuliah, pernah dengar namanya Kasim Arifin. Saya dulu protes ke IPB itu kenapa kita tidak mampu mencetak Kasim Arifin lainnya. Apa yang dia tinggalkan itu sangat luar biasa. Saya ingin mengajak kamu ke sana untuk melihat apa saja yang sudah ia lakukan di Waimital. Bayangkan kalau kita punya 1.000 Kasim Arifin. Wah, luar biasa. Itu yang namanya kedaulatan pangan dan energi, itu bukan hanya mimpi. Semua rakyat jadi sehat, lingkungan terjaga.

Kalau saya harus bercerita, yang paling penting dan agak kurang dari pendidikan formal itu menumbuhkan rasa empati, yang sebetulnya rasa empati di anak-anak muda itu ada tahapannya. Sebenarnya tidak hanya anak muda, orang tua juga. Tahap yang paling sering terlihat itu pertama dan kedua. Yang pertama itu misalnya kalau ada orang meninggal dunia itu kita ikut berbelasungkawa. Yang kedua itu pro sosial.

Itu kalau melihat ada orang sudah tua, yang seharusnya sudah istirahat, dia masih menggotong jualan keliling itu muncul rasa iba kita. Itu saya yakin semua orang di dunia punya perasaan seperti itu. Padahal, tahapan yang paling keren itu kita menambah tiga tahapan level of empathy itu. Yang ketiga itu sifatnya resiplokal, timbal balik. Kalau tidak mau hidupmu rusak, ya jangan rusak lingkungan. Tidak mungkin Kalimantan itu rusak seperti sekarang jika kita punya empati seperti ini.

Ini yang kita ajarkan ke anak-anak muda. Lalu naik ke level empat itu adalah sudah berpikir bagaimana memampukan orang, bagaimana hidup itu berbagi, sederhananya seperti ini. Kalau melihat ada orang yang rumahnya gelap gulita karena tidak ada listrik, dia langsung berpikir sedemikian rupa untuk melakukan apapun untuk membuatnya terang. Yang tidak punya air bersih, punya air bersih, sehingga ada perbaikan dalam kondisi masyarakat.

Nah, the ultimate level of empathy itu yang kita sebut democratization in all living aspect. Indonesia sudah dibilang negara yang luar biasa. Akses itu sudah untuk siapa saja, bukan hanya untuk yang kaya bahkan akses untuk menikmati resources di Indonesia. Lima level of empathy ini kita ajarkan di dalam pelatihan 45 hari itu sehingga waktu kita terjunkan dia akan berpikir apa yang bisa dilakukan untuk masyarakat. Dia akan punya pemikiran selain menjadi sarjana profesional, dia juga sarjana rakyat. Ini kalau dilakukan terus menerus dan mencapai critical mass dari anak-anak muda yang punya pemikiran seperti itu luar biasa. Kita 1.000 saja belum, masih hampir.

Bagaimana mengajak anak-anak muda bergabung? Karena ada orang yang lulus berpikir harus memberi nafkah, apakah bertemu yang seperti itu?

Ya, sangat banyak. Banyak yang datang karena mendengar kita punya program seperti itu tapi takut dengan orang tuanya yang meminta dia bekerja dan sebagainya. Pertama kali yang saya tanya adalah apakah dia punya beban atau tidak. Artinya beban itu apakah dia looking for money. Karena kalau dengan kita itu looking for meaning. Kalau masih bisa diselesaikan maka akan kita selesaikan. Bahkan, suami saya itu pernah agak gila dengan mendatangi para orang tua dari anak-anak, satu-satu, dan mengatakan bahwa sang anak ingin memilih jalan hidup.

Kalau buat kita itu restu orang tua itu nomor satu. Sekarang, mereka punya usaha yang keren-keren. Tapi, awal-awal, setahun hingga tiga tahun, very struggle. Ya, biasa, namanya usaha. Dia berusaha sendiri mengembangkan produk-produk desa dan sekarang bisa saya katakan hidupnya baik. Biasanya sih social business. Karena beyond profit and money, dia looking for benefit.

Nah, tapi, ada juga orang tua yang tidak memperbolehkan dan itu tidak masalah. Akan saya bilang bahwa orang tua kamu masih membutuhkanmu mencari materi. Mereka ini lulusan dari universitas-universitas 10 besar di Indonesia. Ada orang tua yang bilang, biasanya mertua, kalau mau menikahi anakku, kamu jangan mengikuti Pak Iskandar (suaminya). Padahal, saya mengajarkan kalau dulu kita tidak seperti ini. Saat pertama kali menikah, kita berjuang.

Namun, kita punya keyakinan bahwa kejarlah kemuliaan karena rezeki itu datang sendiri. Memang rezeki sudah diatur masing-masing oleh Allah, tapi you have to have a value yang yakin bahwa kalau kamu mengurusi orang-orang duafa, Allah itu akan mengurusi hidupmu. Tapi kan susah ya untuk meyakinkan orang-orang. Namun, dengan itu kita jadi berpikir lebih jauh dari what we think about the country.

Bahkan, saya pun, kalau berbicara tentang climate change, saya agak protes dengan negara-negara maju. Mereka selalu bicara we are talking about our future. Kita balas “our future or your future?” Kamu sudah ratusan tahun membangun negaramu dengan mengambil resources dari negara berkembang. Giliran kita mau membangun, they stop by saying ada climate change. Intinya dibatasi. Kita seperti dibelenggu padahal standar mereka sudah sangat tinggi. Tapi, begitu kita mau membangun rakyat dengan standar yang tidak muluk-muluk saja kita sudah diberi banyak sekali batasan. Ini sangat tidak fair.

Apakah nuansa seperti ini yang dihadirkan setiap tahun pada gelaran COP26, sebagai concern dari negara berkembang yang banyak mendapat tekanan dari beberapa negara maju untuk segera phase out?

101 Climate Change Actions: Cerita Tri Mumpuni Terangi Desa TerpencilTri Mumpuni. (instagram.com/tri_mumpuni)

Kita kan sama-sama pernah ke Philadelphia. Waktu 2009 saat saya menjalani fellowship, saya sengaja datang ke daerah-daerah yang bisa sewaktu-waktu terjadi subsidence karena bawahnya sudah diambil. Mereka mining-nya kan dari bawah tanah. Itu sudah berapa banyak batu bara yang mereka gali dan gunakan. Eropa dan Amerika Serikat yang gila-gilaan menggunakan batu bara untuk pembangunan. Giliran kita, ditutup, tidak boleh. Ini kan sebetulnya tidak fair.

Tapi kalau kita mau melihat dunia dengan cara yang benar, ada yang namanya carbon cap. Itu bisa menjadikan sebagai hidrogen. It’s so complicated. Tapi kalau negara maju fair, harusnya mereka membantu kita untuk tetap menggunakan batu bara tetapi polusinya yang ditangkap. Saya melihat negara-negara maju ini tidak fair. Dulu, saat masih ada Kyoto Protocol, itu sudah mulai terlihat negara-negara maju tidak fair.

Karena mengotori dunia ini, ozon sampai lapisannya terganggu itu karena mereka. Dan kita kemudian dijanjikan dengan yang namanya Clean Development Mechanism. Saya sempat berbicara di depan parlemen Eropa kalau itu Completely Difficult Mechanism. Karena kita membangun_kecil-kecil sekitar 100 kilowatt. Mereka kan ada yang namanya CER (Certified Emission Reduction). Jadi berapa ton emisi yang dibuat, mereka akan ganti dengan uang.

Tapi ternyata, untuk mendaftarkan saja, itu konsultannya dari mereka. Kemudian, saya coba ikuti prosesnya, itu tidak masuk akal. Sampai kapan pun tidak akan bisa negara berkembang untuk mendapat uang itu. Saya sempat ingin mendaftarkan punyanya rakyat Lampung hanya 100 kilowatt, dan uang yang dihitung-hitung selama pembangkit hidro mereka berlangsung itu, mereka akan menikmati uang senilai 36 ribu dolar AS.

Tapi untuk bisa mendapatkan itu, ada banyak paper yang harus diisi, kemudian harus membayar konsultan, biayanya 100 ribu dolar AS. Tidak masuk akal kan? Yang harus kita perangi itu unjustice dan unfairness-nya. Jadi, the best thing to do is minta mereka tanggung jawab kalau mereka ingin kita tidak membuat polusi yang lebih banyak. Dan polusi yang kita ciptakan ini sebetulnya jika dibandingkan dengan yang mereka buat, incomparable. Kita ini belum separah itu.

Baca Juga: 101 Climate Change Action: Cintai Bumi Sejak Dini

Apakah Anda puas terhadap keseriusan pemerintah Indonesia untuk menanggulangi perubahan iklim?

Tidak puas. Saya memang berada di sistem tetapi saya belum puas karena sorry to say, tahun 1992, saya ikut Leadership for Environment and Development Program. Lima orang termasuk saya mendapat kesempatan untuk pergi ke United Nation Environmental Program di Nairobi. Waktu masuk, saya syok karena ada gambar peta besar sekali bertuliskan the rising of sea level gara-gara cairnya kutub, Jakarta itu, 35 persen itu akan hilang. Nanti kita akan menikmati yang namanya climate change refugee, pengungsi korban perubahan iklim. Itu akan terjadi.

Sekarang apa yang harus kita lakukan? Saya sampai capek bilang ke UN kalau mereka begini terus mereka akan berdosa karena penuh dengan slogan-slogan. Kenapa mereka tidak mengubah attitude, cara menghadapi kehidupan. Ini sepertinya yang berubah itu cuma para aktivis.

Bicara tentang plastik saja, the best thing we can do, stop aja pabriknya. Ngapain buat program ini-itu tapi produsennya tetap memproduksi plastik, sebetulnya tidak berguna. Kalau mau recycle, yasudah kurangi 50 persen, tidak boleh berproduksi lagi. Jadi produksi berkurang sehingga orang akan betul-betul menghemat. Belum lagi kalau ke pasar. Penggunaan plastik sangat tak terkontrol di sana karena orang-orang belum memiliki knowledge yang memadai.

Modernisasi membuat kita diciptakan dalam situasi zona nyaman yang ujung-ujungnya perusakan. Saya waktu itu pesantren, kita memasang solar rooftop karena kita ingin memakai energi renewable. Kemudian di hadapkan pada situasi di mana ada 9 ribu santri yang 7 ribu itu perempuan. Mereka bilang “Bagaimana dengan sampah?” Lalu, ternyata, ada tumpukan sampah yang berasal dari pembalut para santri wanita dibiarkan begitu saja.

Lalu saya bertemu sebuah dokter bernama Moses, dia membuat MakaPad, sebuah pembalut yang terbuat dari rumput. Sangat ramah lingkungan. Saya berpikir untuk mengirim dua orang Indonesia untuk belajar di dia. Lagi siap-siap, dia meninggal dunia. Padahal itu kalau sudah selesai dipakai, dibuang bisa jadi pupuk. Dari rumput laut sebenarnya juga bisa. Tapi masalahnya itu semuanya costly.

Tapi, kalau mencari yang murah, hidupmu tidak akan sustain. Orang-orang kaya memang harus memikirkan orang-orang miskin karena sebetulnya dunia ini kan untuk semua bisa hidup denga layak. Saya tidak tahu kenapa tiba-tiba yang kaya super kaya, yang miskin super miskin. Ini kan artinya ada yang tidak beres dengan cara berpikir kita. Kita sudah biasa dididik untuk berkompetisi. Sekarang, istilah yang dikembangkan di IBEKA itu spiriterial, spiritual and material, sehingga kita punya kesadaran untuk menghindari sesuatu yang berdampak tidak baik

Baca Juga: 101 Climate Change Actions: Lampu Pintar untuk Petani Naga Banyuwangi

Topik:

  • Rochmanudin

Berita Terkini Lainnya