Pemerintah Terima Putusan MK Ubah 21 Pasal UU Cipta Kerja

- Menteri Hukum melaporkan putusan MK ke Presiden Prabowo Subianto yang mencabut dan merevisi 21 pasal di Undang-Undang Cipta Kerja.
- Pemerintah sepakat menerima putusan MK terkait upah minimum provinsi, dengan penetapan UMP pada 26 November 2024.
- Berikut 21 pasal yang dikabulkan MK untuk dicabut atau direvisi, termasuk mengenai pekerja asing, jangka waktu pekerjaan, struktur dan skala upah, serta pembayaran hak pekerja/buruh.
Jakarta, IDN Times - Menteri Hukum, Supratman Andi Agtas, sudah melaporkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ke Presiden Prabowo Subianto yang mencabut dan merevisi 21 pasal di Undang-Undang Cipta Kerja. Supratman mengatakan, pemerintah sepakat menerima putusan MK dan akan melaksanakannya.
"Terkait putusan MK, pelaksanaan ada 21 pasal yang dibatalkan oleh MK. Presiden tadi menyatakan, semua bersepakat, menteri yang hadir itu akan melaksanakan putusan MK," ujar Supratman di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (4/11/2024).
1. Pemerintah kebut laksanakan soal upah minimum provinsi

Supratman menyampaikan, yang dikebut pemerintah terkait putusan MK salah satunya mengenai upah minimum provinsi (UMP). Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan kajian.
"Bagi pemerintah, indeks terkait dengan hidup layak itu harus diperhitungkan masuk dalam formula menghitung upah minimun. itu yang dirumuskan Menteri Ketenagakerjaan dan Menko Perekonomian sekarang. Berapa besarannya secara teknis nanti Menaker yang tahu," kata dia.
2. Penetapan UMP pada 26 November 2024

Supratman mengatakan, penetapan UMP pada 26 November 2024. Oleh karena itu, dia menyebut salah satu yang urgen aturannya diikuti oleh pemerintah terkait dengan penetapan UMP.
"Karena 26 November UMP itu harus ditetapkan di semua provinsi, itu yang mendesak, dan yang lain lain kan ada waktu dua tahun untuk mengeluarkan UU ketenagakerjaan yang baru," ucap dia.
3. MK kabulkan revisi 21 pasal

Berikut 21 pasal yang dikabulkan MK untuk dicabut atau direvisi:
1. Menyatakan bahwa frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat 1 dan Pasal 81 angka 4 Lampiran UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai “Menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja.”
2. Menyatakan bahwa Pasal 42 ayat 4 dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 yang mengizinkan tenaga kerja asing dipekerjakan di Indonesia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia.
3. Menyatakan bahwa Pasal 56 ayat 3 dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 yang menentukan jangka waktu pekerjaan berdasarkan perjanjian kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa jangka waktu tidak melebihi lima tahun, termasuk perpanjangan.
4. Menyatakan bahwa Pasal 57 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 13 UU 6/2023 yang mengharuskan perjanjian kerja waktu tertentu dibuat secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan huruf Latin bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai kewajiban untuk membuat perjanjian secara tertulis dalam bahasa tersebut.
5. Menyatakan bahwa Pasal 64 ayat 2 dalam Pasal 81 angka 18 UU 6/2023 yang menyebutkan "Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa "Menteri yang menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya dalam perjanjian tertulis."
6. Menyatakan Pasal 79 ayat 2 huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 yang menyatakan “Istirahat minggguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu”.
7. Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat 5 dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
8. Menyatakan bahwa Pasal 88 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyebutkan “Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai penghasilan yang memenuhi kebutuhan hidup wajar bagi pekerja/buruh dan keluarganya, termasuk makanan, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua.
9. Menyatakan bahwa Pasal 88 ayat 2 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyebutkan “Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan untuk mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai melibatkan dewan pengupahan daerah, termasuk unsur pemerintah daerah, dalam perumusan kebijakan pengupahan untuk pemerintah pusat.
10. Menyatakan frasa “struktur dan skala upah” dalam Pasal 88 ayat 3 huruf b dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional”.
11. Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”.
12. Menyatakan bahwa frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat 2 dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi daerah dengan mempertimbangkan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL).
13. Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88 F dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau non-alam termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.
14. Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 UU 6/2023 yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh perusahaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan”.
15. Menyatakan Pasal 92 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 33 UU 6/2023 yang menyatakan “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi”.
16. Menyatakan bahwa Pasal 95 ayat 3 dalam Pasal 81 angka 36 UU 6/2023 yang menyebutkan “Hak lainnya dari pekerja/buruh didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali kreditur pemegang hak jaminan kebendaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa hak tersebut didahulukan atas semua kreditur, termasuk kreditur preferen, kecuali kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
17. Menyatakan bahwa Pasal 98 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 39 UU 6/2023 yang menyebutkan “Dewan pengupahan dibentuk untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau daerah dalam perumusan kebijakan dan pengembangan sistem pengupahan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai bahwa dewan pengupahan harus berpartisipasi secara aktif.
18. Menyatakan bahwa frasa “Wajib dilakukan perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh” dalam Pasal 151 ayat 3 dalam Pasal 81 angka 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai kewajiban untuk melaksanakan perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat.
19. Menyatakan frasa "Pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial" dalam pasal 151 ayat (4) dalam pasal 81 angka 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Dalam perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap".
20. Menyatakan frasa 'dilakukan sampai dengan selesainya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai tingkatannya" dalam norma pasal 157A ayat (3) dalam pasal 81 angka 49 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHIPPHI."
21. Menyatakan frasa "diberikan dengan ketentuan sebagai berikut" pasal 156 ayat 2 dalam pasal 81 angka 47 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai 'paling sedikit."