Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
Para Pemohon dalam Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024 (dok. MK)

Intinya sih...

  • Gugatan di MK terkait pengujian materi Pasal 61 dan 64 UU Adminduk.
  • Pemohon meminta kolom agama dalam KK dan KTP bisa diisi "tidak beragama."
  •  

Jakarta, IDN Times – Muncul gugatan di Mahkamah Kontitusi (MK) terkait pengujian materi terhadap Pasal 61 Ayat 1 dan Pasal 64 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk), khususnya mengenai biodata penduduk yang memuat keterangan agama dianut.

Para pemohon dalam Perkara Nomor 146/PUU-XXII/2024 itu meminta agar kolom agama dalam Kartu Keluarga (KK) maupun Kartu Tanda Pengenal (KTP) bisa diisi dengan “tidak beragama."

1. Tidak ada peraturan perundangan yang menetapkan agama apa saja yang diakui negara

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam sidang perbaikan permohonan, kuasa hukum para pemohon, Teguh Sugiharto mengatakan, gugatan itu dilayangkan karena tidak ada peraturan perundangan yang menetapkan agama apa saja yang diakui negara. 

"Karena tidak ada peraturan perundangan yaitu berupa undang-undang yang menetapkan agama-agama apa saja yang diakui negara, maka seluruh frasa dalam peraturan perundangan 'yang agamanya belum diakui sebagai agama' tidak memiliki dasar hukum dan kabur maknanya karena semua agama dan kepercayaan juga tidak beragama diakui dan berhak atas jaminan yang diberikan Pasal 29 Ayat 2 UUD 1945,” ujar dia di Ruang Sidang MK, Jakarta Pusat, Senin (14/11/2024).

2. Pemohon mengaku mengalami kerugian hak konstitusional dan diskriminasi

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Para pemohon, yakni Raymond Kamil (Pemohon I) dan Indra Syahputra (Pemohon II) mengajukan permohonan mengaku tidak memeluk agama dan kepercayaan mana pun, termasuk agama dan kepercayaan yang telah diakui negara Indonesia. 

Para pemohon menyatakan telah mengalami kerugian hak konstitusional karena harus mengisi kolom agama dalam adminduk dengan memilih agama atau kepercayaan, padahal dirinya ingin diinput tidak beragama.

Para pemohon menyebut telah mengalami diskriminasi karena petugas Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) menolak agar kolom agama dalam KK maupun KTP dituliskan 'tidak beragama.'

Menurut para pemohon, ketentuan yang diuji mewajibkannya untuk memeluk agama atau kepercayaan tertentu. Para pemohon mengatakan isian kolom agama tidak bersifat isian terbuka melainkan pilihan tertutup yang memaksa.

Selain itu, Pemohon I juga mengaku mendapat penolakan untuk tidak mengikuti pendidikan agama dari petugas dinas pendidikan. Pemohon I juga berkeinginan untuk menikah kembali tetapi dirinya tidak mungkin memenuhi hak konstitusional dimaksud kecuali melakukan kebohongan mengaku sebagai penganut agama tertentu yang diakui.

3. Pemohon juga gugat sejumlah pasal dalam UU lain

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) RI di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat (IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Oleh sebab itu, selain UU Adminduk, para pemohon juga mengajukan permohonan pengujian materi Pasal 22 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 12 Ayat 1 huruf a dan Pasal 37 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, serta Pasal 302 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). 

Dalam petitumnya, pada pokoknya para pemohon meminta Mahkamah menyatakan pasal yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum sepanjang tidak dimaknai secara positif dan negatif, yaitu setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing, bebas untuk tidak memeluk agama serta kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama.

Kemudian, para pemohon pun memperbaiki petitumnya. Dalam petitumnya, para pemohon meminta MK menyatakan Pasal 22 UU 39/1999 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagai 'setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing atau tidak memeluk agama dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu atau tidak beribadat dan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan/atau kepercayaannya itu atau tidak memeluk agama dan/atau kepercayaan.' 

Para pemohon juga meminta Mahkamah menyatakan Pasal 61 Ayat 91 dan Pasal 64 Ayat 1 UU 23 Tahun 2006, Pasal 2 Ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Pasal 12 Ayat 1 dan Pasal 37 Ayat 1 serta Ayat 2 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang diajukan para pemohon dalam petitumnya.

Editorial Team