Rapor Tantangan dan Ancaman Kejahatan Siber 2024

Artificial intelligence (AI) mempengaruhi

Jakarta, IDN Times – Di era di mana digitalisasi mendominasi kehidupan sehari-hari masyarakat, risiko terjadinya cybercrime (kejahatan siber/dunia maya) juga terus meningkat. 

Terkait ini, World Economic Forum telah mengeluarkan sebuah laporan berjudul “Global Security Outlook 2024” pada Kamis (11/1/2024), yang memberikan gambaran dari berbagai tantangan yang dihadapi lanskap keamanan siber pada skala global. 

“Seiring berkembangnya dunia siber sebagai respons terhadap teknologi baru serta perubahan tren geopolitik dan ekonomi, tantangan dan ancaman yang melintasi dunia digital kita juga semakin meningkat,” kata Jeremy Jurgens, Managing Director dari World Economic Forum.

Sebagai bentuk kolaborasi dengan Accenture, perusahaan yang bergerak di bidang management consulting, servis teknologi, dan outsourcing, World Economic Forum memaparkan berbagai data dan analisis terkait tren-tren dalam dunia siber, berdasarkan sejumlah survei yang dilakukan pada bulan Juni hingga November 2023. 

Apa saja inti dari laporan ini? Berikut IDN Times sajikan rangkumannya. Yuk, disimak baik-baik!

Baca Juga: Deepfake: Teknologi Canggih yang Punya Potensi Bikin Hoaks!

1. Kesenjangan resiliensi siber menjadi problematika inti di 2024

Rapor Tantangan dan Ancaman Kejahatan Siber 2024ilustrasi cybersecurity (unsplash.com/Jefferson Santos)

Menurut World Economic Forum, jumlah organisasi yang mempertahankan ketahanan siber minimum menurun 30 persen dibandingkan tahun lalu. Meskipun organisasi-organisasi besar telah menunjukkan peningkatan yang signifikan, perusahan-perusahaan kecil dan menengah malah menunjukkan penurunan.

Kesenjangan ini didorong oleh tren makroekonomik dan regulasi industri, sedangkan kekurangan keterampilan dan penguasaan dunia digital terus menyebar dengan tingkat yang luas.

Berdasarkan data dari survei yang dilakukan World Economic Forum, hanya 15 persen dari semua organisasi optimistis keterampilan dan edukasi siber akan terus membaik dalam dua tahun ke depannya.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada organisasi yang benar-benar bebas dari kejahatan siber. Laporannya juga menyatakan bahwa mitra eksternal menjadi aset sekaligus penghalang terbesar kepada keamanan siber organisasi apapun.

Selebih itu, 41 persen dari semua organisasi yang disurvei dalam laporan menyatakan bahwa insiden yang mereka alami dalam 12 bulan terakhir disebabkan oleh mitra eksternal atau pihak ketiga.

2. Artificial intelligence memberikan keuntungan sekaligus risiko dalam keamanan siber

Rapor Tantangan dan Ancaman Kejahatan Siber 2024Pixabay

“Tidak ada satu pun negara atau organisasi yang bebas dari kejahatan siber, tapi masih banyak di antara mereka yang tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi ancaman-ancaman tersebut, dan kita tidak dapat memiliki mekanisme respons global yang efektif jika kita tidak mengatasi kesenjangan ini,” ujar Jurgen Stock, Sekretaris Jendral International Criminal Police Organization (INTERPOL).

Jurgen juga menekankan sangat penting bagi semua stakeholder untuk bekerja kolaboratif dan bertindak segera, demi memastikan ruang siber global dapat lebih aman dan tangguh.

Teknologi seperti artificial intelligence (AI), juga merupakan salah satu tren inti yang perlu diperhatikan dalam proyeksi tahun ini, sebab maraknya AI memicu kekhawatiran.

Kurang dari 10 responden percaya bahwa dalam dua tahun ke depan, AI akan memberikan keuntungan dalam menangani kejahatan siber, serta sekitar setengah dari para ahli yang disurvei setuju bahwa AI akan memiliki dampak yang paling signifikan terhadap keamanan siber pada dua tahun ke depan.

Selain itu, sekitar setengah eksekutif yang disurvei oleh World Economic Forum juga mengatakan bahwa kejahatan siber –seperti phishing, malware, dan deepfake– yang didorong oleh AI hanya menghadirkan dampak yang paling negatif terhadap keamanan siber.

3. Implementasi resiliensi siber ke dalam manajemen risiko menjadi lebih umum

Rapor Tantangan dan Ancaman Kejahatan Siber 2024Ilustrasi cyber security (freepik/rawpixel.com)

Namun, terlepas dari kekhawatiran ini, para ahli juga menyoroti peningkatan fokus terhadap kepentingan keamanan siber secara global, khususnya di tingkat eksekutif. Menurut laporan tersebut, implementasi resiliensi siber ke dalam manajemen risiko juga menjadi lebih umum.

“Resiliensi siber semakin bergantung pada tim C-suite yang berkomunikasi dan bekerja sama dengan prioritas keamanan di seluruh dunia bisnis dan industri,” kata Paolo Dal Cin, Global Head dari Accenture Security.

Paolo menambahkan, pendekatan dengan cara ini memberikan pandangan yang jelas terkait risiko siber dan dapat menanamkan keamanan dari sejak awal dalam semua prioritas strategi bisnis, termasuk di seluruh pihak ketiga, vendor, hingga suplier.

Baca Juga: Golkar Hidupkan Lagi Soeharto Lewat Teknologi Deep Fake Jelang Pemilu

Topik:

  • Jujuk Ernawati

Berita Terkini Lainnya