Perjalanan Jepang Bangun TOD Mulai 1910 demi Kurangi Beban Kota

TOD efektif atasi kemacetan dan polusi udara

Jakarta, IDN Times - Perjalanan Jepang membangun kawasan berorientasi transit (TOD) telah dimulai sejak 1910-1950. Pembangunan TOD dilakukan menyusul tingginya pertumbuhan populasi penduduk di kawasan perkotaan.

Deputy Director Internastional Affairs Office, City Bureau, Ministry of Land, Infrastracture, Transportation and Tourism (MLIT), Naoki Nishimura menjelaskan, pembangunan TOD dilakukan oleh pemerintah Jepang saat itu untuk mengatasi masalah kemacetan.

Melalui pembangunan TOD itu, pemerintah pelan-pelan berupaya mengubah budaya transportasi masyarakat dari penggunaan kendaraan pribadi ke transportasi massal berbasis kereta api.

Hal itu diungkapkan Nishimura kepada para jurnalis dalam forum Media Fellowship Program (MFP) MRT Jakarta 2023 di kantor MLIT, Kasumigaseki, Jumat (17/11/2023) lalu.

“Jadi dengan pembangunan jaringan kereta itu membuat masyarakat berpindah dari kendaran pribadi ke umum,” kata dia.

“Yang menjadi trigger (pemicu) di tahun 1910, pertama konsentrasi di pusat kota dan juga masalah transportasi pribadi,” tutur dia.

Baca Juga: Menata Transportasi Massal di Jakarta, Akankah Seperti Tokyo?

1. Jepang siapkan 12.000 urban planning demi bangun TOD dan disiapkan pemda

Perjalanan Jepang Bangun TOD Mulai 1910 demi Kurangi Beban KotaStasiun Shibuya di Tokyo merupakan salah satu contoh TOD di negara Jepang. (IDN Times/Amir Faisol)

Nishimura menjelaskan, Jepang telah menyiapkan sebanyak 12.000 perencanaan tata kota dengan area keseluruhan mencapai 370.000 hektare yang disiapkan oleh masing-masing pemerintah daerah.

Menurutnya, semua perencanaan tata kota yang disusun oleh pemerintah baik pusat dan daerah, itu disesuaikan dengan konsep pembangunan TOD. Perencanaan tata kota oleh pemerintah daerah, kata dia, diibaratkan sebagai "ibu" bagi pembangunan negara Jepang secara keseluruhan. 

“Semua perencanaan tata kota menggunakan konsep TOD,” ujarnya.

Nishimura menjelaskan, pembangunan TOD di sejumlah kota di Jepang diserahkan kepada pemerintah daerah dan pihak pengembang. Departemen Perhubungan hanya ikut andil terkait dengan  perencanaan yang membutuhkan bentuk tanah, dan atau mengenai masalah hak udara bagi masyarakat. Oleh karena itu, sama seperti di Jakarta, Pemerintah Jepang juga mengatur koefisien lantai bangunan (KLB). 

Selain itu, pemerintah pusat juga membantu pemerintah daerah memberikan kemudahan regulasi untuk mengembangkan kawasan. Jadi, kata dia, pemerintah pusat akan bersifat fleksibel untuk memudahkan regulasi untuk pengembangan kawasan perkotaan.

"Kalau yang berhubungan dengan mengubah bentuk tanah atau mengenai masalah hak udara itu semua dipikirkan oleh Departemen Perhubungan, jadi Departemen Perhubungan punya andil, jadi pemerintah pusat membantu pemerintah daerah untuk mengembangkan kota, misalnya dengan mempermudah regulasi jadi tidak dibuat dengan rumit," tuturnya. 

2. TOD sangat efektif atasi masalah di area perkotaan

Perjalanan Jepang Bangun TOD Mulai 1910 demi Kurangi Beban KotaStasiun Tokyo sebagai salah satu kawasan integrasi transportasi massal di Jepang. (IDN Times/Amir Faisol)

Memasuki era 1950-1980, Nishimura mejelaskan, Jepang telah memulai proyek pengambangan kota baru karena adanya fenomena meningkatnya permintaan masyatakat terhadap perumahan. Fenomena ini terjadi menyusul adanya pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat di negara Jepang.

Kemudian pada era 1980-2000, Jepang mulai mengembangkan TOD berdekatan dengan stasiun kereta api. Hal ini dilakukan untuk mengoreksi ketergantungan masyarakat terhadap perumahan di pusat kota.

Pada 2000-2020 merupakan era baru pembangunan TOD di Jepang. Pemerintah setempat mulai merencanakan “smart city” sebagai respons terhadap perubahan lingkungan masyarakat yang terjadi di negara ini.

Menurut Nishimura, kondisi yang dihadapi Tokyo dan Jakarta di era sekarang sangat mirip. Kedua kota ini sama-sama memiliki tingkat populasi yang padat. Namun bedanya, jaringan transportasi massal di Jakarta masih sangat minim. Karena itu, dia mengatakan, konsep pembangunan TOD bagi sebuah kota sangat efektif untuk mengatasi masalah kemacetan hingga polusi udara.

“Kekurangannya jaringan transportasi massal dibandingkan Tokyo, di Jakarta masih kurang,” ujar dia.

3. Pembangunan TOD di pusat kota dan daerah penyangga

Perjalanan Jepang Bangun TOD Mulai 1910 demi Kurangi Beban KotaTerminal bus dan stasiun metro dibangun secara terintegrasi di Jepang. (IDN Times/Amir Faisol)

Menurut dia, pembangunan TOD di Jepang terbagi ke dalam dua tipe, yaitu TOD di pusat kota dan TOD di kawasan penyangga ibu kota. Kota Shibuya adalah salah satu contoh kawasan yang menerapkan pembangunan TOD di pusat kota. Menurut dia, Shibuya merupakan kota yang memiliki banyak jaringan kereta api. Kota ini membutuhkan perencanaan tata kota yang baik karena lokasinya yang sudah padat.

“Shibuya adalah contoh kota yang banyak line, ada beberapa subway line dan private line sehingga membuat kota Shibuya sempit dan membutuhkan perencanaan perkotaan, pembangunan infrastruktur bangunan di atas kota.

Berbeda dengan Shibuya, Tama Plaza merupakan TOD yang ada di kawasan penyangga. Letaknya berada di selatan ibu kota Tokyo dengan jarak tempuh selama 30 menit dengan mengggunakan kereta api.

Pembangunan TOD di kawasan ini lebih banyak disesuaikan dengan karakteristik wilayahnya. Pihak pengembang berupaya mengembangkan kawasan ini dengan menggunakan prinsip campuran. Di dalam satu kawasan ini sudah terdapat area lahan terbuka hijau, pusat perbelanjaan, dan area permukiman warga.

“Kota Tama terhubung dengan kota Shibuya dengan kereta orang yang akan mengakses ke kota Shibuya sangat mudah. Berbeda dengan pusat kota Shibuya, kota Tama diperuntukkan untuk tempat tinggal,” ucapnya.

4. Jakarta baru akan memulai pembangunan TOD

Perjalanan Jepang Bangun TOD Mulai 1910 demi Kurangi Beban KotaPengembangan TOD Dukuh Atas simpang temu lima moda transportasi mulai MRT, LRT Jabodebek, KRL Jabodetabek, TransJakarta, dan KAI Bandara. (IDN Times/Amir Faisol)

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah memberikan mandat kepada PT MRT Jakarta (perseroda) untuk mengembangkan kawasan TOD di sekitar stasiun.

Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2018, PT MRT Jakarta mendapatkan tiga mandat untuk ikut berkontribusi dalam pembangunan di Jakarta.

Ketiga mandat tersebut di antaranya adalah membangun sarana dan prasarana, melakukan operasional dan maintanance sarana dan prasarana tersebut, serta mengembangkan bisnis melalui pengembangan TOD di sekitar kawasan stasiun MRT.

TOD adalah pendekatan pembangunan inklusif yang bersifat ramah lingkungan, karena memadukan fungsi transit dan ruang publik dengan manusia di satu kawasan tertentu.

Pendekatan pembangunan tidak lagi menggunakan kendaraan pribadi, tapi orientasinya adalah penggunaan fungsi campuran sehingga tercipta konektivitas tanpa batas untuk memudahkan mobilitas warga di Jakarta. Yang paling penting, bagaimana konsep integrasi fisik antarmoda transportasi publik bisa tercipta dengan baik dan nyaman. 

MRT Jakarta melakukan suatu perencanaan pembangunan pada radius 300-700 meter dari titik stasiun. Perencanaan yang dilakukan mulai dari perencanaan konektivitas, ruang publik, area publik, area transit, pedestrian, area UMKM hingga area titik penjemputan transportasi daring.

Semua unsur itu dibuat dalam satu perencanaan antar kawasan yang nantinya dilegalkan dalam bentuk peraturan gubernur (pergub).

Kepala Divisi TOD PT MRT Jakarta (perseroda) Gunawan Supriyadi menjelaskan, secara aturan regulasi yang dimiliki oleh MRT untuk mengembangkan kawasan TOD di Jakarta, telah mengikuti standar yang dijalankan di Jepang. 

“Ketika bicara TOD kita sudah legal, kita sudah punya kedudukan hukum di enam kawasan yaitu Lebak Bulus, Fatmawati, Blok M ASEAN, Istora Senayan Mandiri, Dukuh Atas, dan Bundaran HI,” ujar dia.

Baca Juga: Tahu Tak Menguntungkan, Jokowi Ungkap Alasan Bangun MRT dan LRT

Topik:

  • Sunariyah

Berita Terkini Lainnya